Oleh: Nur Iskandar
Organisasi yang hebat di Indonesia ini ada dua. Pertama ABRI. Kedua HMI! Begitu kira-kira ungkapan Jenderal Try Sutrisno ketika mendampingi Jenderal Besar Soeharto pada era Orde Baru berkuasa di Indonesia selaku Wakil Presiden.
Pidato Jenderal Try Sutrisno itu saya simak selaku insan cita HMI yang bergelut di bidang pers. Pertama, kata Try–the smiling general–bahwa ABRI itu hebat adalah biasa. Kenapa? Sebab dia dibina dari barak. Dia dilatih disiplin. Dia dibiayai oleh negara. Wajarlah jika banyak pemimpin NKRI lahir dari jalur ABRI. Saat itu telinga kami awak pers populer Jalur A. Jalur apakah A ini? Tiada lain yakni jalur ABRI.
Yang membuat riuh gemuruh dari Jenderal Try Sutrisno yang pernah bersekolah di Kalbar karena medan tugas ayahnya selaku aparat adalah pujian kepada HMI sebagai mesin pencetak kader kepemimpinan bangsa di Tanah Air–Nusantara–Indonesia Raya. HMI kokoh dengan keislaman–keilmuan dan keindonesiaan. Era 1990-an cemerlang dengan lokomotif kemajuan Islam Indonesia dipimpin mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI Prof Dr Nurcholis Madjid.
HMI lahir sejak dicetuskan oleh mahasiswa asal Sumatera Utara di Yogyakarta–kini Universitas Islam Indonesia–Lafran Pane melalui pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam per 5 Februari 1947–bertujuan menggerakkan Indonesia dengan nilai-nilai Islam demi mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan–telah lahir banyak pemimpin penting di NKRI–setara dengan ABRI.
Saya terus menyimak data dan fakta di era 1990-an itu. Decak kagum tentu bergemuruh dalam dada. Tagline “ijo-royo-royo” membahana.
Hitungan para senior tak terperi. Tak cukup dihitung dengan jari dalam jajaran pejabat tinggi. Untuk inilah Try memuji. HMI setara dengan ABRI.
Kader HMI bertaburan di jajaran kabinet kendati tidak muncul dari barak. HMI dibesut oleh sistem kaderisasi. “Sistem kaderisasi HMI ini yang luar biasa. Terus pertahankan,” timpal Try.
Jangan tanyakan lagi HMI di luar kabinet. Sebut misalnya di DPR-RI hingga turunannya di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten maupun Kota seluruh Indonesia. Rasanya, kemana saja pergi selalu ada HMI.
Saya masuk HMI pada tahun 1992. Persis ketika rambut masih cepak. Tapi HMI bukan barang baru bagi saya. Di rumah sudah banyak stempel HMI yang berbentuk pensil atau pena tersebut. Ia terpajang pada beberapa lembar buku milik ayah yang berlatar belakang guru agama.
Usut punya usut ayah seangkatan dengan mantan Ketua Umum HMI Cabang Ir Faisal Makmur Mukti. Ayah ada di Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI Cabang Pontianak.
Menurut cerita Beliau, bahkan pernah mengontrak rumah di Gang Padi–kini Jl Prof Dr Hamka–di depan Mabes HMI–agar dekat dengan HMI. Kala itu ayah saya baru menikah dan memiliki satu putra yakni HM Nur Hasan dan kini si abang berkhidmat bersama Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan Ashabul Yamin.
Latihan Kader 1 saya ikuti di HMI Cabang Pontianak yang beralamat di Jl KH Wahid Hasyim No 229 A–semester pertama tahun 1992. Master of Trainingnya adalah Zulkarnain Nasution–mahasiswa Fakultas Teknik yang kini telah jadi “orang besar” di Jakarta.
HMI Jl KH Wahid Hasyim sebuah markas besar yang berdampingan dengan Jl Camar. Tak jauh dari Rumah Sakit Santo Antonius dan Mesjid Alfalah. Saya tak asing dengan daerah ini karena berakar budaya di Sungai Jawi. Demikian karena ayah saya lahir dan besar di Gertak Tiga–sedulur Mesjid Syakirin di mana antara Syakirin dan Alfalah berkerabat dakwah.
Kurikulum Batra alias Bassic Training mendekatkan saya dengan tokoh-tokoh penting dan intelektual muslim penggerak perubahan di Kalbar–salah satunya adalah Drs H Awang Sofyan Rozali.
Di era 1992 pula saya baru kenal dengan yang namanya SG: Stadium Generale. Di mana SG ajang akademis bergengsi HMI mengupas soal-soal politik dan kemasyarakatan. SG sangat kental keilmuan, keindonesaan dan keislaman. Idealisme mahasiswa dideder di sini. Berjejaring antara alumni dan mahasiswa yang sedang mengejar cita-cita.
Era itu saya dengan bangga bertugas menjemput pakai sepeda motor Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie dari rumahnya Gg Wijayasari. Pria jebolan S3 Amerika Serikat yang berambut panjang di belakang, namun stelan jas dan berdasi.
Di forum-forum HMI pula bersentuhan dengan para mantan ketua HMI Cabang Pontianak yang hebat-hebat, selain HM Nur sang pendiri HMI Cabang Pontianak–pria Kampong Kapor–Pontianak Timur–juga Ir Faisal Makmur Mukti yang juga adalah Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura dan Wakil Kepala Sekolah SMAN 3 Drs Abdurrahmi serta Ketua PUSKUD Drs Awang Sofyan Rozali.
Kalau Drs Abdurrahmi datang mengajar kami di HMI dengan bersepeda mini karena sederhananya kehidupannya saat itu, maka pria yang satu ini sudah tampil necis. Dia adalah Awang Sofyan Rozali. Spirit dan semangatnya mudah diserap siapa saja yang berada di dekatnya. Nada bicara berapi-api.
