Oleh: Juharis
Satu di antara kewajiban orang beragama Islam adalah mengeluarkan jumlah harta tertentu dan diberikan kepada pihak yang berhak menerima sesuai dengan ketentuan syarak. Ini merupakan pengertian zakat secara sederhana. Ini menunjukkan bahwa kesejatian seorang muslim adalah berbagi kepada sesamanya. Mengapa harta harus diberikan sedangkan untuk mendapatkannya perlu kerja keras luar biasa? Beginilah Islam, memandang harta bukan semata untuk diri sendiri walaupun pada dasarnya adalah milik sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai persaudaraan antarsesama semakin terikat erat.
Sesungguhnya sejak dahulu, zakat telah diatur dan menjadi bagian dari ibadah seorang muslim. Tujuan utamanya adalah penyeimbangan distribusi kekayaan antara kaum kaya dan kaum miskin. Kekayaan tidaklah pantas jika sekadar menumpuk di kelompok-kelompok tertentu, Islam melarang betul memperkaya diri tanpa memperdulikan orang lain. Sangat pantas, zakat disebut sebagai instrumen fiskal dalam mengentaskan kemiskinan.
Di sebuah Negara, istilah instrumen fiskal berkenaan dengan urusan pajak atau pendapatan negara yang digunakan untuk pemerataan ekonomi. Sementara Islam, zakat senjata utama mengatasi distribusi pendapatan yang tidak merata. Sebagai warga negara yang menerapkan pajak, dapat kita pahami bahwa pajak adalah urusan kita dengan pemerintah sedangkan zakat ialah kewajiban kita pada Allah ta’ala.
Saya sangat sepakat, zakat jauh lebih baik ketimbang pajak. Persebarannya lebih merata dan tidak berbelit-belit urusannya. Belum lagi birokrasi yang lemah, lantas mudah saja wibawa pajak tergadaikan oleh perilaku bejat berkorupsi oleh orang yang tidak amanah. Adapun zakat, bias disalurkan secara langsung oleh kita sendiri atau kalau tidak mau repot diserahkan kepada lembaga zakat yang ada. Benar memang, lembaga zakat juga dapat melakoni korupsi, tetapi menurut hemat saya lembaga ini berlandaskan pada ketentuan Allah. Ancamannya lebih berat bagi yang mengerti. Pajak berbeda, ini dinaungi pemerintah yang sewaktu-waktu bisa diselewengkan semau hati.
Landasan zakat adalah filantropi Islam atau kedermawanan. Hakikatnya setiap manusia memiliki jiwa kedermawanan. Seandainya kedermawanan ini dimiliki sebagian besar umat Islam, sudah jelas kemiskinan bukan lagi persoalan. Hanya yang demikian ini merupakan sifat yang tidak semua orang sadari. Beberapa meninggalkan kedermawanan sekadar untuk kepentingan dan pemuasan pribadi. Dengan kedermawanan inilah lantas saya meyebut zakat bukanlah simbol kemiskinan.
Sistem Ekonomi Islam memang mengakui bahwa setiap orang memiliki keterampilan, kreativitas, usaha, dan risiko masing-masing. Ada orang yang sebab miskinnya karena tidak memenuhi standar itu. Karenanya penerima zakat atau mustahik memang benar salah satunya fakir miskin. Sehingga menurut pandangan saya, banyak orang keliru menilai zakat selalu identik dengan kemiskinan. Bukankah ada 8 asnab perima zakat yang lain? tidak semuanya miskin toh. Beberapa zakat memang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam beberapa hari saja, selebihnya tidak. Tidak sedikit juga zakat diarahkan kepada produktivitas. Nah, pada segmen produktivitas ini yang harus digenjotkan. Sehingga stigma zakat sebagai lambang kemiskinan tergerus dari sudut pandang kebanyakan orang. Jika sudah begitu, zakat benar-benar bakal disoroti sebagai instrumen utama mengatasi kesenjangan ekonomi.
Kesadaran zakat produktif harus dipahami oleh muzakki atau pemberi zakat. Sebab muzakki adalah orang yang mengeluarkan hartanya kepada mustahik. Mustahik hanya menerima apa yang ada, kebijakan berada di tangan muzakki. Sumber zakat yang tepat dalam menyongsong produktivitas adalah zakat mal atau harta dan zakat profesi. Melalui zakat harta orang bisa mengeluarkan uang. Uang ini dijadikan sumber modal memberdayakan produktivitas mustahik.
