Singa Podium Senayan dan Sultan Hamid II Sang Pahlawan

7 Min Read
Foto: Penulis bersama Fahri seusai acara Dialog Kebangsaan di Mercure Hotel.

Oleh: Anshari Dimyati *

[“Carilah pemimpin daerah yang mampu membuat bergaining di hadapan pusat. Pusat tak boleh serta merta mendikte seakan-akan daerah tak mampu mengelola infrastrukturnya, tak mampu menata kehidupan pembangunannya. Kita patut jeli melihat persoalan antara pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Bila ingin dianggap penting oleh pusat, kita harus mampu melihat “standing” atau kedudukan permasalahan bangsa yang terjadi. Yaitu keadilan.‎ Itulah esensi dari reformasi yang sudah kita capai dalam rentang waktu 19 tahun ini. Negara ini bukan milik orang-orang di Jakarta, tapi milik kita semua di Indonesia, termasuk di daerah-daerah, bahkan sampai pelosok negeri.”]

Kira-kira simpul benang itu yang dapat saya tangkap dari Orasi Kebangsaan Bang Fahri (Fahri Hamzah) dalam‎ Dialog Kebangsaan bertema “Narasi Besar Kepemimpinan untuk Kesejahteraan Masyarakat Kalimantan Barat”, Rabu (26/04/2017) tadi malam di Ballroom Hotel Mercure. Dialog tersebut diselenggarakan oleh Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA. KAMMI).‎ Narasumber yang hadir adalah Bang Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI), Bapak Sutarmidji (Walikota Pontianak), dan Moderator, Bang Faisal Riza. Kemudian, selain dipenuhi oleh kader KAMMI dan KA. KAMMI di Kalimantan Barat, para audiens tampak hadir dari berbagai kalangan, salah satunya Ketua Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Barat.

Agenda tampak tersusun rapi, dan animo peserta seakan tak surut untuk mendengarkan gaung suaranya, yang mengenakan Tanjak Melayu Pontianak. Benar, siapa tak kenal dengan Bang Fahri? Sang “Singa Parlemen” ini memang selalu ditunggu-tunggu oleh para penggemar ketokohannya dalam dunia Politik di Indonesia. Memang hari ini, faktanya, Bang Fahri bak artis dalam ‘catur’ pertarungan politik Indonesia. Mulai dari tangguhnya dia mendirikan KAMMI dan salah satu partai di negara ini, sampai kiprah politiknya di senayan, yang meraup suara terbanyak di daerah pemilihannya dalam pemilu legislatif (DPR RI).

Tak berhenti di situ, dia kerap menjadi sosok sentral dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pembangunan oleh pemerintah eksekutif. Suaranya yang lantang, seakan tak kenal rasa takut, singa parlemen ini terus saja semacam menantang rasa ketidakadilan. Ya, sebut saja kritik-kritik kerasnya terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kritiknya terhadap Presiden, dan yang terbaru adalah kasus pemecatan terhadap dirinya oleh partai yang dia bangun dari raga dan jiwanya, yang kemudian diakhiri dengan kemenangan atas gugatan yang dia layangkan di pengadilan.

Tak sedikit kiprahnya. Dan jelas masih banyak yang lain. Saya tak begitu mengenal sosok Bang Fahri. Namun, penilaian saya terhadap dirinya tadi malam saat berjumpa langsung adalah dia merupakan sosok yang sangat cerdas, slenge’an, apa adanya, blak-blakan, dan sangat berpengalaman dalam pergaulan. Tak cuma memiliki kecerdasan intelektual, pun sangat matang dalam kecerdasan emosional.

