Oleh Yusriadi
Imlek tahun 2017 ini bagi saya cukup istimewa. Banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini mewarnai hari-hari ini menyangkut hubungan antara orang Tionghoa atau Cin di sini dan di dunia maya.
Sekarang ini tengah mencuat isu Ahok. Isu ini, meskipun terkait dengan pilkada di Jakarta, tetapi berkelindan dengan orang Cin di Pontianak. Sangat jelas gelindingan isu itu hingga sampai di sini.
Situasi ekonomi yang agak sulit – menyusul turunnya harga getah, sawit, dll., berimbas pada kelesuan bisnis. Meskipun banyak orang Cin menguasai pasar dan menjadi pemain utama dalam bisnis di sini, namun, mereka juga bergantung pada petani dan pekebun yang mungkin bukan orang Cin.
Ketika getah murah, daya beli masyarakat menjadi rendah, dan imbasnya pada bisnis secara global. Jadi, tidak ada ruang yang hanya dimiliki oleh satu etnik saja.
Saya melihat bagaimana situasi sekarang terlihat pengaruhnya. Ketika datang ke rumah salah satu keluarga yang merayakan Imlek di Pontianak, saya mendengar keluhan mereka soal itu.
Secara tidak sengaja sebenarnya. Salah satu anggota keluarga di rumah itu membuka percakapan.
“Dimakan… kuenya”.
“Kuenya sedikit saja”.
“Mejanya ndak penuh”.
Nah, ketika dia mengatakan soal itu… percakapan pun masuk ke wilayah ekonomi.
“Susah ooo… karet murah. Tak mampu…”
Saya maklum karena ihwal harga getah murah memang sudah diketahui umum. Kondisi ini terjadi sudah lama.
Tuan rumah menceritakan sekarang ini bisnisnya kurang berkembang dibandingkan dahulu. Barang dagangan mereka tidak terjual selaris dahulu. Untung yang diperoleh tidak sebesar sebelumnya.
Dampaknya, ya… itu tadi. Kue di rumah saat Imlek tidak sebanyak dahulu. Mercon dan kembang api tidak semarak dahulu.
Tapi, tentu bukan itu saja sebabnya. Seperti disebutkan di atas cuaca panas di Jakarta terasa bahangnya hingga Pontianak. Orang Cin menahan diri juga dalam merayakannya. Mereka tak ingin menambah panas cuaca sekarang ini.
(*)