Oleh: Turiman Faturahman Nur
(Pada hari sabtu 12 Juli 1913 atau bertepatan dengan tarikh 8 Sya’ban 1331 Hijriyah di Istana Kadriah ini lahir Syarif Abdul Hamid Alkadrie sebagai seorang Pangeran Besar Adipati Anom Suria Maharaja yang kemudian menjadi Pewaris Kesultanan Pontianak dimasa itu. Putra dari pasangan Maulana Seri Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan Maha Ratu Suri Syekha Jamilah Syarwanie ini memiliki nasab yang tersambung kepada Datok nya Sayyidul Anbiya Wal Mursalin Sayyidina Muhammad Rasulullah S.A.W, dengan nama legkap Syarif Abdul Hamid bin Sultan Syarif Muhammad bin Sultan Syarif Yusuf bin Sultan Syarif Hamid I, bin Sultan Syarif Usman bin Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein, bin Ahmad bin Husein bin Muhammad Alkadrie, bin Abdullah bin Muhammad bin Salim bin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Jamalullail, bin Hasan Al-Mu’allim bin Muhammad Asadillah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqihil Muqaddam, bin Ali Walidil Faqih bin Muhammad Shahib Murbath, bin Ali Khalil’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir, bin Isa An-Naqib bin Muhammad Jamaluddin bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far As-Shadiq, bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein As-Sibthi bin Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Fathimatuzzahra binti Muhammad Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam).
Syarif Hamid mengenyam pendidikan formal di Sukabumi, Yogyakarta dan Bandung. Atas perintah abah nya, ia kemudian menjalani pendidikan Militer selama ±4 Tahun ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda Belanda sebagaimana layak nya anak seorang bangsawan pada umum nya Di Breda Belanda ini mereka dididik bukan hanya pendidikan militer saja, mereka juga dibekali pengetahuan tentang leadership (kepemimpinan) selain kecakapan umum lain nya, untuk bekal mereka nanti di saat kelak mereka menjadi Raja Sultan atau pun sebagai pemimpin lain nya di Negeri nya masing masing. Selama di Negeri Kincir Angin tersebut Syarif Hamid lebih dikenal dengan nama Panggilan “Max”. Saat Beliau bertugas di Malang di tahun1936, Syarif Hamid bertemu jodohnya seorang warga Negara Belanda Marie Didie van Delden, yang kemudian dinikahi nya dan memperoleh dua orang anak yakni:
– Syarifah Zahara Alkadrie atau Edith Corrie
– Syarif Muhammad Yusuf Alkadrie atau Maxnico
Di masa Keemasan pemerintahan Kesultanan Pontianak, Pangeran Bendahara Seri Negara Syarif Abdul Hamid Alkadrie ini bersama-sama dengan saudara-saudara kandung nya yang lain menjadi penunjang kepemimpinan ayah atau abah nya diantara saudara nya tersebut, yakni Abang nya Pangeran Adipati Seri Maharaja Syarif Usman Alkadrie, Pangeran Muda Syarif Abdul Muthalib Alkadrie, Pangeran Mas Perdana Agung Syarif Machmud Alkadrie serta saudara saudara nya yang lain, dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam mejalankan roda pemerintahan Kesultanan Pontianak saat itu.
Saat menerima tugas sebagai Komandan yang memimpin kavaleri di Tarakan serta Balikpapan yang melawan Balatentara Dai Nippon menakutkan yang terkenal kejam. Syarif Abdul Hamid diberitakan menderita kekalahan pada pertempuran di Tarakan Tahun 1941 itu kemudian ditangkap dalam keadaan terluka dan menjadi tawanan perang lalu ditahan Jepang di penjara Batavia.
Di masa inilah kekuatan iman dan ketabahan seluruh keluarga besar Kesultanan Pontianak diuji, hal ini terkait dengan masuknya penjajahan balatentara jepang di Borneo Barat termasuk Pontianak. Sultan Pontianak kala itu Maulana Seri Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, beserta saudara dan saudarinya, sanak kerabat bahkan lebih dari separuh penduduk Pontianak dan Borneo Barat waktu itu, menjadi korban pembantaian dan syahid oleh balatentara jepang yang dibantu oleh kroni-kroninya pribumi yang berkhianat kepada bangsanya sendiri. 28 Juni 1944 saat itu terjadi tragedi kemanusiaan, genosida atau pembunuhan massal terjadi dibumi Kalimantan Barat yang sampai hari ini menjadi luka terdalam bagi seluruh anak negeri Kesultanan Pontianak dimasa itu. Dalam suasana duka mencekam tersebut, semua orang mengira telah tiada lagi putra terbaik sebagai penerus tahta Kesultanan Pontianak dan Borneo Barat, karena Sultan Syarif Muhammad beserta seluruh anak lelaki nya, mereka disangka telah Syahid semua dalam pembantaian itu.
Akan tetapi jatuhnya kekuasaan Jepang diseluruh negeri-negeri oleh sekutu dan juga akibat jatuh nya bom atom di Nagasaki dan Hirosima, baru diketahui ternyata masih ada seorang putra Sultan yaitu Syarif Abdul Hamid Alkadrie masih hidup dan yang kemudian berhasil dilepaskan dari penjara tentara jepang di Batavia.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie pada medio bulan Juni 1945 dibawa pulang oleh tentara Nica dan Tentara Australia ke Pontianak. Di sisi lain Keluarga Kesultanan yang tersisa dan masih hidup pada saat itu, menyarankan kepadanya agar segera menjabat sebagai Sultan Pontianak menggantikan ayahanda nya yang telah Syahid menghadap Allah Azza Wa Jalla.
