Oleh: Tuti Alawiyah
“Benarkeh jalannye nih?” ucap Khatijah seketika di tengah keadaan penat melewati tanah berdebu dan pepohonan sawit.
Kami memang dalam perjalanan menuju Badau untuk kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan 2019. Sebuah kegiatan bersama IAIN Pontianak dan Puslitbang Kemenag RI.
Kami memang belum pernah ke Badau. Badau hanya baru ada dalam bayangan. Dan, Tijah menemukan kenyataan yang di luar bayangannya.
Perjalaman menuju Badau kami lewati menggunakan dua taksi. Sopir memilih mengambil jalan Simpang Silat arah Semitau menuju Badau. Masih ada alternatif lain: melalui Semitau dan Putussibau. Jalur Simpang Silat katanya lebih singkat waktu tempuhnya.
Saya yang duduk berdempet tiga di mobil Avanza itu hanya diam. Diam memandang jalan yang penuh debu. Debu yang tak lagi bisa ditolerir.
Hehe, rasanya mau pulang. Menyerah. Melihat kondisi jalan penuh tantangan dengan berbagai tikungan tajam, tanah kuning bebatuan hingga debu disebut asap. Luar biasa.
Sulit membuat gambaran mengenai situasi yang sebenarnya kami rasakan. Hanya berusaha sabar. Menguatkan diri.
Saya sudah dua kali saya melewati situasi ini. Kali pertama dalam perjalanan menuju Temajuk, batas RI di ujung Sambas.
Situasinya kurang lebih sama, dimana melihat keadaan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Keadaan yang berbanding terbalik di daerah perkotaan.
Melihat kondisi jalan sepertinya jauh lebih sulit menjelaskan situasi yang sebenarnya di daerah 3T ini. Terlebih pendidikan di sana.
“Panas Dek,” teriak Eka ketika melihat anak SD sedang berjalan kaki saat panas pekat dan deburan debu beterbangan. Mereka hanya tersenyum.
Rasanya jelas ketika dibandingkan anak-anak bersekolah di perkotaan. Di kota, mereka mendapatkan fasilitas dan rasa nyaman, aman, bersih menuju sekolah. Sedangkan jalan pintas menuju Badau yang berdebu dan tandus banyak pepohonan sawit, menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Dari sisi ini mereka beruntung.
Ufs, saya seharusnya juga merasakan hal yang sama. Saya beruntung bisa sekolah di pinggiran kota, beruntung juga mengikuti program ini. Karena, apa pun kondisi jalan, saya harus nikmati dan syukuri.
Selain untuk akhir, saya juga membawa amanah untuk pelaksanaan riset aksi. Target pelaksana program riset aksi adalah penguatan pendidikan agama dan keagamaan di wilayah khusus, dengan model penguatan pendidikan agama dan keagamaan di wilayah 3T.
Suatu bentuk aksi mengenali masyarakat dan kebutuhan mereka. Merasakan goncangan di mobil yang sempit dan panas, menikmati perjalanan jauh dan berdebu, adalah bagian dari pengenalan itu. (*)