Oleh: Suherman
Hari Jumat, 10 November 2017, saya berangkat menuju ke Kubu. Tepatnya sore bada salat Asar. Saya berangkat bersama dua orang dosen IAIN yaitu, Pak Yusriadi dan Pak Ismail Ruslan. Serta satu teman saya bernama Zainal Aripin. Kebetulan perjalanan ke Kubu ini tawaran dari Pak Yusriadi.
Tujuan ke Kubu untuk kegiatan yang ada manfaat jangka panjang. Kegiatan ini diadakan oleh tim IAIN Pontianak dengan tema “FGD (Focus Group Discussion) Pendidikan Perdamaian Pada Masyarakat Lokal”.
Cuaca sore itu terlihat bagus. Kami berangkat dengan lancar dan sedikit ngebut, agar tidak terlalu malam sampai di tempat tujuan. Untuk sampai ke Kubu, kami menyeberang sungai Kapuas dua kali dan melewati jalan sawit berhektar-hektar.
Kami sampai di tempat tujuan sekitar pukul 20:00 wib, di rumah Pak Bahtiar. Beliau adalah seorang guru di SMP Negeri 1 Kubu. Sekolah yang akan kami kunjungi.
Beberapa saat kami ngobrol dengan Pak Bahtiar, kami disuguhi makanan oleh istrinya. Kami menikmati makan malam dengan lahap, karena ditemani oleh Pak Bahtiar yang orangnya asik dan ramai. Beberapa jam seusai makan saya dan Bang Zainal Aripin tidur. Sedangkan Pak Yusriadi dan Pak Ismail masih asik ngobrol dan nonton tv dengan Pak Bahtiar.
Pagi harinya, di saat embun pagi masih terasa kami berempat pamit keluar rumah dengan Pak Bahtiar untuk menggerak-gerakkan badan yang agak sedikit kaku sembari melihat lingkungan dan masyarakat Dusun Fajar Karya.
Pagi itu masih terlihat sepi, semakin menjauh dari kediaman Pak Bahtiar beberapa anak terlihat melintasi jalan. Dengan pakaian seragam sekolah khas hari Sabtu, pramuka. Terlihat juga seorang ibu-ibu membawa sebuah keranjang berwarna merah yang digantungkan di lengannya sambil berlantun “kue, kue…”.
Terlihat juga pada saat itu beberapa anak sekolah SD yang berjalan kaki membawa benda tajam semacam clurit dan parang kecil ke sekolahnya. Mereka sekolah di SDN 22 Kubu.
Melihat hal itu saya langsung teringat masa lalu ketika saya sekolah di kampung. Sewaktu saya duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, ada saat-saat tertentu para siswa disarankan oleh kepala sekolah atau guru untuk membawa benda tajam untuk menyingkirkan rumput-rumput yang tumbuh tinggi di sekitar bangunan sekolah.
Maka ketika anak-anak sekolah di Kubu saat itu membawa benda tajam, persepsi saya bahwa mereka akan menebas rumput bukan untuk tawuran. Saya tersenyum melihatnya, sebab di kota-kota sejauh ini belum saya temukan hal semacam itu. (*)