Walau dari kemarin belum cukup istirahat kelelahan, akibat perjalanan panjang MLB-KL-JKTA-PTK, langsung menguap begitu aku berada di depan peristirahatan terakhir ibu.
Kutinggalkan bandara Tullamarine pkl 06:00 kemarin pagi dengan Malaysia Airline. Sekitar sembilan jam kemudian tiba di Kuala Lumpur Internsional Airport atau sekitar pukul 12:00 waktu setempat.
Pukul 13:00, pesawat Air Asia menerbangkanku ke Jakarta selama dua jam lima belas menit. Itu suatu keteledoran yang jarang kulakukan, karena mestinya aku bisa langsung ke Pontianak. Itu pun baru kusadari setelah notaris Nugroho mengingatkannya, di hotel malam tadi.
Jika langsung KL Ponti akan lebih banyak menghemat waktu, ketimbang harus menunggu penerbangan Lion Air pukul 18:00 yang membawaku dari Sukarno-Hatta ke bandara Supadio, Pontianak, sekitar satu setangah jam kemudian. Tetapi, semuanya telah terjadi.
Ini adalah kepulanganku pertama kali setelah lulus sekolah dasar tiga puluh enam tahun yang lalu. Junior dan high school aku selesaikan di Singapura. Sebenarnya itu terjadi karena trauma masa laluku tetang ibu.
Sebuah trauma ketika aku duduk di kelas tiga SD. Pada suatu hari karena a-er-te harus menyelesaikan tugas rumah, ibu sendiri yang menjemputku di sekolah.
Keesokan harinya, beberapa teman sekelas mengolok-olokku sebagai anak hantu bermata satu. “Seraaammmm, menakutkan!!!” Kata mereka. Aku pun dijauhi teman-teman.
Kelas empat hingga kelas enam aku selesaikan di sekolah lain di yayasan yang sama. Walau tidak ada yang mengolok-olok lagi, pengalaman itu membuat aku kerkeras hati minta disekolahkan di Singapura. Selain masih dekat juga karena banyak sekolah yang bermutu internasional dan berasrama.
Program Undergraduate aku selesikan di UK dan postgraduate di US dengan bea siswa perguruan tinggi masing-masing. Mulai saat itu aku hidup mandiri tanpa minta kiriman dari ibu lagi.
Dapat pekerjaan sesuai dengan yang kuiginkan di Australia. Lima tahun kemudian menikah dengan Jane, gadis Melbourne. Dan, kini tinggal Clayton bersama taga orang anak, Vicky, Merry dan Glenn.
Rumah kami berada di No 13 Tuhan St. Jalan itu cukup pendek. Hanya sekitar lima belas rumah. Tidak jauh dari Kampus utama universitas Monash.
Inilah sekilas masa laluku. Tetapi, pagi ini, sekitar pukul 09:13, aku kembali berada di Pontianak. Tepatnya di makam ibu.
Maaf, aku sungguh tidak tahu keadaan ayah, entah masih hidup entah sudah meninggal. Sejak kecil aku hanya berdua dengan ibu. Aku tidak sempat bertanya kepada ibu tentang ayah. Aku tidak juga dekat dengan ibu.
Ibu bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit daerah. Di rumah ia usaha warung sembako. Hasilnya lumayan, cukup untuk menyekolahkanku hingga SMA.
Buah dari belajar yang sangat keras adalah bea siswa untuk melajutkan ke perguruan tinggi hingga selesai program doktor.
Begitu terima kabar dari notaris Nugroho, malam kemarin, aku langsung ‘brosing’ mencari tiket Melbourne-Jakarta-Pontianak. Syukurlah koridor penerbangan Australia-Malaysia dan Indonesia-Malaysia sudah dibuka. Tentu, dengan persyaratan kesehatan yang ketat di era pandemi ini.
Tadi malam, notaris Nugroho mengajakku ke makam ibu, pagi ini, untuk mendengarkan rekaman ‘wasiat’ ibu.
“John, maafkan Ibu.
Ibu merasa waktu tidak menginjinkan kita bertemu. Kondisi Ibu sudah mengkhawatirkan.
Ibu merekam ini lewat gawai di kamar isolasi Covid ke notaris Nugroho. Dengan harapan, pada waktunya ia dapat menghubungimu untuk mengurus segala sesuatunya yang Ibu tinggalkan kepadamu lewat suara ibu ini.
Ibu mulai dari awal.