“Ri, besok Bang Fahri ke Pontianak, ada agenda seminar atau dialog di sana..” ucap kawan saya Tengku M. Dhani Iqbal melalui pesan WhatsApps-nya. Iqbal yang merupakan kawan lama dulu di Jakarta memang cukup dekat dengan Bang Fahri. Dahulu Bang Fahri sering bertandang ke kantor Lentera Timur yang memiliki media tangguhnya lenteratimur.com. Dulu saya sempat belajar menulis di sana, Iqbal adalah pimpinan media tersebut, diskusi rutin merupakan salah satu aktivitas di dalam perkumpulan itu. Selama di Jakarta, saya tak pernah sempat berjumpa Bang Fahri, adapun sekali kesempatan, kami tak berjodoh, selisih waktu di perjalanan.

Saya tak membuang kesempatan ketika Iqbal memberikan informasi atas kedatangan Bang Fahri ke Pontianak. Saya datang ke tempat agenda tersebut bersama Bang Turiman Fachturrahman Nur (Dosen FH Untan yang juga merupakan Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara).‎ Selepas agenda Dialog Kebangsaan, saya langsung beranjak dari kursi untuk mendatangi Bang Fahri. Kami berkenalan. Saya sebutkan nama dan aktivitas yang kami lakukan. Bang Fahri cepat paham, tak lain karena buku tulisan kami bertiga (Saya, Bang Turiman, dan Bang Nur Iskandar) tentang “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara” sudah sampai di tangannya.

Setelah launching buku biografi politik tersebut, saya memang sempat menyerahkan beberapa bundel buku kepada Iqbal untuk dibagikan ke beberapa kolega, salah satunya untuk Bang Fahri. Alhamdulillah, selepas itu akhirnya kami bertatap wajah. Saya tak mengira berjodoh dan sempat berdiskusi singkat dengan beliau tadi malam. Dengan gaya seperti di televisi, tak berubah, Bang Fahri menanggapi pembicaraan kami. Kami mendiskusikan soal Sultan Hamid II, ini juga sebetulnya terkait tema. Tentang kepemimpinan di daerah. Karena, Sultan Hamid II dulunya adalah salah satu pemimpin bangsa dan negara.

Bang Fahri mendengarkan dengan seksama, tentang perjuangan kami mengenai Sultan Hamid II dan Lambang Negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila, rancangannya. Sebagai pejabat negara, salah satu pimpinan DPR RI yang membawahi bidang Kesra (kesejahteraan rakyat) juga termaktub bidang hukum, sosial, dan sejarah. Tentu beliau paham bagaimana kondisi terkini perjuangan kami. Setidaknya mendengar dan melihat pemberitaan di media. Kalimat pertama yang dia sampaikan, setelah penjelasan kami adalah, “Apa yang bisa saya bantu.. saya siap mengadvokasi.” Dengan tangan terbuka Bang Fahri mendukung perjuangan Kalimantan Barat dalam menuntut marwahnya di hadapan wajah bangsa secara nasional. Namun, selanjutnya kami jelaskan bahwa kita berada di penghujung perjuangan menjadikan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Kita sudah memenuhi seluruh dokumen terkait pengajuan tersebut. Adapun yang dapat didorong setelah itu adalah memasukkan nama Sultan Hamid II ke dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 46 juncto Pasal 58 ayat (1). Yaitu memasukkan nama Sang Perancang Lambang Negara, Sultan Hamid II (Pasal 46) berdiri sejajar dengan penggubah atau pencipta “Lagu Kebangsaan Indonesia Raya”; Wage Rudolf Supratman (Vide: Pasal 58 ayat (1).

Selepas diskusi singkat, kami berencana untuk bertandang ke Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak dan Makam Sultan Hamid II yang berada di Kompleks Pemakaman Kesultanan Pontianak di Batu Layang. Namun, karena sempitnya waktu dan larutnya malam, rencana tersebut kami tunda. Bang Fahri harus terbang kembali ke Jakarta pada pagi harinya. Insya Allah lain waktu kami penuhi rencana tersebut. Bahkan, barangkali kita adakan diskusi publik atau terbuka bersama. Namun, tuan rumah nanti adalah kita, Yayasan Sultan Hamid II. (Penulis adalah Ketua Yayasan Sultan Hamid II dan juga dosen ilmu hukum di Fakultas Hukum UMP).


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article