Oleh: Mita Hairani
Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan membawa kami menimba ilmu, mengarahkan kami untuk banyak belajar di Kapuas Hulu. Program ini merupakan kerjasama IAIN Pontianak dan Puslitbang Kemenag RI.
Untuk sampai ke lokasi KKN di Badau, Perbatasan Indonesia-Malasyia kami harus menempuh perjalanan kurang lebih 19 jam dari Pontianak. Kebetulan kami melewati Simpang Silat, melintasi Bukit Penai dan melanjutkan dengan penyeberangan. Ketika sampai di penyeberangan, kami menunggu penyeberangan datang dari seberang hingga sekitar puluhan menit di sana.
Sembari menunggu, Aku, Eka dan Ipa turun ke tepi sungai untuk melihat pemandangan sungai Kapuas dan merasakan kesejukan air Kapuas di hulu. Kebetulan saat itu matahari bersinar terik dan air Kapuas terasa sejuk, jadi aku beberapa kali menciduk air. Eka anggota KKN asal Silat, Kapuas Hulu turun ke sungai Kapuas membasahi kakinya. Tak lama ia berjalan, Eka mengambil air dalam genggamannya dan memercikkan ke arah kami.
Dia menyarankan kami untuk cuci muka di sana sembari membaca shalawat. Ia bilang kalau datang Kapuas Hulu harus merasa airnya, itu bisa membuat kita ingin kembali lagi. Memang karena panas dan airnya terlihat menggoda, aku pun mencoba melakukannya.
Kata-kata Eka memang terdengar tidak masuk akal. Tapi setidaknya aku percaya. Aku pernah pergi ke Kapuas Hulu, tepatnya di Kecamatan Pengkadan Desa sukaramai, dua tahun lalu.
Waktu itu baru beberapa hari kepulangan kami di sana aku sudah merasa rindu berat. Rindu dengan air bersihnya, rindu dengan keasrian lingkungannya, rindu dengan medan perbukitan, rindu dengan kearifan dan sikap ramah masyarakatnya. Mungkin dapat dikatakan selama satu minggu aku telah minum air Kapuas.
Nah sekarang untuk yang kedua kalinya aku menjelajah daerah terhulu Kalimantan Barat.
Namun meski posko kami masih kurang fasilitas, aku tetap senang bisa sampai di sini. Jalan perbukitan yang naik turun, air pegunungan, lingkungan asri, dan masyarakat yang ramah tetap ada di sini. Lebih dari itu kami dapat berwisata ke PLB yang sangat bagus yang dibangun di era Pak Jokowi.
Masyarakat di sini juga cukup baik perkembangan di berbagai bidangnya. Bukan tidak mungkin jika hanya dalam waktu beberapa tahun, Badau akan menjadi Kota Asri yang maju.
Terlepas dari susah dan jauhnya akses perjalanan ke Badau, namun tampaknya akan sulit untuk menghilangkan memori ini. Bahasa dan budaya tak menjadi penghalang kami membaur dengan masyarakat dan tak menjadi penghalang bagi masyarakat sekitar untuk memyambut dan menerima kami apa adanya. Mungkinkah karena terlalu banyak menggunakan air Kapuas? Entah. (*)