in

Prof Syarif di Mata Awak Media

Prof.Ibrahim Alkadrie 1

Teraju.id, Pontianak – Saya mengenal Prof Dr H Syarif Ibrahim Alkadrie, M.Sc sejak menjadi reporter tabloid kampus Mimbar Untan (1992-1999) karena kerap kali menjadikan beliau sebagai narasumber. Beliau juga kerap kali menulis di jurnal ilmiah kampus bernama Suara Almamater. Kebetulan antara tabloid mahasiswa Mimbar Untan dengan Suara Almamater dikelola oleh pihak Humas. Dengan demikian kami kerap kali berinteraksi.

Eksistensi guru besar yang satu ini di Universitas Tanjungpura tidak dipungkiri lagi. Segudang prestasi dia miliki. Bahkan pada saat rektor Prof H Mahmud Akil, SH membuat malam apresiasi sastra, saya membuat puisi khusus tentang Prof Syarif yang kala itu membanggakan almamater karena meraih penghargaan David Panny Award.

Sebuah penghargaan kelas dunia karena kepakaran sosiologi yang didalaminya. Khususnya keterkaitan antara kemiskinan dan eksploitasi hutan. Era 1990-an di Kalimantan memang “booming” eksploitasi hutan. Dan terbukti sampai kini, hutan habis, namun rakyat tak kunjung sejahtera. Oleh karena itu segenap “early warning system/EWS” yang dinyalakan oleh Prof Syarif terbukti kebenarannya. Wajar di dunia internasional penghargaan kepada beliau telah disematkan sejak lama. Berbeda dengan penghargaan yang diterimanya dari almamaternya atau kampung halamannya sendiri. Namun, itu dealiktika kita, yang harus pula kita periksa agar ikut berubah dalam langgam “revolusi mental”.

Saya berkesempatan menjemput Prof Syarif di kediaman pribadinya yang kala itu beralamat di Gang Wijayasari, bilangan Jalan KH Ahmad Dahlan alias Jalan Penjara. Kala itu beliau masih “bungas” pulang dari pendidikan doktoralnya di Paman Sam. Tujuan kedatangan ke kediamannya bukanlah untuk wawancara, melainkan untuk menjemput beliau sebagai keynote speaker kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak. Dimana tema yang disematkan kepada Prof Syarif yakni menyoal epistimologi Islam. Ternyata beliau menguasai. Makalahnya tebal sekali!

Ketika menjemput di kediamannya yang sederhana di Wijayasari itu, Prof Syarif mengenakan jas warna abu-abu, celana panjang hitam dan dasi panjang warna merah. Dia sudah bersepatu dan siap untuk dijemput. Namun tiba-tiba telepon di antara kamar, ruang keluarga dan ruang tamu berdering. Ketika itu telepon masih analog atau konvensional. Pesawat telepon masih pakai nomor yang diputar. Suara ring tone-nya pun memang dering. Kring. Kriiiing. Kriiiiing. Apa yang terjadi? Prof Syarif yang sudah bersama saya di depan pintu arah teras balik badan. Ia tidak melangkah gontai ke arah telepon, tapi nyaris berlari. Saya mengulum senyu melihat cara seorang guru besar memperlakukan telepon masuk seperti itu. Lalu saat usai bicara di telepon, saya bertanya, “Prof, kenapa menyambut telepon terburu-buru? Seperti hendak berlari?” Beliau pun menjawab, “Orang menelepon berarti perlu. Kita menghargai waktu mereka,” katanya. Nah, di sini saya belajar soal menghargai waktu. Dan memang, Prof Syarif menyelesaikan studi S2 dan S3-nya semua di Amerika Serikat dan tepat waktu! Dengan demikian beliau “seiya-sekata”. Menyatu antara kata-kata dan perbuatannya. Maka di situ pula beliau disegani di lingkungan keluarga sampai kelas-kelas yang diampunya.

