Oleh: Ambaryani
Minggu 24 Desember, minggu lalu, ada 4 undangan pernikahan yang saya dan suami hadiri. Dari Sungai Jawi, Batu Layang, hingga ujung Kota Baru.
Mulanya saya pesimis bisa menghadiri keempat-empatnya. Bukan apa-apa, Minggu siang hujan lebat. Jika sudah begitu, bisa dipastikan gagal semua rencana. Maklum, berkendaraan roda 2 dengan membawa anak agak riskan jika cuaca tak mendukung. Tapi alhamdulillah, cuaca membaik siang selepas Dzuhur.
Awalnya saya tidak ‘ngeh’ kalau ke-4 undangan yang akan kami hadiri kawan-kawan suku Madura semua. Saat pulang dari undangan yang di Batu Layang baru saya sadar.
Begitu pulang, saya disodori bungkusan. Kantong kresek. Setelah itu, baru suami saya bertanya.
“Orang Madura ke kawan Bunda?”
Saya baru terpikir. Iya juga, kalau selain Madura dan Jawa, tak biasa tamu pulang dengan bungkusan. Hanya ada souvenir saja. Bungkusan ini kata teman saya disebut “bherkat”. Kalau di kampung saya disebut asol-asol. Isinya, nasi, lauk, juga 2 jenis kue.
Kadang jika isi bungkusannya sudah nasi, tak menyertakan kue lagi. Kalau sudah kue, tak harus ada nasi. Tapi ini keduanya ada.
Sebelumnya, pernah juga saya dapat asol-asol begini, saat kawan suku Madura punya hajat. Tapi tak semua dapat. Hanya orang-orang terdekat.
Kali ini, semua orang dapat bungkusan.
Sama persis dengan tradisi di kampung saya. Setiap undangan pulang membawa bungkusan. Oleh-oleh untuk orang di rumah yang tak bisa ikut menghadiri undangan. (*)