Oleh: Ambaryani
–Sudah lebih 20 tahun saya tidak pernah mencium aroma nasi jagung asli. Pernah cium bau nasi jagung, juga pernah melihatnya, tapi bukan asli. Dicampur beras dan jagungnya kasar. Bukan jagung yang halus.
Terakhir saya mencium aroma senikmat ini, saat saya masih kecil. Belum sekolah. Dulu, almarhumah Mbok Tuo, nenek dari pihak Bapak saya sering masak nasi jagung.
Beliau tanam sendiri jagungnya. Hasil panen ladang sendiri. Setelah jagung tua, dijemur dan dipipil, dipisahkan dari bonggolnya, kemudian jagung dikecrok (ditumbuk).
Setelah itu, jagung yang sudah setengah halus “diinteri”. Diputar-putar menggunakan nyiru. Memisahkan yang halus dan yang masih kasar. Nyirunya tidak sama dengan nyiru yang dipakai untuk nampi’ padi. Memisahkan padi dari sekam.
Nyiru yang dipakai untuk nginteri jagung, pinggirnya lebih tinggi. Sekitar 3 jari tingginya. Sekarang jarang saya lihat nyiru yang seperti itu.
Hari ini, ingatan saya terbang ke tahun 90an saat saya belum sekolah dasar. Saat pagi tadi saya lewat jalan pintas Rasau Jaya 2-Sungai Bulan. Tiba-tiba saja, aroma nasi jagung menyerang.
Aromanya nikmat. Kebayang zaman dulu, Mbok Tuo masak nasi jagung, berlauk ikan asin bakar, sambel korek (sambal cabe rawit mentah, bawang putih dan garam), plus daun pepaya rebus. Bahkan biasanya Mbok Tuo lalap daun pepaya mentah. Itu menjadi menu favorit beliau. (*)