Oleh: Nur Iskandar
Beberapa bulan setelah launching buku biografi politik Sultan Hamid II (2013), penulisnya–kami bertiga: Anshari Dimyati, saya dan Turiman Faturrachman Nur–menemui tokoh Kalbar H Gusti Syamsumin di kediamannya. Beliau punya peran penting terhadap Sultan Hamid dan sampai kini Pak Syam–panggilan akrabnya masih sehat wal afiat dan berdomisili di Perdana–tak jauh dengan Ayani Mega Mall. Yang saya maksud dengan pentingnya posisi Pak Sam adalah ketika beliau berada di Senayan sebagai Wakil Kalbar di DPR RI, 2004-2009. Saat itulah UU Hak Cipta dibahas.
Lalu bagaimana perjuangan Pak Syam untuk memasukkan item bahwa Pencipta Lambang Negara Elang Radjawali Garuda Pancasila mesti dimasukkan ke dalam amandemen UUD 1945–yang kala itu juga sedang ramai dibahas? Oya, ada relevansi antara UU Hak Cipta dengan UUD 1945. Bahwa Bahasa persatuan disebut Bahasa Indonesia. Bahwa Lagu Kebangsaan Indonesia Raya disebut karya Wage Rudolf Supratman. Kenapa SH tak disebut sebagai perancang lambang negara? Bukankah ini diskriminasi hukum?
“Saya berteriak lantang seorang diri!” ungkap Pak Syam dengan nada cukup keras. “Mau tahu siapa yang tidak setuju?” Pak Syam menjawab sendiri pertanyaannya, “Fraksi TNI/Polri! Kalau fraksi-fraksi yang lain diam saja. Bapak pikir mereka setuju dengan uraian bapak.”
Pak Syam memang khas. Dia selalu menyebut dirinya di depan orang lain dengan kata Bapak. Barangkali terbiasa. Sebab beliau berlatar belakang seorang guru. Bahkan memimpin SMPN 3 menjadi sekolah teladan. SMAN 1 Pontianak juga bonafide. SMPN 1 yang “bobrok” jadi idola, dan seterusnya beliau menjadi birokrat di Dinas/Kanwil PDK Kalbar maupun PGRI. Saya pikir beliau “sukses” memimpin DPD Golkar dan DPRD Kalbar sebelum ke Senayan karena talenta dan kesabarannya sebagai seorang guru. Konstituennya alias muridnya bertebar-biar di segenap penjuru mata angin. So beliau mudah jadi “wakil rakyat”. Dan beliau vokal. Termasuk melawan argumentasi TNI/Polri soal APRA.
“Hanya satu kelemahan Bapak saat diserang TNI/Polri. Bahwa Bapak tidak punya hasil riset Anshari Dimyati yang mengupas detail dasar hukum dan poin-poin putusan Pengadilan terhadap Hamid terkait pemberontakan APRA yang dipimpin Westerling.” Memang Anshari Dimyati menulis tesisnya di Universitas Indonesia setelah Pak Syam “lengser keprabon mandeg pandito”. Jadi, memang kurang matching…
Apa lacur nasi telah menjadi bubur? Tidak. Pak Sam usul agar buku biografi politik SH maupun tesis sejumlah ilmuan yang hadir belakangan–termasuk disertasi doktoral–diperjuangkan ke Mahkamah Konstitusi. Sejarah SH mesti diluruskan. Dan perlu ada “roadmap” menjalankannya. Misalnya sebagai langkah kecil-kecil, “Pangdam Tanjungpura ‘diagak’e’. Dijelaskan duduk perkaranya. Mungkin dalam pertemuan nasional kelak–di jajaran TNI–Pangdam bisa bisik-bisik dengan Panglima TNI, Kapolri, bahkan Menkum maupun Presiden. Langkah dan ikhtiar apapun perlu ditempuh oleh para pihak yang tahu “kebenaran” sejarah. Bukankah mereka “wajib” meluruskannya?
Pak Syam bersedia jika diajak ke mana pun untuk menjadi saksi. Hal senada diungkapkan saksi sejarah yang kini masih segar-bugar walau fisiknya tak dapat dibohongi sudah keriput–Baroamas Djabang Balunus Massuka Djanting. Pak Djanting diundang SH ke Hotel Des Indes. Pertemuan membahas usul dan saran apakah gerangan yang laik menjadi simbol negara?
