Oleh Mita Hairani
Gawai bahasa ibu yang diselenggarakan beberapa hari lalu oleh ILBI masih meninggalkan bekas hingga sekarang.
Memang bahasa yang seharusnya menjadi penunjuk identitas suatu masyarakat kini mulai tergerus oleh bahasa yang umumnya digunakan pada masyarakat sehingga bahasa ibu perlahan mulai ditinggalkan.
Tak jauh-jauh mengambil contoh, aku juga mengalami kejadian serupa. Di daerah asalku -Desa Wajok Hulu- cukup banyak masyarakat yang bersuku Bugis. Terutama di wilayah Parit Wa’dongkak dan Parit Langgar Wajok Hilir. Tapi di daerah sekitar Wajok Hulu, sulit sekali menjumpai keluarga yang menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa keseharian. Akibatnya, banyak generasi muda yang sama sekali tidak memahami bahasa Bugis.
Sebagai keturunan Bugis, aku tentunya merasa malu karena tidak dapat menggunakan bahasa Bugis atau setidaknya memahami bahasa yang seharusnya menjadi identitas diriku itu.
Pernah suatu hari aku berkunjung ke rumah anggota keluarga yang meninggal dunia di Wajok Hilir.
Pada saat itu aku benar-benar merasa segan untuk berkomunikasi dengan masyarakat Wajok Hilir yang juga ikut melayat sepertiku. Hal ini karena masing-masing dari mereka hanya berkomunikasi dengan bahasa Bugis. Alhasil, diamlah aku sendiri di pojokan rumah, memainkan ponsel sembari menunggu kepulangan.
Pengalaman tersebut membuatku merasa sangat rugi karena tidak dapat menguasai bahasa asli ayahku itu. Bahkan aku merasa mulai menjadi bagian dari suku Melayu karena bahasa dan karakterku sudah dipengaruhi oleh lingkungan yang mayoritas masyarakatnya berbahasa Melayu.
Banyak sekali orang yang yang mengira aku orang Melayu. Jikapun ditanya,maka aku akan mengatakan bahwa “aku orang Melayu”.
Aku merasa identitas Bugis sudah hilang dariku dan mungkin nanti keturunanku akan mengatakan bahwa ia bersuku Melayu karena ibunya mengaku sebagai “orang Melayu”. (*)