Saya masih ingat pada tahun 1993 kami bekerjasama. Saya, Syafaruddin Usman dan Muhammad Nur Hasan menulis biografi H Mawardi Ja’far sang penggagas dan unsur utama pendiri Masjid Raya Mujahidin, Prof Syarif bertindak sebagai editor. Di manuskrip tulisan kami, beliau mengedit dengan telaten dan teliti. Banyak sekali corat-coret dengan pena bertinta hijau agar mudah diketahui untuk diperbaiki. Koreksi itu tak terkecuali soal bahasa. Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di sana pula saya ikut belajar tentang struktur kata dan kalimat. Sekaligus perbedaan antara bahasa ilmiah dan fiksi. Buku kolaborasi itu kemudian terbit sebagai menandai dimulainya Untan Press. Sayang Untan Press kurang tumbuh subur, berbeda dengan STAIN Press atau IAIN Press bahkan Club Menulis IAIN Pontianak. Padahal penggerak di sana pada umumnya alumni Untan. Hal ini memprihatinkan, sebagaimana Prof Syarif kerap kali mengeluhkan–walaupun beliau tak perlu gusar karena juga mengajar di IAIN. Dengan demikian kemajuan IAIN juga bagian dari kontribusi beliau. Lihat misalnya Rektor IAIN meraih gelar doktor pun dalam bimbingan Prof Syarif.

Saya kagum dengan Prof Syarif dengan intelektualitas dan integritasnya. Beliau menemukan hipotesa penting bagi kedamaian di Kalimantan Barat. Yakni hipotesa 2020. Di sana beliau menitipkan pesan, agar kedamaian Kalbar terjaga sehingga senantiasa menyalakan EWS berupa hipotesa 2020. Tentu beliau berharap dari pergumulannya dengan data konflik kekerasan di Kalbar, 2020 itu “chaos” bisa dihindarkan. Untuk itu pula beliau dengan semangat berapi-api mendirikan program pasca sarjana sosiologi dengan konsentrasi resolusi konflik. Pada awal perkuliahannya diberikan beasiswa bagi tokoh-tokoh lintas etnis di Kalbar. Jadi, kedamaian di Kalbar satu dasawarsa terakhir tak terlepas dari jasa Prof Syarif yang mendandani dari sisi akademisi. Lahir banyak master bertitel M.Si yang kerap juga diplesetkan sebagai Mahasiswa Syarif Ibrahim 🙂

Di tahun 2011 saya berkesempatan meluncurkan buku bersama Mabes Polri di Grand Sahid Jaya, Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta. Buku yang saya tulis berjudul Cahaya Bhayangkara. Beliau turut diundang oleh Komjen Jusuf Manggabarani–sosok utama dalam biografi Cahaya Bhayangkara. Beliau hadir bersama budayawan A Halim Ramli dan tokoh kesultanan Max Jusuf Alkadrie maupun sejumlah tokoh Kalbar lainnya. Di sana Prof Syarif tampil enerjik sampai pada akhirnya Komjen Jusuf Manggabarani meminta Prof Syarif membedah buku Cahaya Bhayangkara lantaran mendapatkan anugerah MURI (Museum Rekor Indonesia) lantaran tercepat 1 bulan 4 hari dan tebal 444 halaman.

Kami kerap kali berkolaborasi. Sejak 1992 hingga kini. Tak terkecuali manakala Prof Syarif menerbitkan sejumlah buku dan bedah buku. Pujian kepadanya tak bisa dihitung dengan jari. Beliau tokoh intelektual yang menginspirasi. Sejak masa muda hingga kini tetap enerjik. Pemikirannya berapi-api. (* Direktur Pusdiklat TOP Indonesia dan Pemimpin Redaksi Media Online teraju.id)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

Diklat Journeypreneurship 1

27 Pemuda Kalbar Ikuti Diklat Journeypreneurship

IMG 20160925 094723 620

Bazar Buku Pontianak: Club Menulis Diskon Harga hingga 50 persen