Oleh: Farninda Aditya
Saat naik ke lantai 5, gedung FUAD, saya tiba-tiba teringat dengan Pak Soedarto. Ingatan itu membawa kelebatan wajahnya saat menunjukan rasa bangga dan memotivasi kepada anggota Club Menulis. Waktu itu, Maret 2012. Kami membentang tikar di ruang Club Menulis yang masih di lantai II, gedung Perpustakaan.
Hari ini, Club Menulis kembali membentang tikar. Duduk lesehan, saling berhadapan. Memang tidak ada Pak Darto, sebab Sang Inspirator telah lebih dahulu menghadap Sang Kuasa.
Launching waktu itu memberikan kesan mendalam tentang Khusuk dan Kesederhanaan. Kami ingin mengulang momen itu, walau pada hari ini hanya saya sendiri dari anggota Club yang hadir, 8 tahun silam.
Pak Darto, sejak Club Menulis terbentuk ia selalu memberi kesan positif pada mahasiswa yang berkarya. Pernah suatu ketika, saat saya masih sibuk urus Skripsi dia bertanya “Sudah selesai?”.
“Belum Pak, masih nyusun”, jawab saya di ruang tunggu Biro AUAK.
“Oh tidak apa-apa, nulis saja, penelitian saja dulu, bekarya saja dulu”, kata beliau.
Saya haru, sebab tak ada kata yang menyudutkan dari beliau. Padahal untuk mahasiswa yang sudah 8 semester saya termasuk mahasiswa tua. Tapi, beliau memandang beda. Beliau memberi motivasi dengan cara yang mengharukan.
Saya mengakui bahwa saya dan Marsita masa itu memang sedang menikmati masa menjadi mahasiswa yang menulis, turun lapangan, ikut lomba, dan menjadi penggiat literasi. Marsita bahkan pernah bilang, ia sengaja lama jadi mahasiswa agar ia bisa ikut lomba menulis untuk mahasiswa.
Saya merenung tentang momen tadi. Apa pada masa itu kami sedang senang-senangnya menjadi mahasiswa lama karena kami menemukan passion kami di bidang ini? Kami menemukan jati diri kami di dunia kepenulisan. Walau akhirnya kami cepat ambil keputusan untuk selesai dari strata 1.
Setelah saya selesai S-1, saya melanjutkan S-2. Saya bertemu dengan Pak Darto, beliau bertanya lagi bagaimana kabar, karya, dan pendidikan. Lalu beliau berpesan, “Bagus, kalau bisa S-3, sebab pendidikan itu adalah kebutuhan”.
Beliau tak bertanya, mengapa saya ambil jurusan ini dan tak itu. Beliau tak menjatuhkan saya, seperti yang pernah saya dapatkan dari orang yang berpikir, saya salah jurusan.
Saya menatap tikar yang dibentang. Tahun ini tahun ke-9 Club Menulis. Kami menutup akhir tahun dengan launching buku. Budaya peluncuran ini masih menjadi menu wajib bagi Club Menulis. Membahagiakan lagi, kawan-kawan yang aktif di Club Menulis hari ini sudah ada yang siap sidang skripsi. Keseluruhan sudah proposal. Semester 7.
Mereka melangkah lebih jauh dan cepat. Mereka menulis lebih banyak. Ikut penelitian, artikel jurnal terbit, menjadi peserta PIONIR dan BUAF, menjadi mitra di bidang observasi, mereka menang lomba, mereka berhasil ikut KKN Kebangsaan dari Kementerian Agama di Badau, Perbatasan Kalbar. Hal lebih penting mereka bisa membuat orang lain ikut berkarya. Mereka saling memvirusi, saling menguatkan, dan saling membantu.
Mereka; Tuti Alawiyah, Mita Hairani, Novie Angraeni, Khatijah, dan Saripaini-menyebut diri mereka Bidadari Literasi, telah duduk di kursi seminar proposal dan melanjutkan tulisan dari penelitian mereka Di Badau untuk Skripsi. Mereka bergerak lebih cepat, saya membandingkan diri, mungkin karena passion mereka telah mereka dapatkan sejak semester I. Mereka telah tahu cara menata euforia bekarya, dan tak takut lapangan kerja.
Dr. Hermansyah membentuk Club Menulis tahun 2010 lalu, berkeinginan bahwa Klub Akademik menjadi penunjang bagi kompetensi mahasiswa. Saat selesai dari masa pendidikan, mahasiswa-alumni memiliki skill yang tak sekadar kompetensi ijazah.
Saat renunangan ini, Pak Herman sedang menuju lantai 5. Ruangan yang kami pilih untuk acara launching. Kami rindu dengan nasihat-nasihat beliau, seperti nasihat Pak Darto yang tak pernah menjatuhkan. Nasihat yang membesarkan. Membuat kami bersemangat.
Terima kasih untuk mereka yang mendampingi Club Menulis IAIN Pontianak.