teraju. id, Pontianak – Bincang karya Pradono Singkawang 16 September 2017 di Aula Balai Bahasa mendapat apresiasi yang luar biasa dari penikmat sastra yang hadir dan tiga narasumber yang mengulasnya. Acara dalam rangka menyemarakan Hari Puisi Indonesia (HPI) di Kalimantan Barat ini terselenggarakan berkat kerja sama Panitia HPI Kalbar, Pustaka Rumah Aloy, dan Balai Bahasa Kalimantan Barat. “Acara ini merupakan literasi nyata pegiat sastra untuk menyemarakkan dan mengapresiasi sastra di Kalimantan Barat,” ujar Dedy Ari Asfar pemandu diskusi.
Rangkaian acara ini dibawakan dengan atraktif oleh pewara muda Kalimantan Barat Sajidin Muttaqin Putra yang megatur sesi demi sesi acara secara keseluruhan. Acara ini diisi pembacaan puisi oleh Andhini Chintha Prasitha, (Siswa kelas 4 SDN 27 Pontianak Tenggara), M. Hafitz Ramadhan (Siswa SMP Negeri 3 Pontianak), Adi Purnomo Tjiptosaksono (Polisi), Mugiono Oyee (Seniman Kalbar), dan Suci Wulandari. Bahkan, sajak-sajak Pradono dimusikalisasi oleh teman-teman dari Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (Himbasi FKIP Untan) Pontianak.
Diskusi yang dipandu oleh Ketua Putaka Rumah Aloy Dedy Ari Asfar berjalan dengan menarik dan atraktif. Pemandu berhasil menggali pengetahuan tiga pakar sastra Kalimantan Barat dalam menggulas Pradono berdasarkan sudut pandang keilmuan masing-masing.
Pradono sebagai penulis buku diberi kesempatan pertama menyampaikan prolog. Pradono mengemukakan bahwa karya ini merupakan kompilasi sajak yang dibuatnya sejak tahun 1985 sampai dengan awal 2017. “Saya disumpah oleh Dedy Ari Asfar untuk membukukan sajak-sajak saya. Sebelum mati harus sudah menerbitkan buku kata Dedy Ari Asfar. Karena disumpah mau tidak mau perjalanan panjang saya dalam menulis puisi pun dibukukan,” ungkap Pradono.
Lebih lanjut Pradono mengungkapkan, “Antologi ini berisikan puisi-puisi pilihan, tidak semua puisi saya masukkan karena akan menjadi sangat tebal jika dibukukan. Setelah berdiskusi dan merenung sumpah itu akhirnya saya memilih secara acak karya-karya yang ada sejak tahun 1985 s.d. 2017 awal.”
Selanjutnya, kesempatan kedua Musfeptial peneliti sastra dari Balai Bahasa mengulas Pradono dari sudut sejarah perkembangan sastra di Kalimantan Barat. “Pradono Singkawang mempunyai warna tersendiri dalam konteks perkembangan sastra Kalimantan Barat,” ujar Musfeptial. Lebih lanjut Musfeptial mengungkapkan bahwa puisi-puisi Pradono berisikan tema cinta dan kritik sosial. Malahan, secara sosiologi sastra Pradono bercerita kegelisahan tentang harmonisasi yang terjadi di Singkawang, sabagaimana kasus patung naga tahun 2011 yang melibatkan isu SARA. Secara tersurat antologi ini menyampaikan pesan bahwa damai itu indah. “Patut juga dicatat bahwa kata-kata dalam antologi ini lugas dan mudah dipahami,” tegas peneliti sastra lulusan pascasarjana Undip Semarang ini.
Narasumber berikutnya Agus Wartiningsih Ketua Prodi Pendiikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan mengapresiasi Pradono yang bersemangat melahirkan antologi sajak ini. “Pada usia kreativitas yang tidak muda antologi ini merupakan usaha yang maksimal,” ujar Agus Wartinigsih.
Akademisi FKIP Untan ini melihat Pradono secara semiotika. “Mengapa merah dan hitam dan mengapa menggunakan lambang naga? Sudah dipastikan berkaitan erat dengan Singkawang. Merah identik dengan darah yang merah menggelora dalam berkarya. Tambahan, merah merupakan warna yang sangat disenangi etnis Cina. Pesannya jelas sebagai salam damai untuk peradaban,” tegas Agus Wartinigsih. Menurut pengamatan doktor lulusan Universitas Negeri Jakarta ini bahwa keseluruhan puisi berisikan struktur puisi bait modern. Pradono membukukan puisi paling banyak beratarikh tahun 2013 dalam rentang tahun 1985 samapai dengan 2017 dalam antologi ini. Menariknya, ada empat karya tanpa tahun. Dari keempat karya tanpa tahun ini diawali di halaman pertama dan diakhir halaman. Ini perlambangan tentang proses kreativitas yang tidak terbatas. Labih lanjut Agus Wartiningsih melihat tahun yang acak dalam penyusunan halaman dalam antologi ini menandakan kebebasan penulis dalam berkarya.
Agus Wartinigsih mencatat ada diksi “lisan” yang berulang sampai 35 kali. “Maknanya, jelas ini menandakan bahwa lisan itu memang harus dijaga karena mulutmu harimaumu, tegas Agus Wartiningsih. Catatan penutup Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Untan ini adalah puisi-puisi Pradono diksinya mudah dipahami karena rata-rata denotatif.
Narasumber terakhir Khairul Fuad mengungkapkan bahwa karya sastra itu peradaban hati. Perkembangannya itu tersembunyi karena proses karyanya melalui hati. Sastrawan harus membuka hatinya secara esoteris dan eksoteris sebagai prosses internalisasi penulis. Dapat kita lihat secara kasatmata atau eksoteris bahwa sajak-sajak Pradono merupakan internalisasi dari proses peradaban hati. “Ini warisan Pradono untuk peradaban selanjutnya,” ungkap Khairul Fuad pakar sastra berlatarbelakang pascasarjana tasawuf ini. (r/daa)