Oleh Beni Sulastyo
Saya merasa teramat bersedih atas wafatnya KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Sedih yang teramat sedih, sedih yang tak bisa diwakilkan dengan kata-kata, sedih yang hanya bisa dilarutkan bersama buliran air mata…
**
Sebenarnya, saya bukanlah santri beliau, karena saya tak pernah belajar secara formal di Pesantren yang beliau pimpin. Namun, beliau adalah kyai saya, karena saya telah membaiatnya sebagai guru saya, sebagai kyai saya.
Bagi saya, KH. Abdullah Syukri, bukanlah kyai biasa, tapi Kyai Besar, Kyai yang demikian besar jasanya bagi perubahan basis pengetahuan saya, Kyai yang besar sumbangsihnya bagi jalan hidup saya, Kyai yang demikian besar kontribusinya bagi aktivitas dakwah yang kami rintis bersama Gurunda ustaz Luqmanulhakim dan para sahabat di Masjid Kapal Munzalan. Kyai yang teramat besar sumbangsihnya bagi dakwah islamiah di seluruh Indonesia bahkan dunia.
Maka, saat saya mendengar berita kepergian beliau, hati saya terasa hampa, perasaan saya berliput duka. Duka yang mendalam, sedih yang tak tertahan. Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. Semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau dan kekal di surga bersama para kekasih Allah.
**
Walaupun KH. Abdullah Syukri adalah Kyai saya, namun sebenarnya saya tak pernah berjumpa lama dengan beliau. Saya hanya pernah berkesempatan untuk bertemu selama tak lebih dari 6 jam lamamya.
Namun setelah pertemuan itu, saya tak pernah berhenti belajar bersama Sang Kyai Besar. Bukan hanya sebulan dua bulan apalagi sehari dua hari, tetapi selama tak kurang dari 6 tahun lamanya.
Saya berguru dengan Sang Kyai Besar, tidak secara langsung. Melainkan lewat santri-santri hebatnya. Saya berguru demgan Sang Kyai Besar, tidak lewat bertatap muka secara langsung, namun lewat karya-karya tulisnya dan karya-karya peradabannya yang luar biasa.
Dan hingga detik ini, walau beliau telah meninggalkan kita semua, saya tetap berguru dengan Sang Kyai besar.
**
Gurunda Ustaz Luqmanulhakim adalah orang yang paling berjasa menemukan saya dengan Sang Kyai Besar. Alhamdulillah biidznillah.
KH. Abdullah Syukri adalah Kyainya Ustaz Luqmanulhakim pada saat beliau menimba ilmu di PM.Darussalam. Bagi Ustaz Luqmanulhakim, KH. Abdullah Syukri adalah sosok yang sangat istimewa. Beliau bukan sekedar sebagai guru saja, namun sudah seperti seorang ayah baginya.
Gurunda Ustaz Luqmanulhakim membawa saya mengunjungi KH. Abdullah Syukri pada bulan Juli tahun 2014. Bertepatan dengan pelaksanaan Pilpres 2014.
Saat itu, saya diberikan kesempatan untuk membersamai Sang Kyai Besar di rumahnya. Oleh Gurunda Ustaz Luqmanulhakim, saya juga diberikan kesempatan untuk menyentuh tangan lembut penuh karya hebat Sang Kyai Besar, juga menatap matanya yang teduh dan tajam, serta merasakan tarikan dan hembusan nafasnya yang lembut penuh wibawa.
Hanya itu saja yang bisa saya lakukan. Saya tak bisa bertukar sapa dengan beliau. Saya juga tak bisa bertukar kata untuk menyerap kejernihan pemikirannya. Karena pada saat itu KH. Abdullah Syukri baru saja menjalani operasi besar di bagian kepala.
Namun, saya merasa itu saja sudah cukup bagi saya. Karena saya telah berkesempatan untuk memotret Sang Kyai Besar dalam memori saya dalam jarak yang dekat, dalam jangakauan tarikan nafas.
