Oleh: Leo Sutrisno
Dewasa ini, perundungan (bullying) di sekolah dirasakan semakin marak. Peristiwa terkini yang menjadi viral di media sosial dalam minggu ini adalah perundungan di sebuah sekolah di Kabupaten Purworejo. Diberitakan bahwa ketiga pelaku sudah ditangkap polisi.
Valerie L. Marsh, (Center for Urban Education Success, AS), 2018, menyatakan bahwa perundungan (bullying) di sekolah sudah mempunyai sejarah yang panjang, tetapi penelitian yang intensif baru dimulai sekitar 45 tahun yang lalu.
Secara internasional ada tiga hal yang disepakati sebagai kriteria tindak perundungan. Pertama ada unsur sengaja, Misalnya tindakan pelaku berupa intimidasi, humiliasi, atau menimbulkan luka pada korban. Kedua adalah tindakan tersebut diulang-ulang. Dan, yang ketiga, dan yang utama, adalah kekuatan kedua belah fihak tidak berimbang. Pelaku lebih kuat secara fisik atau secara sosial daripada korban. Sebaliknya, korban lebih rentan.
Perbedaan kekuatan itu dapat berwujud dalam berbagai bentuk. Misalnya, pelaku lebih dominan secara fisik, lebih percaya diri, lebih tinggi tingkat status di kelompoknya dst. Sebagai catatan, konflik dengan kekuatan berimbang tidak disebut sebagai perundungan (bullying) tetapi disebut, secara umum, sebagai agresi.
Dewasa ini ada berbagai bentuk perundungan di sekolah baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Tindak perundungan yang secara langsung misalnya: memaki, meneriaki, memukuli, atau melecehkan. Tindak perundungan yang tidak langsung dapat berbentuk menyebarkan gosif, mengeluarkan dari kelompok, atau membuat citra negatif korbannya. Termasuk ‘cyberbullying’ di dunia virtual dan media sosial.
Penelitian juga menemukan bahwa tindak perundungan di sekolah dapat terjadi dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Karena, dewasa ini, tindakan semacam itu dengan cepat dapat dilihat secara terbuka sepanjang tahun dan di banyak sekolah, maka sebagian siswa menganggap bahwa perundungan semacam itu merupakan sebuah ‘ritus’ yang harus dijalani oleh semua siswa di sekolahnya. Demikian juga, di antara sebagian masyarakat cenderung menganggap sebagai kenakalan biasa yang dilakukan anak-anak remaja ketimbang sebagai tindak kekerasan yang serius.
Namun demikian, syukurlah masih banyak orang yang sepaham dengan pernyataan berikut ini, “being bullied by peers represents a serious violation of
the fundamental rights of the child or youth exposed” (Olweus Bullying Prevention Program, 2013). Itu berarti bahwa perundungan merupakan ancaman bagi hak-hak manusia yang mendasar. Karena itu, perundungan di sekolah mesti mendapat perhatian semua lapisan dan golongan masyarakat, bukan hanya para pendidik dan tenaga kependidikan.
Hedayatallah Shams , Gholamreza Garmaroudi, Saharnaz Nedjat (2017) menemukan lima kelompok faktar yang terkait dengan tindak perundungan. Kelima kelompok itu adalah: faktor psikologis, faktor keluarga, faktor sekolah, faktor sosial-ekonomi masyarakat, serta media sosial. Faktor psikologis meliputi: arogansi, kecemburuan, pendapat atau opini yang dibuka secara publik, serta ‘psychiatric disorder’. Kelompok kedua, faktor keluarga meliputi: kekerasan dalam rumah tangga, salah asuh, perundungan antar saudara kandung, serta eksploitasi dalam rumah tangga. Faktor yang berasal dari sekolah yang dapat menyebabkan perundungan di di kalangan siswa adalah kurang perhatian pada tingkah laku siswa yang menyimpang, diskriminasi para siswa, prilaku guru, serta pengaruh kawan/siswa lain. Sedangkan faktor yang datang dari tingkat sosial-ekonomi menyangkut ketidakadilan dan ketidaksetaraan di masyarakat. Sedangkan kelompok kelima menyangkut: media sosial, internet dan video game.
Lingbo ZHAO, Lizu LAI, Yuzhong LIN, Chunxiao ZHAO, Zhihong REN (2018) memeta-analyisis 43 penelitian tentang program anti-perundungan di sekolah. Mereka menemukan besar efek pada target pelaku perundungan 0.57, (p<5%), penurunan jumlah korban 0.40 (p<5%), peningkatan kesehatan mental baik target pelaku maupun korban 0.40 (p<1%). Secara keseluruhan, pengaruh kegiatan anti perundungan di sekolah pada tindak perundungan sebesar 0.17 (p<0.01%). Itu berarti pengaruhnya pada perubahan tingkah laku ‘hanya’ moderat. Karena itu, penelitian lanjut perlu dilakukan.
Marloes D. A. van Verseveld , Ruben G. Fukkink , Minne Fekkes dan, Ron J. Oostdam, (2019), memeta-analysis 13 penelitian program anti-perundungan di sekolah yang melibatkan 948 guru, 2.471 staf, serta 138.311 siswa. Ditemukan bahwa besar efek pada guru adalah 0.53 (p<5%) dan pada lingkungan sekolah 0.39 (p<5%). Mereka memperkirakan dampak program anti-perundungan di sekolah dapat ditingkatkan jika pengetahuan, sikap dan prilaku anti-perundungan para guru ditingkatkan.
Hannah Gaffney, David P. Farrington dan Maria M. Ttofi , 2019, memeta-analysis 100 evaluasi independen program anti-perundungan di sekolah di 12 negara yang tersebar di Scandinavia, Amerika Utara, serta Eropa. Program anti-perundungan di sekolah ini meliputi: KiVa, NoTrap!, OBPP, serta ViSC. Ditemukan program anti-perundungan yang paling efektif untuk menurunkan perbuatan perundungan di Yunani, dan untuk menurunkan jumlah korban perundungan di Italia, diikuti di Spanyol dan Norwegia. Olweus Bullying Prevention Program mempunyai efek paling besar untuk menurunkan perbuatan perundungan sedangkan progran No Trap! untuk menurunkan jumlah korban perundungan.
Ada baiknya, program anti-perundungan di sekolah Indonesia selayaknya mulai mengadopsi program-program yang telah dilakukan internasional, mengingat tindak perundungan dewasa ini menyebar secara cepat di dunia digital melampaui batas-batas negara dan budaya. Program adopsi ini baik digunakan untuk mendampingi program yang telah dilakukan sekarang ini yang berfokus pada penanaman akhlak mulia serta jiwa Pancasila. Semoga!