Oleh: Yusriadi
Kisruh La Nyalla dan Prabowo muncul di ruang publik sehari dua ini: sejak La Nyalla mengungkapkan adanya mahar politik untuk maju dalam pilgub Jatim.
Republika dan TV One memberitakan cukup banyak porsinya. Di media terungkap tanggapan, terutama penjelasan soal mahar itu. Utamanya dari orang Gerindra yang berkepentingan mengklarifikasi hal tersebut, dan pihak kritis yang mendorong agar kasus ini diungkap.
Saya melihat kejadian itu seperti sebuah situasi ruang publik, ada bau busuk tercium samar. Lalu ada yang menunjuk ke arah tertentu. Lantas terdengarlah:
“Kau bau busuk”.
“Bukan aku yang kentut”.
“Aku tidak kentut”.
“Mana buktinya?”
“Kau tak punya bukti”.
“Biasa, bro… Orang lain juga kentut”.
Lalu, lama-lama bau busuk pun hilang.
“Benar, tak ada bukti”.
Begitulah setiap waktu, setiap pemilu. Bau selalu ada. Selalu ada yang menunjuk ke arah tertentu. Tapi bau dan telunjuk tidak cukup untuk tindakan selanjutnya.
***
Ingat hal mahar itu, saya jadi ingat seorang teman, politisi yang sekarang ada di sebuah gedung rakyat di sebuah daerah di Kalbar.
Dia menghubungi saya Jumat kemarin, dan katanya sedang menjaring informasi tentang calon kepala daerah untuk pemilu mendatang.
“Bagaimana pandangan Anda tentang calon yang muncul sekarang?
Bagaimana orang kampus memandang pilwako dan pilgub?”
Panjang cerita, saya sempatkan diri bertanya: mengapa tak jadi maju menjadi calon kepala daerah. Modal perahunya ada. Partainya partai besar. Dia punya perahu hampir cukup untuk ditumpangi menuju 1 A itu. Jika bukan walikota, wakil pun bisa.
“Saya realistis, Bung”.
“Saya ada perahu, tapi untuk menggerakkannya kan perlu biaya. Banyak”.
“Saya tak punya banyak modal, oi…”
Ya, begitulah. Lagi-lagi, realitasnya, perlu modal. Kalau bahasa teman yang pernah gagal dalam pilkada, kita harus siap em em. Maksudnya miliaran rupiah.
“Uang macam tak berseri,” begitu istilah teman lain yang pernah menjadi pendamping cakada di Kalbar.
Kawan itu sudah mendapat pencerahan melalui proses sebagai “pemain”. Dia sudah tahu luar dalam.
Ya, begitulah realitasnya. Saat pemilu, saat bertarung bagi tokoh, saat panen bagi “pialang”, saat makan bagi peserta–makanya, bisa dipahami 100 persen kalau ada yang mengatakan pemilu adalah pesta bla…bla…. Tidak ada pesta yang tak berbiaya. Harta, pesta kawin, sunatan, syukuran, selamatan, dst…
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai istilah untuk uang yang dikeluarkan saat pesta. Kosa kata atau kadang makna baru muncul. Money politic, amunisi, hingga mahar.
Awam ditunjukkan dengan makna-makna baru untuk “menghalalkan” atau “mengharamkan” uang yang dikeluarkan senyampang dengan pesta itu. Salah-benar, serba tidak jelas. Yang jelas, pesta terus berjalan. Pertarungan berlangsung, ada pemenang dan ada pecundang. Ada yang bahagia, ada yang menggila.
Kadang terlihat kasat mata, terdengar dan tercium aromanya. Lantas, lama kemudian… kabur. Muncullah kesan: semua itu seperti kentut, ada bau tetapi tak berwujud. Seperti serangan fajar, ada biasan cahaya, tetapi tak bisa diraba. Uang yang diberikan diberi-terima, tetapi disebut tak ada bukti kuitansinya.
Kasus mahar La Nyala menunjukkan bahwa sekarang ini banyak orang yang risau. Banyak yang prihatin.
Lalu, bagaimana selanjutnya? (*)