Oleh: Maman Imanul Haq
Pada suatu hari, presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur, duduk di emperan masjid selepas sembahyang Maghrib. Seorang wartawan menghampiri untuk mewawancarai Gus Dur.
Belum sempurna Gus Dur menyandarkan punggungnya ke tembok, pertanyaan berat disodorkan kepadanya.
“Gus, bagaimana pandangan Islam tentang Indonesia yang memilih bentuk negara Pancasila, bukan negara Islam?” tanya wartawan.
“Menurut siapa dulu: NU atau Muhammadiyah?” Jawab Gus Dur.
“NU, deh Gus,” kata wartawan.
“Hukumnya boleh. Karena bentuk negara itu hanya wasilah, perantara. Bukan ghayah, tujuan.” Jawab Gus Dur.
“Kalau menurut Muhammadiyah?” tanya wartawan.
“Sama.” Jawab Gus Dur singkat.
Wartawan itu melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Kalau melawan Pancasila, boleh tidak Gus? Kan bukan Al-Qur’an?”
“Menurut NU atau Muhammadiyah?” Gus Dur tanya balik.
“Muhammadiyah, coba,” kata wartawan.
“Tidak boleh. Pancasila itu bagian dari kesepakatan, perjanjian. Islam mengecam keras perusak janji,” jawab Gus Dur.
“Kalau menurut NU?” Kata Wartawan.
“Sama,” jawab Gus Dur.
Sampai di sini wartawan mulai jengkel. Ia merasa dikerjain oleh Gus Dur. Jawaban menurut NU dan Muhammadiyah kok selalu sama.
Anda gimana sih, Gus. Kalau memang pandangan NU dan Muhammadiyah sama, ngapain saya disuruh milih menurut NU atau Muhammadiyah? cecar wartawan.
“Ya… kita harus dudukkan perkara pemikiran organisasi para ulama itu dengan benar, mas. Nggak boleh serampangan,” jawab Gus Dur.
“Serampangan bagaimana?” Sahut wartawan.
“Kalau Muhammadiyah itu kan ajarannya memang merujuk ke Rasulullah,” jawab Gus Dur.
“Lha, kalau NU?” tanya wartawan.
“Sama!”