Oleh: Yusriadi
Suara Siti terdengar lantang ketika diminta membacakan karangan di depan kelas di sebuah ruangan kuliah, Jumat (24/11/2017). Saya nilai dia memang pilihan yang tepat ketika diminta oleh rekannya untuk membaca karangan singkat, tugas kuliah minggu lalu.
Suaranya semakin keras ketika teman-teman sekelas tertawa merespon bacaannya. Bahkan sesekali dia berhenti.
“Oi, diam, budak!”
“Dengarlah!”
Saya tersenyum. Temannya malah tertawa-tawa. Kemarahan Siti ditanggapi canda.
“Teruskan!”
Saya memerintah. Barulah kelas hening.
Lalu, Siti memulai lagi bacaannya. Keras.
Tetapi, kemudian dia mulai perlahan. Suaranya kian berat. Lambat.
Lalu…. isaknya mulai terdengar di antara suara beratnya.
Isi kelas jadi hening lagi. Tak ada yang bersuara. Semua terpana mendengar dan menyaksikan si suara lantang, orang yang sebelumnya berteriak marah, tiba-tiba melo.
Saya tak memberikan tanda apapun, hingga bacaannya selesai. Biar Siti berhenti sendiri di ujung karangan. Saya juga ingin lebih dari seorang Siti, ada orang lain yang tergugah.
Karangan mahasiswa yang dibaca Siti memang menyentuh rasa. Cerita nyata tentang seorang ayah yang berkorban untuk anaknya. Ayah yang menjual rumah dan kebun di kampung untuk bekal pindah ke Pontianak, agar bisa mendampingi anaknya sekolah. Ayah yang mencoba peruntungan menjual gorengan dan kemudian kerja bangunan di kota, agar kehidupan keluarga terpenuhi.
Saya senang melihat situasi saat Siti menangis, karena tangis itu menunjukkan mereka mengingat orang tua. Ini petanda mereka ingat begitu susahnya kehidupan. Mereka bisa menghargai arti perjuangan.
Maklum, sekarang ini mudah sekali menemukan mahasiswa yang abai pada amanah dan harapan orang tua. Saya selalu saja menemukan mahasiswa yang malas, jarang kuliah, yang suka mengeluh, enggan mengerjakan tugas, hura-hura dan kongkow-kongkow, dan yang lupa pikirkan orang tuanya yang menaruh harapan besar padanya. (*)