Potret Sang Kyai Besar itulah yang kemudian selalu saya hidup-hidupkan dalam imajinasi saya. Potret Sang Kyai Besar itu pula yang saya jadikan icon untuk menandai folder besar dalam kapal memori saya demi dapat menjelajahi samudra ilmu yang teramat luas lagi dalam dari Sang Kyai Besar.
Lewat folder bericon Sang Kyai Besar itu, saya memantaskan diri agar untuk demi menampung beragam ilmu pengetahuan yang saya dari karya-karya beliau yang terukir rapi di PM Darussalam Gontor. Lewat folder ber-icon Sang Kyai Besar itu pula, saya memantaskan diri untuk berusaha memahami sirkuit peradaban yang sangat rumit yang terinstal kokoh di PM Darussalam.
Icon Folder bergambar Sang Kyai Besar, KH.Abdullah Syukri itu kemudian melekat dalam pikiran saya. Sang Kyai Besar seakan-akan selalu membersamai saya, kemanapun saya berada. Membersamai saya saat untuk menyerap berbagai konsep dan pemikiran KH. Abdullah Syukri melalui paparan Ustaz Luqmanulhakim dan dari ratusan referensi.
Tentang sistem pembelajaran yang holistik, tentang sistem pengajaran yang penuh dedikasi dan totalitas, tentang kemandirian dan idealisme pengelolaan lembaga pendidikan, tentang sistem pengelolaan ekonomi protektif, tentang manajemen kepemimpinan kolektif, dan puluhan konsep brilian lain yang telah diejahwantahkan oleh Sang Kyai Besar dalam sirkuit tatanan peradaban Gontor yang adiluhung.
Maka, selama lebih dari 6 tahun itu, sosok KH. Abdullah Syukri seakan-akan selalu muncul dalam hari-hari saya. dalam diskusi-diskusi saya bersama para sahabat, dalam tulisan-tulisan dan konsep-konsep yang ditugaskan oleh Gurunda Ustaz Luqmanulhakim untuk saya susun, dalam renungan-renungan malam saya, bahkan dalam mimpi-mimpi saya di saat gelap meliputi malam.
Dalam urusan-urusan yang pelik, bahkan saya sering menghadirkan sosok KH. Abdullah Syukri, bukan sekedar sebagai icon folder saja. Tapi dalam wujud imajinatif. Saya sering mengkondisikan diri saya seakan-akan sosok Sang Kyai Besar berada disamping saya, duduk di atas kursi rodanya dengan penuh wibawa. Saya memandang wajahnya, lalu beliau membalas menatap saya. Dengan tatapan mata yang teduh dan bijaksana.
Dan entah mengapa, saat sosok seakan-akan itu hadir, saya merasa lebih mudah untuk mengurai persoalan-persoalan yang rumit, persoalan-persoalan yang menuntut aktivitas olah pikir yang keras dan liut.
**
Saya sadar, bahwa Sang Kyai Besar tak mungkin mengenal saya, apalagi merasa akrab dengan saya. Tapi saya merasa sangat dekat dengannya, tapi saya telah merasa teramat akrab dengannya.
Sang Kyai Besar tak akan mungkin pula mengakui saya sebagai santrinya. Akan tetapi saya telah mengakui beliau sebagi Guru saya. Guru sejati, guru sebenar-benarnya guru, guru yang saya hormati, guru yang saya sayangi, guru yang teramat saya cintai.
Maka berita tentang kewafatan Sang Kyai Besar, telah membuat hati saya terasa hampa. Berita wafatnya Sang Kyai Besar telah membuat membuat dada saya tergores duka.
Sedih rasanya. Rasa sedih yang tak bisa diwakilkan dengan kata-kata. Rasa duka yang hanya bisa dilarutkan dengan buliran-buliran air mata…
Selamat jalan SANG KYAI BESAR … kami semua mencintaimu karena Allah.
*
Pontianak, 22 Oktober 2020
Beni Sulastiyo
Pelayan Masjid Kapal Munzalan/ Pimpinan Pondok Modern Munzalan Ashabul Yamin.