in

Biografi Tjhai Cui Mie dalam Proses Pracetak…

Singkawang: Panggilan Tanah Kelahiran

Biografi Tjhai Cui Mie TCM

Oleh: Masri Sareb Putra

Singkawang berjuluk Kota Amoi benar adanya. Di kota yang dikelilingi bukit dan laut itu, 42% bahkan lebih, warganya etnis Tionghoa. Pada setiap pojok jalan kota, bahkan di berbagai tikungan dan kaki bukit. Dapat disaksikan berdiri kokoh tegak menghadap tubir langit kuil-kuil warna merah darah yang dalam bahasa Hakka setempat disebut tepekong.

Pada tahun tahun 1772, etnis ini berkembang di daerah Monterado, wilayah Kabupaten Berngkayang, saat ini. Para imigran tersebut kebanyakan berkerja di pertambangan-pertambangan emas. Mereka membuat perkampungan khusus yang kemudian dikenal sebagai “kampung cina” atau pecinan.

Barangkali seperti wabah Corona pada saat ini. Pada suatu hari, di perkampungan Cina terjadi malabencana berupa wabah penyakit menyebar. Ketika itu, belum ada tabib apalagi dokter yang bisa menyembuhkan penyakit. Lalu warga Tionghoa berobat ke tabib atau dukun yang menggunakan cara tradisional dan cara gaib.

Mereka lalu mengadakan ritual tolak bala bersama penduduk lokal. Hal itu dilakukan pada hari ke-15 bulan pertama penanggalan Imlek. Tidak disangka-sangka, niat baik tolak bala mengusir segala macam wabah penyakit, dikabulkan. Merasakan adanya manfaat ritual di dalam mengusir wabah penyakit, warga pada akhirnya menjadikan ritual tolak bala ini sebagai tradisi tahunan dan berlangsung turun temurun yang bertahan sampai saat ini. Ritual dipadukan ke perayaan Imlek, yang diberi nama Cap Go Meh. Adapun Cap Go berarti: lima belas dan Meh berarti: malam. Sehingga Cap Go Meh adalah: malam yang ke 15.

Kota Singkawang berada di tengah kota/ kabupaten – kabupaten kota, di antaranya yakni Kabupaten Sambas, Bengkayang dan Mempawah. Posisi ini membuat Singkawang menjadi kota favorit sebagai tempat persinggahan dan kunjungan, baik dalam hal ekonomi maupun wisata. Apalagi ciri dominan warna merah menyala, membuat Singkawang telah terpatri sebagai kota dengan keunikan kekuatan seni budayanya.

Di kota bersejarah dan seribu kuil itulah, pada 27 Februari 1972 lahir bayi mungil. Seorang perempuan dari rahim ibu bernama Tjhai Lin Ngo yang bersuamikan Cong Kim Chong. Bayi mungil putri keempat nan cantik itu diberi nama: Tjhai Chui Mie. Agaknya, Tjhai nama yang ia warisi dari ibu. Karena itu, Chui Mie patuh sekaligus cinta pada sang ibu dan senantiasa menyimpan dan melaksanakan pesan-pesannya.

Chui Mie menghirup udara Singkawang, sekolah, kuliah, besar, dan bekerja di tanah kelahiran. Masuk sekolah dasar SDN 18 Sedau, Singkawang pada 1980, dan lulus pada 1986. Ia melanjutkan sekolah menengah pada SMP Santo Tarsisius, Singkawang (1986 – 1989). Lalu meneruskan SMK Pratiwi, Singkawang (1989 – 1992).
dan seterusnya…

(*Penulis adalah pegiat literasi Dayak yang menetap di Jakarta)

Written by teraju.id

Satu Jam Bersama Arsiparis--Mantan Bupati Sintang--Bicara Majapahit hingga Sultan Hamid

Satu Jam Bersama Arsiparis–Mantan Bupati Sintang–Bicara Majapahit hingga Sultan Hamid

Khairul Fuad

Dari Kalbar: Antologi Bersama Indonesia