Oleh: Nur Iskandar
Begitu turun di Bandara Soeta dan memasuki mobil Damri, Rabu, 16/11/16 pesawat TV menayangkan siaran bahwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama oleh Mabes Polri. Kadiv Humas Polri Boy Rafli Amar memberikan penjelasan kepada media. Begitupula dengan Ahok, memberikan pernyataan menerima dan patuh pada ketetapan hukum, sementara dia bertekad bekerja lebih keras untuk Pilkada DKI satu putaran.
Sebelum take-off, di Pontianak, rekan saya bertanya, apa kira-kira ketetapan dari Mabes Polri. Sebelum saya mengutarakan pendapat, seorang pengacara menimbang, bahwa ada peluang Ahok lepas dari jerat tersangka. Alasannya kurang lebih sama dengan sejumlah saksi atau ahli yang menunjukkan bahwa kalimat yang dikeluarkan Ahok di Kepulauan Seribu tidak mengena penodaan agama.
Saya berpendapat bahwa Ahok akan jadi tersangka. Alasannya tampak dari safari keliling Presiden RI Joko Widodo ke TNI dan tokoh ulama. Hal ini tak lazim. Maka, ternyata apa yang saya duga, menjadi kenyataan.
***
Sepanjang jalan Soeta sampai ke Blok M, paparan media seputar putusan buat Ahok. Siaran pun kelap-kelip, tergantung penerimaan pemancar Damri. Saya tertidur. Namun saat berpindah ke Bajaj menuju Fave Hotel, saya bertanya dengan sang sopir. Bagaimana Pilkada DKI Pak? Apakah ditetapkannya Ahok sebagai tersangka menggerus popularitas dan peluang keterpilihannya (elektabilitasnya)?
Sang sopir mengatakan, Ahok terbukti baik memimpin Jakarta. Namun dia yang mengaku awam, dari tidak tahu agama, menjadi lebih paham ajaran agama.
Sopir ini warga DKI. Dia punya hak pilih dan akan memilih. Saya tanyakan, siapa yang akan dia pilih? “Pokoknya bukan Ahok Pak.”
Perih juga saya mendengarkannya. Gara-gara lidah, Ahok begitu jauh menurun elektabilitasnya. Padahal dia salah satu pemimpin idola yang banyak membuat gebrakan atau perubahan atas wajah kota dari kumuh menjadi bersih. Dan biasanya, kalau di tingkat akar rumput sudah punya sikap macam begini, alamat dominan. Maka pernyataan Ahok untuk menang satu putaran, bisa terbalik. Yakni tak sampai satu putaran pemilihan. Dan kalau itu terjadi, dampak lanjutannya dia akan terpental dari kursi DKI-1 dari posisi petahana. Ini hitung-hitungan politik praktisnya sesuai pengalaman penyelenggaraan jajak pendapat publik.
Kalau ternyata dua putaran? Suara dukungan atas kandidat Anies Baswedan dan Agus Harimurti akan menyatu vs Ahok. Dan konstituen mereka pada umumnya umat Islam. Sebelumnya banyak umat Islam mendukung Ahok. Namun hati mereka terluka gara-gara Ahok menyebut, “Jangan mau dibohongi pakai Almaidah 51.” Sesuatu yang substil dan semestinya tak terucap oleh Ahok yang sudah menikmati kursi Gubernur DKI yang ditinggalkan oleh Jokowi.
***
Selain Ahok, Buni Yani dan Ahmad Dhani juga akan menjalani proses hukum. Buni Yani adalah orang pertama yang menyebarluaskan pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Dia memotong kata “pakai”. Dan viral menjadi liar. Begitupula Ahmad Dhani yang menodai kepala negara. Kasus Ahok tersangka terus bergulir ke ranah hukum. Namun bola api ini memercik sampai ke luar DKI. Mungkin lemparan molotov di Singkawang bagian dari imbas Pilkada DKI. Sebab di Singkawang juga akan ada pilkada, Februari 2016. Begitupula dengan pembakaran traffict corn di Tanjungraya. Saya rasa dan saya duga, kesemua ini sumbu panasnya adalah politik. Oleh karena itu hati-hati jika bermain politik. Sebab politik itu laksana bola api. Jika salah kelola bisa diri sendiri atau masyarakat luas ikut terbakar. *