in ,

Ayam Petelur dan “Distruption” itu Nyata, Digitalisasi sebagai Solusi itu Fakta

solusi digital bisnis online

Presiden Jokowi geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, mengapa inflasi dan indikator ekonomi makro baik-baik saja tapi daya beli masyarakat menurun. Rapat terbatas digelar untuk membahas fenomena yang masih menjadi misteri bagi Bappenas ini.

Dahlan Iskan dengan ciamik menganalogikan fenomena ini sebagai fenomena ayam petelur yang stres lalu enggan bertelur.

Menurut Dahlan, hal ini akibat banyaknya kejadian yang ”anti-ekonomi”. Pengusaha tidak tenang. Saat harga daging naik, peternak besar diancam. Harga beras naik, pedagang beras dirazia. Diancam dengan tuduhan yang anti-ekonomi. Lalu, muncul berita sekitar pelaporan penggunaan kartu kredit. Disusul lagi berita tentang pelaporan saldo di atas Rp 200 juta. Yang kemudian diralat menjadi di atas Rp 1 miliar. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Alhasil, para pengusaha lebih memilih menyimpan dan berinvestasi di properti ketimbang memutarkan uangnya. Mereka enggan hartanya “dikriminalisasi”. Tax amnesty yang diniatkan memburu dana-dana segar dari luar, justru menimbulkan ketakutan bagi pelaku usaha dalam negeri. Bisnis mereka seakan selalu dimata-matai. Bayangkan, status kocak Raditya Dika tentang mobil Raffi Ahmad ditanggapi serius oleh Ditjen Pajak lewat tweet-nya.

Meski demikian, pelemahan ekonomi ini bukannya tidak mendapat bantahan. Rhenald Kasali coba menjelaskan fenomena ini melalui buku dan berbagai tulisannya di media daring.

Ia mengungkapkan tesa bahwa banyak pelaku ekonomi yang tidak menyadari era digital telah memangsa margin profitnya. Sang raja pasar bisa sekejap terkapar. Disruption istilahnya.

Menurut Rhenald, disruption mengubah banyak hal, sehingga cara-cara bisnis lama menjadi usang atau ketinggalan zaman. Persis seperti sebagian besar bangunan pabrik es yang kini telah berubah menjadi “rumah hantu”, atau mesin faksimili yang sekarang hanya teronggok di sudut ruangan.

Nokia tidak merasa telah melakukan kesalahan apapun. Seluruh teori bisnis konvensional mereka lakoni. Top manager mereka rekrut. Tapi kebangkrutan tetap menerpa.

Nokia “hanya” lupa membuka pintu hati saat Android menyerbu pasar.

Pada skala lokal, pedagang Mangga Dua dan Glodok garuk-garuk kepala yang tak gatal. Tidak ada kesalahan yang mereka lakukan dalam product, price, place; namun tiba-tiba profit mengecil, omset menguap. Tak ayal, toko pun ditutup paksa.

Mereka “hanya” menutup mata saat transaksi online di Tokopedia sudah mencapai angka 1 trilyunan per bulan. Dan, Alibaba bersiap menggelontorkan 14 triliun untuk Tokopedia. Patut diingat, itu uang semua.

Tak pelak disrupsi di era digital ini menciptakan kegamangan bagi pelaku bisnis konvensional, khususnya di negeri kita.

Kita di Indonesia, baru memposisikan diri hanya sebagai konsumen teknologi, teraniaya pula, hingga yang lahir hanya share-an hoax lewat Facebook. Kreatifitas kita di dunia online baru sebatas kemunculan istilah bumi bulat vs bumi datar. Nasi bungkus vs nasi kotak, dan sebagainya. Sehingga yang sibuk hanya pak polisi yang terus menerima laporan pencemaran nama baik. Energi tercurah untuk hal rempah-rempah.

Bukankah bila kita benar-benar memanfaatkan dunia online maka yang “repot” itu Kementerian Perdagangan dan UKM? Kementerian Perdagangan direpotkan mencatat hasil positif pertumbuhan ekspor Indonesia yang meningkat lewat transaksi online. Indonesia menjadi “top 5” ekonomi dunia. Atau ini hanya sekedar mimpi saya saja…

Saat ini, banyak yang masih merasa bahwa bisnis dengan membuka toko di pasar sentral, menjadi kontraktor rekanan pemerintah, dan mengeruk sumber daya alam—merupakan bisnis yang tidak akan pernah rugi. Kini, kenyataan berkata lain: toko di pasar dibabat marketplace; proyek e-KTP menyisakan borok yang dalam; dan harga batubara melorot tajam. Semua akan berakhir pada waktunya…

Saya berharap, digitalisasi bisa menjadi solusi. Dan, dunia online mampu menjadi kunci bagi masalah bangsa.

Solusi akan mampu didulang bila kita cerdik menggunakan senjata digital ini. Banyak yang belum sadar, kita sesungguhnya bisa menjadi produsen sekaligus konsumen dengan mudahnya di dunia online. Buktinya, Microsoft, Google dan Amazon lahir “hanya” dari garasi rumah.

Meski belum menjadi bola salju. Para pelaku bisnis online mulai berbiak di tanah air. Alih-alih berkomentar mengapa Cesar berjoget kembali, para mahmud (baca: mamah muda) menjadikan hp-nya untuk berjualan jilbab secara online. Para affiliate marketer berlimpah dolar lewat klik mouse-nya. Pelaku bisnis mantap meraup dolar dengan Adwords dan Facebook ads.

Ya, anda akan mudah menemukan banyak kisah pelaku bisnis Indonesia yang sukses di dunia online. Silakan googling

Ke depannya, seluruh penggiat dunia online, dan pemerintah tentunya, harus bersinergi untuk memetakan persaingan, menyatukan kekuatan guna melahirkan startup digital yang mampu bersaing di tingkat global. Pemerintah harus memfasilitasi inkubator di daerah masing-masing. Buka pintu seluas-luasnya bagi investor untuk menemukan startup yang seksi untuk dikucuri investasi. Sebagaimana Menkominfo Rudiantara berharap lahirnya satu startup unicorn—yang bervaluasi di atas 1 miliar dolar—satu buah setiap tahun. Kemarin Gojek, sekarang Tokopedia, besok startup anda? Insya Allah.

Sekarang jamannya digital. Yang ketinggalan kereta, bersiaplah terpental. Segera beraksi, tanpa tapi, tanpa nanti. Ayla view all..

Written by Yaser Ace

propertipreneur | digitalpreneur | kulinerian

IMG 20170816 102834 502

Setahun “teraju.id” Meliput Berita Bumi “KhaTULIStiwa”

IMG 20170817 105140 031

Merah Putih di 72 Tahun Kemerdekaan RI