Umpamanya dalam kasus Zakat Community Development (ZCD) yang diterapkan Baznas kalbar di Desa Jirak, Sambas (sharianews.com). Masyarakat diarahkan untuk mengelola songket dan kain tenun, rata-rata dimodali dan diawasi oleh Baznas Kalbar. Ini sangat menarik dikembangkan. Produktivitas masyarakat terwadahi dan ekonomi keluarga tercukupi.
Solusi zakat mengentaskan kemiskinan hanya melalui satu program yakni zakat yang produktif. Zakat produktif tidak habis sekali pakai saja, tetapi berkelanjutan yang kemudian menjadikan penerima zakat dapat berubah status menjadi pemberi zakat. Untuk mewujudkan semua itu, dibutuhkan kesadaran utama dari muzakki. Tidak mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Yang paling berperan adalah lembaga zakat berkolaborasi dengan pemerintah dikikuti oleh pakar zakat.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Baznas di tahun 2018 mencapai 8,1 T dari seluru masyarakat muslim di Indonesia. Jumlah sebesar itu mestinya benar-benar disalurkan ke program produktif yang menunjang terminimalisirnya kemiskinan di negara seribu pulau ini. Kesenjangan ekonomi di Indonesia memang amat pelik dari dulu, apalagi Indonesia masuk kategori negara berkembang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) gini ratio Indonesia tahun 2018 berada pada angka 0,384 artinya masih terjadi kesenjangan ekonomi. Mengingat jumlah penduduk Indonesia muslim sebagai mayoritas, setidaknya menjadi modal utama untuk mempotensialkan zakat sebagai senjata mengatasi kemiskinan. Apatah lagi, zakat adalah kewajiban. Bukan tidak mungkin kondisi isi sangat meyakinkan.
Pusat Kajian Stategis Baznas pernah mengkaji dampak zakat di tahun 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok miskin setelah menerima zakat berkondisi membaik. Baznas menyalurkan zakat melalui pendistribusian dan pendayagunaan di berbagai bidang. Kebijakan ini sebagai tameng melawan kemiskinan.
Impementasi dari zakat produktif, menurut Yunus Afandi (sharianews) adalah melalui tradisional dan kreatif. Di mana konsep tradisional dengan memberikan barangbarang produktif, dampaknya mustahik dapat menciptakan usaha melalui inisiatifnya. Sedangkan kreatif diwujudkan dengan pemberian modal bergulir sebagai bantuan pengembangan usaha para pengusaha mikro.
Potensi zakat menanggulangi kemiskinan amat tepat, yang perlu dibenahi adalah edukasi dan sosialisasi yang dilakoni lembaga dan pegiat ekonomi syariah. Apabila hanya satu dua yang bergerak maju, tidak mungkin harapan kita terhadap system ekonomi yang sejati ini diwujudkan. Sangat dibutuhkan uluran tangan dari semua komponen masyarakat. Zakat tidak semata dari orang dewasa yang sudah berpenghasilan, tetapi pula kawula muda sebagai tonggak keberlangsungan bangsa di masa depan.
Melalui dana zakat produktif untuk mengentaskan kemiskinan, umpamanya dengan dibangunnya rumah sakit, beasiswa, perumahan rakyat, bantuan dana pelaku usaha kecil, dan program lainnya. Semua bias optimal jika diserap dengan maksimal dan terarah. Akhirnya terciptalah masyarakat yang sejahtera melalui dana zakat sebagai sistem ekonomi syariah.
Dengan demikian, sekali lagi saya tegaskan zakat bukanlah simbol kemiskinan. Zakat adalah simbol kedermawanan seorang muslim yang mengedepankan sistem filantropi Islam. Ianya merupakan tonggak pembangunan ekonomi berlandaskan titah Allah Tuhan semesta alam. Lewat konsep yang ditawarkan zakat ini terbentuklah kemerataan distribusi kekayaan dan pendapatan tanpa pandang bulu. Melalui kedermawanan, jiwa social antarsesama muslim terjalin erat tanpa hambatan. Tidak ada lagi istilah yang kaya semakin tertawa, yang miskin semakin menderita.
Tidak ada solusi yang paling tepat mengatasi kemiskinan kecuali zakat, sistem dari Islam. Tidak ada distribusi yang paling merata kecuali zakat. Sistem ekonomi syariah adalah sistem kebenaran yang harus ditegakkan di mulai dari sekarang, meski dari yang paling sederhana sekalipun. Karena senadainya sistem ekonomi kapitalis mampu merubah ekonomi dunia, pastikan ekonomi syariah mampu mengubah sebuah peradaban.