Oleh: Nur Iskandar
Saya tekun menyimak pertumbuhan keluarga besar Cocos Nucifera bernama Palem Gajah ini. Tubuhnya besar tinggi. Jangankan dari dekat. Dari jauh pun tetap gagah. Tidak salah kalau dia menyandang nama besar, sebesar gajah.
Kalau gajah dinilai gadingnya, kalau manusia dinilai pikiran dan perbuatannya.
Gajahmada dinilai hebat dengan sumpah palapanya. Ia satukan nusantara. Tak pelak kehebatannya ditabalkan Muhammad Yamin sebagai tokoh pemersatu Nusantara. Pahlawan Besar Indonesia Raya. Di Kota khaTULIStiwa Gajah yang satu ini persis di jantung ekonomi, Pecinan.
Gajahmada hidup era Majapahit. Pikirannya brilian. Nama Palapa diabadikan sebagai nama satelit Indonesia di ruang angkasa.
Palem Gajah yang saya potret tadi pagi di pertigaan Jalan Sumatera dan Jl Syarif Abdurrahman Alkadrie. Persis depan Mesjid Jihad sebelah Kantor Pos. Satu tinggi besar mengalami kematian. Sungguh amat disayangkan. Padahal rekan rekan seumurannya ditanam sehat walafiat.
Kalau manusia hidup yang dikenang adalah pikiran dan perbuatannya, maka si Palem Gajah? Keindahannya ok. Kegagahannya iya. Menyumbangkan keteduhan dan oksigen tentu. Tapi ada pesan khusus untuk kita. Bahwa kematian Palem Gajah itu dimulai dari kepalanya. Dari pucuk “pimpinannya”. Sebab itu perlu bagi kita merawat pertumbuhan sekaligus menangkap pesan. *