Dari Aksi Penolakan Pemuda Dayak di Bandara Soesilo Sintang

8 Min Read

Oleh: Nur Iskandar *

Ketika terjadi sesuatu yang genting dan penting, telepon saya kerap dihubungi orang-orang yang ingin tahu kondisi lapangannya seperti apa. Hal ini tidak aneh karena mereka tahu saya jurnalis yang aktif di lapangan. Terlebih jika terjadi sesuatu yang gawat bin darurat, seperti terjadi di Bandara Soesilo Sintang, tadi pagi, Kamis, 12/1/17. “Apa benar ada penolakan alias penghadangan terhadap Tengku Zulkarnain (Wasekjen MUI Pusat) di Sintang?” Begitu nada pertanyaan dari penelepon.

Mereka sungguh kaget, karena selama ini Sintang dikenal kabupaten Kalbar yang selalu aman dan kondusif. Kabupaten Sintang–400 km dari Kota Pontianak–tak pernah ada konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Kalaupun ada, hanya riak-riak kecil yang bisa dieliminir.

Kemudian sangat cepat kondusif. Di Sintang sendiri pernah berdiri kerajaan besar yang berkaitan langsung dengan Majapahit. Bahkan Sintang menjadi referensi Sultan Hamid dalam merancang lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila yang mencengkeram seloka Bhinneka Tunggal Ika..

Saya sendiri berada di Kota Pontianak. Saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, sehingga tak bisa meliput / mereportase dengan baik. Padahal jurnalisme terbaik mengandalkan pandangan mata langsung. Nah, karena keterbatasan lokasi / jarak ini, saya menghubungi koresponden di Sintang. “Memang ada penghadangan kepada Wasekjen MUI yang akan hadir dalam acara tabligh akbar di Masjid An Nur, Kota Sintang. Mereka (massa DAD) sampai di kaki pesawat Garuda twin otter.”

Koresponden ini menjelaskan, bahwa di hari dan waktu yang relatif bersamaan ada kegiatan pelantikan Dewan Adat Dayak (DAD) Sintang. Sebanyak 30-an berpakaian adat Dayak berkumpul di Bandara Soesilo dalam rangka menjemput Ketua DAD Provinsi Kalbar Drs Cornelis, MH yang juga pejabat Gubernur Kalbar. “Gubernur tidak hadir, lalu berhembus isu bahwa di dalam penerbangan Garuda yang landing ada Wasekjen MUI Pusat Tengku Zulkarnain didampingi orang FPI. Entah siapa yang menghembuskan isu FPI tersebut,” katanya.

“Khusus tentang Dayak dan FPI ada kronologi yang telah diketahui publik. Mulai dari pengusiran Habieb Rizieq di Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya Kalteng beberapa tahun yang lalu disusul peristiwa Asrama Pangsuma di depan RS Antonius di mana Kota Pontianak ikut-ikutan tegang. Dan selanjutnya kronologis itu masih berbuntut hingga aksi bela Islam 4 September 2016 di mana Tanjung Raya sempat tegang.”

30-an orang di Bandara Soesilo batal menjemput gubernur, justru berbalik menolak kehadiran Tengku Zulkarnain.

Konon kabarnya Tengku pernah menulis di media sosial tentang etnik Dayak sehingga mereka tersinggung dan meminta agar TZ tidak menginjakkan kaki di Bumi Senentang. Sempat terjadi keributan di kaki pesawat, dan polisi meyakinkan TZ dan rombongan agar tidak turun demi keselamatan yang bersangkutan. Sebab dari mereka yang meminta agar TZ kembali, ada beberapa yang membawa senjata tajam jenis mandau. Peristiwa tersebut terekam vidio dan beredar luas.

TZ sebenarnya ngotot untuk tetap berdakwah di acara tabligh akbar, namun polisi berhasil meyakinkan akan keselamatan pribadinya. Dengan demikian TZ dan rombongan tidak turun dari pesawat dan langsung kembali ke Pontianak. Penerbangan ditempuh dengan waktu lebih kurang 25 menit.

