teraju.id, Aston – Tampil memukau publik di Hotel Aston Pontianak dan webinar nasional, Sabtu, 11/7/2020, budayawan Betawi Ridwan Saidi menyita banyak perhatian. Ia yang berbicara sebagai pakar pembanding setelah Prof Dr Meutia Hatta bicara begitu lugas.
Pertama, ia menegaskan bahwa cara pandang para sejarahwan terhadap Sultan Hamid harus diubah. Terutama yang dimaksudkannya adalah para sejarahwan yang menuding Sultan Hamid sang perancang lambang negara dan diplomat ulung di Konferensi Meja Bundar sehingga Indonesia berhasil meraih kedaulatan penuh pasca proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 sebagai pengkhianat negara, bukannya pahlawan nasional.
Timeline itu diurutkannya sesuai jejak waktu yang dijalani Sultan Hamid sejak lahir pada 12 Juli 1913. Ketika itu Kesultanan Qadriyah adalah sebuah negara yang mempunyai yurisdiksi yang jelas. Qadriyah mempunyai wilayah, warga negara, konstitusi, bahkan adanya pasukan kerajaan. Sultan Hamid sebagaimana para sultan leluhurnya, jago dalam diplomasi sehingga bisa bekerjasama dengan Belanda. Sehingga jika dipertanyakan posisinya di tahun 1946, berdasarkan timeline ini sungguh sangat jelas, bahwa dia berada di wilayah yurisdiksinya sendiri, yakni Kesultanan Pontianak. Terlebih Sultan Hamid menggantikan ayahnya yang tewas melawan Dai Nippon, Jepang di tahun 1944, dan jasad ayahnya baru ditemukan pada tahun 1946.
Justru melalui eksistensi Sultan Hamid yang menggantikan ayahnyalah, maka ia mulai berinteraksi dengan para sultan se-Nusantara. Dan sejak saat itu aktif di majelis wilayah federasi yang populer disebut BFO.
“Sultan Hamid semasa hidupnya tidak pernah membuat masalah. Pernyataan-pernyataannya pun tidak pernah membuat masalah kepada negara,” ujar pria yang berambut panjang dipenuhi warna putih dan akrab disapa Babe Ridwan Saidi.
Timeline yang disampaikan Ridwan yang juga sekretaris pribadi Mr Moch Roem serta kerap kali berinteraksi bersama pahlawan nasional lainnya seperti Muh Natsir, Prof Dr Hamka, Sjafruddin Prawiranegara, bahkan Muhammad Hatta, menyatakan, sepanjang riwayat hidup para pahlawan itu, tidak pernah keluar pernyataan bahwa Sultan Hamid itu pengkhianat. Justru jasanya merancang lambang negara dan kehebatannya dalam diplomasi selaku Ketua BFO, menyebabkan pengakuan kedaulatan Indonesia yang saat awal kemerdekaan baru diakui secara yurisdiksi oleh Kerajaan Luwu, Surakarta, dan Jogjakarta. “Pada saat awal kemerdekaan itu yurisdiksi Indonesia jangan dibayangkan sudah seperti sekarang ini,” lanjutnya.
Untuk itulah, Babe Ridwan Saidi berteriak dengan lantang, “Umur saya lebih tua daripada orang yang berteriak bahwa Sultan Hamid pengkhianat. Maka saya sampaikan kepada orang yang berteriak Sultan Hamid pengkhianat untuk segera minta maaf!” teriaknya pula dalam webinar yang diikuti 400-an peserta webinar, 200 peserta offline, dan lebih dari 1000-an penonton tayangan langsung di channel Youtube teraju.id. Massa yang berada di Convention Hall Aston pun berteriak nyaring,”Setujuuuuu!”
Pandangan pakar pembanding ini bagian dari deretan pakar pembanding lainnya, yakni Prof Dr Meutia Hatta yang membahas peran Sultan Hamid di Konferensi Meja Bundar, di mana Hamid-Hatta amat sangat akrabnya. Dan oleh Dr Muhammad Hatta, juga tidak ada catatan bahwa Sultan Hamid itu pengkhianat. Justru Hatta menulis di dalam bukunya bahwa Sultan Hamid adalah perancang lambang negara.
Babe Ridwan Saidi terkesan emosionil. Suaranya berteriak nyaring. Matanya berkaca-kaca. dan ia segera menutup dengan kalimat lawas, “Sultan Hamid wafat dalam kondisi bersujud…Sebagai orang Betawi saya tidak bisa terima Sultan Hamid dituduh pengkhianat negara.”
Pakar pembanding lainnya adalah sejarahwan Dr Anhar Gonggong. Namun Dr Anhar Gonggong mengaku bahwa Ridwan Saidi bukanlah sejarahwan. Dia juga tak mau masuk membahas lebih jauh soal Sultan Hamid karena jelas berbeda pikiran.
Babe Ridwan Saidi bicara keras soal Sultan Hamid tidak hanya di dalam forum MPR RI di Hotel Aston Pontianak dan webinar nasional bertajuk Quo Vadis Makna Kepahlawanan di Indonesia: Mengukuhkan Keindonesiaan Melalui Pengusulan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional. Sederet penjelasannya terdapat dalam wawancara mendalam bersama Macan Idealis dan sejumlah podcast lainnya di channel YouTube.
Pada forum seminar nasional dan webinar nasional yang diselenggarakan Badan Pengkajian MPR-RI melalui Fraksi Nasdem juga menampilkan tiga anggota DPR-RI yakni H Syarief Abdullah Alkadrie, SH, MH, Mekyansyah, S.Sos, M.I.Kom dan Yessy, SE. Setelah panel pertama itu dilanjutkan dengan panel penelitian ilmiah tentang Sultan Hamid II Alkadrie.
Tampil dari penelitian di Indonesia dan Belanda penulis buku “Sejarah yang Hilang” Dr Mahendra Petrus, MH. Dari aspek pidana makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid dikupas oleh Ketua Yayasan Sultan Hamid yang juga dosen ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak, Anshari Dimyati, SH, MH. Paparan ilmiah kedua peneliti di atas diberikan masukan oleh pakar pembanding menghadirkan Prof Dr AM Hendropriyono (sayang sampai acara berjalan tidak masuk dalam webinar nasional tersebut), Prof Meutia Hatta mengulas peran Sultan Hamid dan Hatta dalam Konferensi Meja Bundar (1949), Dr Anhar Gonggong, Ridwan Saidi, Prof Dr Djoko Suryo (berhalangan karena menguji tesis dan bimbingan disertasi di Kampus UGM), dan ditutup masukan Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Dr Sumardiyansyah Perdana Kusumah.
Webinar nasional yang dibuka pukul 09.30 ditutup pada pukul 13.30 WIB. Keseluruhan acara berjalan aman, tertib, lancar dan kondusif.