Pertama, Ibu minta maaf tidak seppt mengenalkan ayahmu. Ia seorang anggota TNI, berpangkat mayor. Almarhum meninggalkan kita saat kau masih dalam kandungan. Pesawat yang ditumpanginya hilang di tengah hutan belantara Papua.
Agar tidak mengganggu perkembanganmu, semua foto dan peninggalan lainnya Ibu simpan di lemari di kamar Ibu. Kuncinya saya titipkan mas Nugroho. Mas Nugroho adalah notaris yang menerima rekaman ini atas permintaanku.
Kedua, Ibu tahu kau sangat marah ketika Ibu menjemputmu di sekolah dulu. Kau malu karena kawan-kawanmu mengetahui Ibu bermata satu. Karena itu, Ibu minta ketua yayasan memindahkanmu ke sekolah yang lain.
Ibu, juga tahu, alasanmu minta sekolah di luar negeri adalah untuk menghilangkan jejak keadaan Ibu itu.
Tetapi, walau pun sejak itu kita tidak bertemu, setiap malam, Ibu berdoa untukMu dan belakangan setelah kau menikah juga berdoa untuk anak dan istrimu. Sebentar lagi juga sudah tengah malam. Saatnya harus berdoa untukmu walau di ruang isolasi Covid rumah sakit.
Saya lanjutkan lagi, ya Nak.
Ketiga, Ibu juga tahu kau marah besar terhadap Ibu karena tanpa sepengetahuanmu Ibu mengunjungi rumahmu di Melbourne. Ibu tidak marah, walau kau pura-pura tidak mengenal dan bahkan menyuruh Ibu segera meninggalkan rumah itu dengan alasan anak dan istrimu bakal takut jika melihatku.
Padahal sesungguhnya, istrimu sudah tahu semua tentang keadaan Ibu. Tetapi, Ibu minta agar tetap tutup mulut sampai pada waktunya kau mengatakan sendiri kepada mereka.
Keempat, semua surat-surat penting, rumah, tabungan dan lain-lain akan diselesaikan mas Nug ketika kau sudah di Pontianak. Selanjutnya terserah padamu.
Kelima, ini yang paling penting bagimu, anakku. Ibu sangat sayang kepadamu. Ibu tidak memiliki apa-apa kecuali kau, John. Ketika kau umur tiga tahun kau mengalami kecelakaan dan salah satu bola matamu hilang.
Untunglah, ada kunjungan seorang ahli mata dari Singapura ke rumah sakit. Ibu meminta bantuan Direktur agar mencakokkan mata Ibu kepadamu. Syukurlah semua berjalan lancar. Jadilah Ibu bermata satu ini.
Maaf, Ibu memberitahu ini supaya semua menjadi jelas. Kau tidak perlu menyesal. Ibu tidak menganggapmu bersalah. Semua ini Ibu jalani karena yakin bahwa inilah tugas Ibu yaitu menemani penjiarahan hidupmu di dunia ini semasa masih lemah.
Sebagai kata akhir, jalanilah hidupmu dengan langkah yang tegap. Iman yang kuat dan nalar yang jernih akan membimbingmu menyelesaikan penjiarahan ini dengan baik sesuai dengan rencana-Nya.
Jika, sesekali mengunjungi makam Ibu bawalah sekumtum bunga mawar putih. Itu bunga yang disematkan ayahmu ke sanggul Ibu sebelum berangkat meninggalkan kita untuk selamanya.
Terima kasih, Mas Nug atas bantuannya. Hubungilah John pada waktu yang tepat, kapan pun. Sampaikan rasa cinta saya kepadanya.
Selamat malam.
Ibu Murni Setyawati.”
“Inilah Mas John, pesan ibu. Sekarang kita dapat memulai menyelesaikan segala yang diminta dalam seminggu ini.” Kata notaris Nugroho.
Tidak lama kemudian, masih di makam, istri dari Melbourne melakukan video call. Ia bilang telah menonton apa yang terjadi di sini dari kiriman video notaris Nugroho yang diam-diam merekam kejadian ini. rekaman dikirimkan ketika aku sedang berdoa di pusara ibu.
Ketika melangkah meninggalkan makam aku merasa beban hidupku menjadi sangat ringan.
Di mobil notaris Nugroho memberitahukan bahwa dua hari menjelang ibu meninggal hasil tes PCRnya negatif dan oleh rumah sakit ia dipindahkan ke perawatan umum dan dimakamkan di pemakama khusus keluarga rumah sakit.
Pakem Tegal, di hari besar Imlek, 12-02-2021
Leo Sutrisno