Koresponden saya ini mengatakan bahwa setelah peristiwa tersebut para tokoh Pemkab dan masyarakat segera berkumpul. Bupati dr Jarot Winarno segera mengimbau agar warga Sintang kembali bekerja seperti biasanya karena suasana sudah kondusif. Puncaknya di malam hari, di kediaman Wakil Bupati, Askiman sehingga lahir pernyataan bahwa para tokoh adat dan agama seluruhnya cinta damai, hanya kontra pada idiologi radikal serta paham radikal. Situasi Sintang benar-benar kondusif. Namun efek yang ditimbulkan dari Bandara Soesilo lumayan panas. Terutama di media sosial. Termasuk di Ponsel saya.

Misalnya penelepon yang masuk ke saya bernada keras, pedas dan panas. Saya turut menyabarkan dengan data yang sudah terkumpul bahwa banyak pula hoax. Hoax ini yang kini tengah diperangi dan menjadi musuh bersama. Sebab, kata saya, ada banyak point perlu diklarifikasi.

Pertama tentang dugaan TZ pernah menulis hal hal yang menyinggung perasaan saudara kita etnis Dayak. Hal krusial ini perlu dibuktikan terlebih dahulu secara otentik. Bagaimana letter-luks kalimatnya? Kapan dituliskannya? Siapa yang mengunggahnya? Semua masih katanya-katanya…..

Kedua, adanya isu bahwa TZ didampingi oknum FPI. Apakah hal itu benar? Siapa sosok yang dimaksud? Adakah dalam manifes penerbangan?

Ternyata, sejauh ini (sampai artikel ini dituliskan) kedua hal krusial di atas tidak terbukti otentik dan faktual. Maka bagi saya pribadi, sesungguhnya kasus penolakan TZ dan rombongan di bandara bernilai sangat sumir. Maka wajar Wabup Askiman berang. Sebaliknya, pengamanan bandara yang “jebol” oleh aksi semacam tadi pagi menjadi catatan bagi pihak keamanan bandara agar lebih serius dan profesional dalam bekerja. Sebab adanya orang yang masuk ke kaki pesawat apalagi dengan membawa senjata tajam adalah terlarang. Standar pengamanan bandara mesti ditegakkan. Begitupula polisi mesti menjaga fasilitas negara, jangan sampai mudah diintervensi.

Hal tersebut di atas menjadi tugas pemerintah sebagai pamong masyarakat. Sebaliknya, masyarakat perlu meningkatkan kohesi sosial. Dan saya senang membaca pernyataan-pernyataan di medsos yang menyebut, bahwa warga Sintang cinta damai. Bahwa Melayu-Dayak saling kenal mengenal di Sintang dan bersaudara. Bahwa Dayak Sintang tak pernah menolak tokoh-tokoh agama yang datang berdakwah. Dengan demikian adanya penolakan kepada TZ mesti diusut sesuai koridor hukum yang berlaku secara adil dan demokratis. Saya pikir hal itu fair.

Dus, kemudian Bupati Jarot menjawab sejumlah tokoh bahwa TZ kembali diundang ke Sintang di lain waktu sebagai tanda bahwa Sintang sebenarnya “welcome”. dan kejadian di Bandara Soesilo, 12/1/17 adalah “mis-komunikasi” alias salah paham semata-mata.

***

Beberapa hari sebelum 12/1/17 ini saya mengantarkan mertua ke Bandara Soepadio dengan tujuan Sintang. Beliau orang Sintang dan berumah di Sintang. Rumah mertua ini bahkan bersebelahan dengan Asrama Keuskupan Sintang. Selama hidupnya, kerukunan tak pernah terusik. “Sintang aman dan baik-baik saja,” ungkap beliau yang sedang berada di rumah yang bertetanga dengan Keuskupan Sintang tersebut. “Tak perlu ditanggapi berlebihan,” ungkapnya.

Asrama Keuskupan Sintang juga bersebelahan dengan Masjid Raya An Nur serta Kantor Bupati. Selama ini aman dan diliputi semangat toleransi yang tinggi. Saya sebagai jurnalis yang suka memperhatikan isu-isu konflik, yakin hakkul yakin, Sintang akan mampu mempertahankan reputasi bahwa kota ini tetap rukun dan tetap menjunjung tinggi spirit toleransi.

Daerah lainya jangan “ngipas-ngipasi” sehingga menjadi kompor alias provokator. Sebab konflik kekerasan berujung anarkis selalu mengajarkan suatu hal: kalah jadi abu, menang pun jadi arang. Sama-sama merugi.

(*Penulis adalah Pemred Media Online teraju.id dan pengajar jurnalistik di Fisipol Untan dan IAIN Pontianak)


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article
Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.