Oleh: Novie Anggraeni
Malam ini, saya tidak kemana-mana. Entahlah, badan terasa lemah dan ngilu-ngilu. Belum lagi suhu badan yang rasanya agak panas. Demam, rasanya tidak. Hanya saja, kurang enak badan.
“Ngape kau Eni? Lemah yak. Tadi siang bagos-bagos yak maseh.” ucap Makya, saat melihat saya duduk lemah di kursi.
Ya, saya mendadak sakit tadi malam.
Padahal, awalnya saya baik-baik saja. Namun, di cuaca yang tidak menentu saat ini, sakit memang bisa saja melanda. Apalagi, jika kondisi imun tubuh yang tidak stabil sehingga mudah terserang sakit.
“Kena ujan panas kayaknye kau nih kan?” ucap Nenek yang masuk ke kamar sambil menyelimuti saya.
Saya juga tidak tahu pasti, apakah karena tertimpa hujan panas, saya jadi sakit. Namun, setelah saya tertimpa hujan panas siang kemarin, malamnya saya langsung sakit. Bagi kebanyakan orang, termasuk di keluarga saya, hujan panas memang sangat dihindari.
Karena, kata Nenek, saat hujan panas hantu atau orang tak kasat mata berkeliaran. Maka dari itu, kita tidak boleh keluar rumah. Akibatnya kalau masih turun saat hujan panas, nanti akan keteguran (kesambat) hantu. Kalau sudah kesambat, susah untuk mengobatinya.
Saya jadi teringat, dulu, kalau sudah hujan panas sedang turun dan kita lagi ada di luar atau berada di jalan. Maka, harus menyelipkan dedaunan ke telinga. Itu dianggap sebagai alat pengalihan agar hantu tidak melihat kita.
“Sengadi ketegoran aku, baru ketegoran aku. Baru kau sebot name kau.” Ucap Nenek memberitahukan saya. Entahlah, apakah itu sebuah mantra atau apa. Nenek mengatakan orang zaman dulu sudah memang percaya hal-hal seperti itu.
Di keluarga saya, memang cukup percaya dengan hal-hal mistis dan segala pantang larang di dalamnya. Terutama Nenek, beliau adalah orang Bugis Wajo. Dan beliau percaya, kalau pantang larang tersebut tidak dilakukan, maka akan ada akibat yang didapat.
Namun, seiring berjalannya waktu. Hal-hal seperti itu sudah mulai ditinggalkan karena dianggap suatu perbuatan yang melanggar syariat. Memang sangat disayangkan, apabila budaya yang sudah ada sejak turun-temurun seperti ini hilang.
Sebab telah terganti dengan perkembangan zaman dan berubahnya pola pikir masyarakat. Dimana, kebanyakan kini tidak percaya dan tidak mau menjaga kelestarian budaya yang ada.