Oleh: Leo Sutrisno
Hari ini, Rabu, 25 Desember 2019, umat Kristiani di seluruh penjuru dunia memperingati kedatangan Yesus Kristus, Penyelamat dunia. Inkarnasi Tuhan Yesus menjadi manusia terkesan sangat ekstrim. Betapa tidak!
Ia dilahirkan oleh seorang wanita desa. Desa Nazaret dua ribu-an tahun yang lalu tentu jauh dari gambaran desa-desa di era digital saat ini. Ayah-Nya, secara hukum, bukan siapa-siapa. Ia, Yusuf, seorang tukang kayu. Seorang pekerja keras. Tidak banyak bicara. Bahkan, di awal, sempat ragu ketika ibu-Nya, Maria, mengandung diri-Nya.
Yesus, bekerja dan menyebarkan ajaran-Nya dalam usia masih sangat muda, usia 30 tahun. Itu pun, hanya sekitar tiga tahun-an. Namun demikian, Ia sungguh seorang ‘Transformative Leader”.
Ia tahu siapa diri-Nya. Ia juga persis tahu apa misi-Nya. Misi itu, dikomunikasikan kepada para murid-Nya melalui berbagai moda. Kadang lewat perumpamaan. Kadang lewat penyembuhan. Kadang lewat debat sengit dengan para ahli kitab. Kadang juga lewat tindakan tanpa disertai kata-kata apa pun.
Ia membangun relasi yang sangat beragam baik secara idividual maupun secara kelompok. Muridnya juga baragam latar belakang tingkat sosial ekonominya.
Ia membangun sebuah komunitas, yang kini dikenal dengan naman Kristiani. Dalam komunitas itu, Ia bangun suatu norma bersama yang wajib dijunjung tinggi semua orang Kristiani, yaitu kasih. Ia perintahkan agar semua murid-Nya mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama secara total.
Ia juga menjadikan diri-Nya sebagai petugas BP – Bimbingan dan Penyuluhan, yang gemilang. Ia tidak berdiri di pinggir jalan sambil memberi pentunjuk. Tetapi, Ia berjalan bersama dengan murid-Nya. Bahkan, Ia menjadi pokok batang anggur bagi semua murid sebagai ranting-rantingnya.
Sudah barang tentu, sebagai ‘Transformatif Leader’, Ia juga mempunyai karakter yang luar biasa. Dedikasi sebagai Penyelamat dunia dijalani hingga bersedia mati di salib. Kala itu, di lingkungan hidup-Nya, mati disalib adalah mati yang paling nista.
Minggu lalu, Ibu Mirah, seorang wanita desa di Jawa Tengah, meninggal dunia. Ia tercatat sebagai pemeluk agama Katolik. Ia meninggalkan tiga orang anak. Dua penganut Muslim yang taat seperti almarhum suaminya. Satu orang anak yang lain memeluk agama Katolik.
Ketiga anak Bu Mirah berembuk bagaimana cara mendoakan arwah almahumah. Mereka sepakat akan mendoakan dengan cara sesuai dengan agama yang mereka peluk. Karena itu, di rumah duka berlangsung doa bersama secara bergiliran. Masing-masing dipimpin seorang prodiakon dan seorang uztad.
Mereka juga sepakat, doa-doa yang akan dilakukan sesuai dengan adat Jawa, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya hingga seribu hari kelak, tetap dilakukan seperti itu. Artinya, sesuai dengan agama yang mereka peluk dengan bergantian jam pelaksanaannya.
Bu Mirah telah mengalami transformasi, sehingga mampu menanam kasih-Nya di dalam hati ketiga anaknya. Tentu juga kepada para cucu dan kaum kerabatnya. Bahkan, juga kepada para tetangga dan masyarakat sekitarnya.
Saya, LS, melihat di hari Bu Mirah sekeluarga telah tumbuh subur sebuah Taman DAMAI – Di sini Aku Menerima Anugerah Ilahi. Karena itu, bersyukur menjadi hal yang utama. Bersyukur kepada Sang Khaliq, Sang Pemilik Kehidupan.
Selamat Natal 2019.
Salam Damai dari Pakem, Yogya
Malam Natal 2019.