Kami jumpa pertama kali di aula serbaguna HMI Cabang Pontianak yang mana kerap kami “dibantai” lewat dinamika kelompok yang menyeramkan. Betapa tidak seram? Kami dibagi dalam kelompok-kelompok tertentu. Ditugasi membaca buku dan membuat makalah. Makalah itu ditampilkan dengan urut-urutan undian. Kata Zulkarnain Nasution–MOT (Master Of Training) saya di era Ketua Umum HMI Cabang Fanshurullah Asa, “Bahwa Anda akan membawa nama baik HMI di hadapan organisasi karya pemuda dan sejenisnya, se-Kota Pontianak. Ada Kosgoro. Ada AMPI, KNPI, bahkan PMKRI. Oleh karena itu dipesankan dengan amat sangat agar menguasai teknik persidangan. Misalnya bagaimana palu diketuk satu kali, dua kali, tiga kali. Kemudian bagaimana moderator bersikap, sekaligus bagaimana tema dihantarkan kepada narasumber. Begitupula dengan notulen.
Penampilan kami biasanya kacau balau karena audien ribut luar biasa. Jalan keluarnya bukanlah palu yang diketuk untuk minta perhatian audien agar diam melainkan membaca ta’audz, yakni kalimah bertuah, “A’udzubillahiminasy-syaithonier-rojiem.” Artinya aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk!
Hasilnya lumayan. Audiens sejenak terdiam. Demikian karena mereka takzim mendengarkan ayat Quran yang mulia. Di mana setiap orang-orang yang beriman akan diam manakala ayat-ayat Tuhan tersebut dibacakan.
Namun diamkah semuanya? Ternyata tidak Bro. Bahkan makin ribut dibumbui amarah. “Apaaaaaa–kamu baca ta’audz, apa kailian kira kami ini setan?!”
Narasumber saya saat itu tidak lagi tahan emosinya. Palu melayang. Gelas berderai. Meja terbalik. Ia kemudian azan…..
“Itu namanya dinamika kelompok adinda ha ha ha,” ungkap Kepala PUSKUD Drs Awang Sofyan Rozali saya temui di Kantor PUSKUD Jl Bardan Nadi tak jauh dari Bank Kalbar. Ia tersenyum bangga dengan HMI yang pernah dipimpinnya. “Masa kami Batra jauh lebih sadis,” timpalnya. Membedah ayat-ayat quran dan hadits. “Di mana jika filsafat kita tidak kuat, bisa gila,” tambahnya. Di depan kami terhidang nasi bungkus Beringin.
“Juga waktu Batra saat Abang masuk HMI jauh lebih lama. Prasayaratnya jauh lebih berat. Di malam penutupan saat itu, ada jurid malam. Ada bai’at! Kita siap berjihad fii sabilillah lah pokoknya,” katanya.
Awang Sofyan tampil selalu rapi jali. Rambutnya berombak berdiri, tapi dipaksanya sisir rapi dengan minyak yang mengkilap sehingga rebah ke arah kiri. Jadi mirip Harmoko–Menpen yang terkenal era Soeharto.
Bang Awang adalah motivator sejati. Kalau bicara selalu berapi-api. Tak terkecuali di bidang kewirausahaan. Oleh karena itu dia menangkap peluang perkoperasian dalam kelindan keislaman, keindonesiaan dan keilmuan.
Di masa Awang memimpin Pusat Koperasi Unit Desa ia berkhidmat dengan banyak entrepreneurs atau wira usaha. Di masa dia berkhidmat di perkoperasian dengan alur sejarahnya sendiri dia pun berhasil membangun Graha Dekopinwil yang megah dengan gedung bertingkat kawasan Jl Letjen Soetoyo–tak jauh dari Gedung Asrama Haji Pontianak. satu unit lagi bidang keilmuan dibangunnya yakni SMA Koperasi.
Selain narasumber yang kritis dan kaya bahan motivasi agar tidak menyerah pada keadaan, narasumber saya yang satu ini punya kisah-kisah spesial dengan saya. Bahwa saat saya memimpin Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Pontianak era ketua Aida Mochtar–yang menyumbang paling besar untuk penerbitan Insan Cita HMI adalah Bang Awang. Ia murah hati dan dermawan. Ia tidak hanya kasih motivasi lewat narasi, tapi juga menyertakan gizi.
Awang Sofyan wafat pada 29 Januari 2014. Ia sempat menjadi anggota DPRD Kalbar. Di masa dia mengabdi, torehan tinta emasnya tokcer. Antara lain bertindak selaku wakif tanah Mabes HMI Jl KH Wahid Hasyim No 229 A. Saat itu dia menyerahkan aset wakaf peninggalan “Komunis” di Kota Pontianak lewat kolaborasi apik Walikota yang juga alumni HMI, dr H Buchary Abdurrahman. Nazirnya antara lain adalah pengurus HMI dan KAHMI.
Awang juga dengan penuh semangat membangun Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) bersama H Abang Imien Taha dan Prof Dr H Chairil Effendy dkk. Dia membangun gedung Puja Pujangga. Dalam kapasitasnya selaku anggota wakil rakyat di DPRD Kalbar. Namun gedung baru setengah jadi, Bang Awang dipanggil keharibaan-Nya di usia relatif muda.
Tapak sejarah ditinggalkan Bang Awang dengan kaderisasi HMI yang kini terus melebar dan membesar. Semangat dan bara api motivasinya masih terbayang hingga kini.
Selamat ulang tahun HMI 5 Februari 1947-2021. Tahniah atas haul Bang Awang 29 Januari 2014-2021. Semoga jaya selalu HMI dengan kaderisasi yang belanggam keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan. *