Oleh: Yusriadi
Saya membaca judul-judul berita yang terasa provokatif tentang Anies Baswedan dan pidatonya. Kata pribumi yang digunakan dalam bagian pidato saat pelantikan sebagai gubernur, pekan lalu, telah memancing banyak komentar.
Saya tidak berkesempatan menyaksikan siaran langsung pelantikan dan khususnya pidato itu, dan tidak secara penuh menikmati semuanya. Penggalan yang disajikan media yang karena keterbatasannya, plus bumbu-bumbu komentar dari pengamat, tokoh dan orang sana-sini, memang bisa menyesatkan. Apalagi dicampur dengan prasangka dan agenda tertentu.
Silang siur kata pribumi telah menarik saya untuk mencari informasi lebih jauh. Tulisan-tulisan yang bisa dibaca tentang hal itu banyak. Ada tulisan yang informatif — tulisan yang memberikan informasi dan wawasan baru, dan banyak pula tulisan yang provokatif yang memicu sentimen. Keduanya berpacu mengisi dan menjajali ruang publik.
Kegaduhan amat sangat terasa. Sebagian media arus utama, seperti biasa, tidak mampu menahan diri memanaskan suasana. Peringatan agar wartawan tidak ikut mengompori agaknya tidak berarti. Fait accompli terus dilakukan.
Akibatnya kita seperti ditarik ke dalam perang opini antar dua kelompok di republik ini. Saya merasa untaian peristiwa menjuntai tak putus-putusnya. Hal kecil menjadi besar dan heboh.
Ya, apa yang terjadi sekarang memang tidak bisa dilepaskan dari kejadian-kejadian sebelumnya. Hiruk pikuk di Jakarta beberapa waktu lalu, gaungnya masih terdengar dan masih tertancap kuat dalam memori publik.
Karena hal itu harap maklum bahwa konteks itu ikut memberi makna terhadap kata “pribumi ” yang dituturkan Anies. Makna kata asal, bergeser, dipengaruhi konteks perseteruan antar kubu, sebelumnya.
Dari sisi linguistik, pemaknaan dan perubahan makna seperti ini bisa dipahami dan dijelaskan. Hal seumpama itu bisa terjadi. Makanya secara awam dikenal ada makna dasar dan makna tambahan. Ada makna konotatif dan denotatif. Ada makna bahasa dan makna istilah.
Tetapi di balik “kebolehan” pemahaman makna seperti ini, kita perlu menyadari bahwa sekarang ini kita telah sangat sensitif. Kita sering dan akan sering menjumpai orang-orang dengan pemaknaan baru yang berbeda. Kadang-kadang seperti mencari pasal –kata orang Melayu.
Menghadapi orang dan situasi seperti itu merupakan pekerjaan besar kita. Kita harus berbuat sesuatu agar semua itu tidak menjadi akumulatif lalu memunculkan ledakan. Mari! (*)