Oleh: Khairul Fuad
Tampaknya menjumpai kembali tahun politik, semarak pesta demokrasi Pilkada membuncah di Kalbar, juga seantero Indonesia untuk memilih pemimpin baru meski diikuti petahana (incumbent), akan segera dihelat. Segala kepentingan berbasis apapun yang terselip, akan tersaji di atas meja pesta dan sangat mudah terpantik jika terusik. Suka atau tidak suka, hajat Pilkada memang harus dihelat dengan segala konsekuensi di belakang sebab mandat rakyat mengatakan demikian.
Pada dasarnya, di negeri ini sudah dihadapkan oleh berbagai macam kepentingan (vested interest) yang berasal dari keragaman identitas yang menjadi entitas Indonesia. Keragaman sosial, malah keragaman hayati memang menjadi penanda Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulo Rote, terjajar perbedaan yang dipicu oleh keragaman latar. Tidak sekadar antarpulau, tetapi intrapulau terdapat keragaman sosial. Bahkan, satu suku terdapat perbedaan jika ditelaah mendalam.
Keragaman itu nyatanya tidak menjadi persoalan sampai sekarang, Indonesia tetap Indonesia dengan segala konsekuensi yang ada. Merah Putih tetap Merah Putih, tidak berganti warna, yang tetap membahana di langit biru Indonesia. Oleh karena itu, hajatan Pilkada yang akrab disebut tahun politik dalam ranah lokal sebenarnya lintasan atau stasiun yang tidak harus risau dilewati karena tidak akan mengganggu keindonesiaan yang tetap utuh dengan keragaman.
Ibarat sebuah karya sastra adalah antologi bersama yang berisi dengan beragam latar dan berbagai sudut-pandang, tetapi tetap terkemas pada judul besar yang disepakati. Dari judul besar telah diturunkan (derivasi) dalam bingkai narasi-narasai kecil, sebuah genre sebagai keniscayaan membentuk antologi bersama. Internalisasi harus berproses demi tetap menjaga asa untuk tidak bubar jalan dalam antologi bersama.
Oleh karena itu, narasi-narasi kecil yang bermula dari berbagai sudut sudah semestinya menyadari untuk selalu menjaga dan mendorong antologi bersama dalam bingkai yang telah dimaklumi. Antologi bersama memang tidak bisa terlepas dari narasi-narasi kecil, sebaliknya narasi-narasi kecil tersebut tidak semestinya melepaskan untuk menggantikan antologi bersama yang telah disepakati.
Ontran-ontran apapun itu yang menjadi batu-sandungan harus dilalui dengan semestinya agar terjaga asa kebersamaan. Sebuah komitmen itu yang tetap membingkai utuh sebuah antologi bersama, tidak ada karya yang saling mengungguli, tidak ada yang muncul sendiri, tetapi semua menopang mengisi antologi bersama itu. Kesadaran kolektif yang mewarnai ruh antologi bersama dan merasuki kesadaran individual masing-masing.
Identitas tidak bisa dipungkiri yang kerap mewarnai dalam lini kehidupan, harus terus diupayakan bermetamorfosis menjadi identitas kebersamaan. Keniscayaan identitas tetap niscaya dalam eksistensinya tanpa mereduksi identitas kolektif demi menopang antologi bersama tersebut. Bukan pula kemudian buku besar antologi bersama menafikan sebuah identitas, melainkan memberi ruang parsial dari anasir antologi tersebut.
Pada gilirannya, idealisme yang harus dilempangkan, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang, adalah memelihara (maintenance) antologi bersama. Jangan sampai antologi itu terkoyak-koyak lembarannya atau tergantikan oleh antologi eksklusif sebuah identitas yang parsial. Tetap terus diupayakan, malah diperjuangkan agar antologi bersama tidak tergantikan dan tidak terbredel-bubarkan oleh sebuah situasi yang sebenarnya sesaat.
Kepentingan-kepentingan sesaat saatnya diminimalisasi agar kesadaran kolektivitas tetap dalam koridor kewarasan tingkat dewa. Dengan kata lain, kepentingan abadi harus dijadikan dasar atau cetak-biru (blue print) adalah dasar rancang-bangun antologi bersama dengan ragam identitas yang terdapat pada lembarannya. Dari lembar ke lembar keniscayaan ragam narasi ujung timur-barat dan ujung utara-selatan Kalimantan Barat terikat dalam narasi besar (grand narration) antologi bersama demi narasi lebih besar Indonesia.
Dengan demikian, tahun politik lokal dengan atmosfernya dalam suhu panas, tetap saja panas pada tempat semestinya, tidak sampai ke wilayah tertentu demi asa merawat dan meruwat antologi bersama. Hanya karena lima tahun sesaat harus menggoreskan luka sehingga terkoyak-koyak lembaran antologi bersama, justru tersisa lembaran-lembaran sendiri yang sulit dibaca sebagai satu-kesatuan antologi bersama demi antologi bersama Indonesia.
Sudut Rumah
Penulis Peneliti Sastra Balai Bahasa Kalbar