Sebagai tokoh adat Dayak yang “cerdas” Massuka Djanting terus terang mengusulkan burung Enggang. Kemudian Panembahan Sintang Moehammad Ade Djohan mengusulkan Burung Ruai. (Di Kota Pontianak sekarang eksis Ruai TV 🙂 Mungkin perlu juga ada Enggang TV wk wk wk
Pak Massuka ingatannya luar biasa clear. Kami punya banyak rekaman testimoninya. Termasuk guru besar seperti Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, Prof H Slamet Rahardjo, SH, Dr Hermansyah, Jumadi, S.Sos, M.Si, Drs H Soedarto, budayawan H Abdul Halim Ramli, Sultan, bahkan putra Sultan Hamid Max Nico. Tak terkecuali Adnan Buyung Nasution yang kala itu mahasiswa dan hadir di persidangan SH.
Jalur lain, tentu ekspose, riset mesti tetap berlanjut walaupun tanpa dana. Seperti Film Dokumenter SH sedang digarap sineas muda Kalbar. Mungkin jalur ini akan efektif. Efektif membuka “buta” mata sejarah anak-anak bangsa–cucu cicit nusantara–sedulur Ibu Pertiwi.
Film efektif dilansir ke You Tube sehingga bisa disaksikan dan dikomentari, dikritisi oleh siapa pun juga. Tentu sesuai fakta yang nyata. Bukan argumentasi serta ‘like and dislike’ semata.
Termasuk kalau saja terbukti SH berada di pihak yang benar” maka hak-haknya mestilah dikembalikan. Saya pikir, warga Kalbar butuh membaca sejarah pemimpin daerahnya dengan bersih. Sehingga mereka tak “inferior” di level nasional/internasional, sebab sejak dulu para pemimpinnya ketika muncul ke permukaan kebanyakannya–negatif selarat–negatif melulu. Lihat saja kasus Akil Mochtar. Wakil rakyat di parlemen “begasak atawa betinju”. Etnis tertentu dipropagandakan “makan oranglah”. Pertikaian etnik berdarah-darah. Genosida Jepang dsb. Semua itu pikir saya negatif dan pantas dilibas menjadi positif.
Saya pikir mumpung Pak Sam, Massuka Djanting, Pak Darto dll masih hidup…Jangan kita lalai. Lalu Kalbar selalu jadi penonton–bahkan SDA-nya dikuras tanpa pemimpin-pemimpinnya berdaya dengan leadership strong bicara “Ini Loh Kalbar! Kalbar mau bergaining begini-begini atau begitu-begitu….”
Sebagai jurnalis yang terus mengikhtiarkan terkuaknya fakta-fakta yang aktual, lihat foto dokumentasi SH Foundation. Betapa bersahabatnya Bung Karno, dan Hatta dengan Hamid. Lihat pula betapa ramainya warga Ibu Kota Djakarta saat itu untuk menyaksikan SH diadili. Sebagai jurnalis dengan langgam kerja 5W plus 1 H saya bertanya, “Kenapa ramai sekali? Ada ketertarikan apa rakyat Indonesia saat itu? Mereka digerakkan datang atau datang dengan hati nurani? Sehebat apakah SH saat itu di pentas nasional? Bagaimana jalan ceritanya, bahwa Kalbar adalah negara merdeka dan berdaulat penuh sebagai wilayah NKRI terakhir bergabung dengan Republik Indonesia? Banyak hal menjadi misteri dan itu semua sungguh amat sangat menarik…
Tulisan dari wall FaceBook saya itu tertanggal 25 Juli 2005. Kini Pak Sam telah tiada. Tepatnya 4 April 2020. Persis 3 bulan yang lalu. Namun perjuangan Beliau nyata adanya. Sebelum napas berpisah dengan raga. Saya tidak menafikan kesaksian tokoh yang satu ini. Beliau orang baik. Sampai ajal menjemput nyawa dia berkhidmat memimpin Yayasan Mujahidin. Mesjid Raya. Terbesar dan ternegah di Kalimantan Barat.