Beliau sempat menolak dan berencana untuk terlebih dahulu mencari keberadaan jenazah Ayahanda dan saudara-saudaranya Hingga akhir Oktober 1945 berakhirlah evakuasi yang dilakukan oleh Syarif Hamid II dengan laskar dan rakyat yang ikut membantu nya, ditengah proses evakuasi yang dilakukan nya ia kemudian menemukan jenazah ayahanda nya disebuah pekuburan Belanda dengan jasad yang masih utuh, meski telah wafat dalam waktu yang cukup lama. Ia kemudian menguburkan Ayahanda nya di pemakaman keluarga Kesultanan di Batulayang, begitu juga dengan seluruh korban-korban genosida lain nya setelah mereka didata, dan untuk mengenang sejarah yang telah menumpahkan banyak darah dan nyawa itu, kemudian Beliau bersama sanak saudara korban pembantaian jepang tersebut membangun tugu sebagai monumen peringatan untuk mengenang korban kekejaman dan pembantaian tentara jepang tersebut.
Akhirnya atas desakan rakyat Pontianak saat itu selain saran kerajaan-kerajaan dan sanak saudara, maka pada tanggal 29 Oktober 1945 atau bertepatan 23 Dzulqa’idah 1364 Hijriyah dinobatkanlah Beliau dengan adat istiadat Kesultanan Pontianak, sebagai Sultan Pontianak ke-VII bergelar Maulana Seri Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie.
Sejarah panjang perjuangan Sultan Hamid II dari menjaga stabilitas keamanan pasca gempuran genosida jepang, beliau juga bertanggungjawab melakukan rehabilitasi atas seluruh korban keganasan jepang yang tersisa baik dari keluarga besar maupun seluruh masyarakat. Segalanya tidak mudah, penuh cobaan kesabaran dan keteguhan iman. Semua orang terluka, teraniaya, trauma mendalam.
Dari seluruh proses awal berdiri nya Negara Republik Indonesia ini, Sultan Hamid II diajak untuk berintegrasi atau bergabung kedalam Negara yang baru didirikan tersebut, dan membantu perjuangan diplomasi negara yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 itu agar dapat diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat oleh dunia internasional. Hal ini menemukan jalan terbaiknya setelah Sultan Hamid II menjadi figur sentral dalam proses panjang Konferensi Meja Bundar II di Belanda difasilitasi langsung oleh PBB melalui UNCI yaitu sebuah badan khusus perserikatan bangsa-bangsa untuk kemerdekaan Indonesia dan pada tanggal 27 Desember 1949 Indonesia memperoleh pengakuan oleh Dunia akan kedaulatan nya.
Sumbangsih serta pengorbanan nya terhadap Negara Republik Indonesia yang baru terbentuk itu, tak hanya harta benda dan wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak yang ia korbankan, akan tetapi juga sebuah Mahakarya Besar, berupa Lambang Negara – Elang Rajawali Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang ditetapkan Parlemen RIS, 11 Februari 1950, dan penyempurnaannya didisposisi oleh Soekarno 20 Maret 1950 dan rancangan disempurnakan untuk terakhir kalinya akhir Maret 1950 dgn tata warna dan skala ukuran menjadi lampiran Resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara sebagaimana bentuknya seperti sekarang ini.
Ujian hidup Sultan Hamid II belum berakhir ketika terjadi fitnah akbar yang ditujukan kepadanya untuk menghentikan karir politik dan kemiliteran juga jabatan nya sebagai Sultan Pontianak, Akibat konspirasi tersebut Beliau kembali terpenjara oleh negeri yang ia bantu kedaulatan nya. Namun jiwa besarnya tak pernah tergoyahkan, sebab tiada dendam kesumat tertanam didalam sanubarinya.
Setelah bebas dari penjara yang terpaksa dihuni nya, akibat fitnah yang mendera diri nya. Sultan Hamid II memilih untuk mengurus keluarga besarnya dan mengasuh anak dari adik kandungnya Pangeran Mas Perdana Agung yakni Syarif Abubakar Alkadrie di Pontianak dan Jakarta selain membangun bisnis penerbangan komersil nya. Mengasuh anak-anak saudara kandungnya sampai berhasil disegala bidang dan mengkader spirit kepemimpinan yang baru untuk menggantikan estafet pembangunan Pontianak dimasa depan. “Jangan Pernah Lupakan Sejarah Kita, Pendahulu Kita Para Sultan Pontianak dan Risalah Islam yang harus terus diwariskan”.
Hari Kamis, 30 Maret 1978 bertepatan dengan 21 Rabiul Akhir 1398 Hijriyah, Maulana Seri Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menghembuskan nafas terakhirnya pada saat ia sedang menunaikan kewajiban sebagai hamba untuk tuhanya dalam keadaan sujud akhir di waktu shalat Isya’, menyusul ibundanya Maha Ratu Suri Syekha Jamilah Syarwanie yang telah lebih dahulu wafat setahun sebelumnya. Kota Pontianak berduka kehilangan pemimpin besarnya. Proses pemakaman dipenuhi oleh seluruh masyarakat tua maupun muda yang ingin ikut serta mengantarkan beliau ketempat peristirahatan terakhirnya.
Hari ini, 41 tahun setelah kepergian Sultan Hamid II. Kita semua memperingati untuk mendoakan beliau. Hanyalah doa kita semua, yang akan terus menghubungkan antara kita dan Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie, do’a yang tulus, do’a yang ikhlas, semoga lapang dan benderang kuburnya oleh karena amal-amalnya yang mulia dan sentiasa bertemu dengan junjungan kita semua, Sayyidina Muhammad Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Aamiin