Oleh: Ambar
Saya sebenarnya sudah mengantuk malam itu. Saat masuk kamar pukul 21.00 WIB. Saat kelambu tidur sudah dipasang, karena di Teluk Nangka banyak nyamuk, saya rebahan di kasur. Berniat istirahat memejamkan mata.
Tapi kemudian, ngantuk saya hilang saat musik gamelan mengalun keras dari arah Teluk Nangka A. Tak hanya gamelan yang terdengar. Tapi, suara nyanyian sinden juga mengiringi.
‘Tak lerap lerep seng gembiro, tak lelaledong banyune segoro, cak monggo numpak prahu layar, eng dino minggu banyune segoro..awan prahune wes nengah…byak byuk byak banyu pinelor…ora jemu-jemu karo mesem gnuyu. Ngilangake roso lunglah lesu…’
Begitu salah satu penggalan syair lagu campur sari yang didendangkan sinden. Semakin hari, rasa penasaran saya semakin bertambah. Apakah musik-musik khas Jawa ini berdendang melalui tape recorder atau memang ada komunitas kesenian yang sedang latihan.
Sebelumnya, jarang terdengar musik-musik begini. Apakah dalam waktu dekat akan ada pertunjukkan hingga mereka lebih sering latihan. Atau, ada alasan lain yang sampai sekarang belum saya ketahui. Sebenarnya saya ingin hadir di sana, membuktikannya sendiri.
Apakah hanya musik dari kaset, atau komunitas kesenian sedang latihan. Tapi musik-musik ini kadang mulai terdengar saat sudah agak larut. Tak ada kesempatan saya ke sana.
Kalau memang ini aktivitas komunitas seni Teluk Nangka, tentu hal ini luar biasa. Jika memang demikian, di era yang sudah zaman now, di sebuah kampung masih ada yang melestarikan musik-musik serta pertunjukkan budaya, tentu menjadi hal yang luar biasa.
Kesenian begini sudah jarang dijumpai. Jangankan yang terlibat langsung dalam keseniannya. Ada kasetnya saja, sudah alhamdulillah. Seni budaya tradisional yang sudah menjadi barang langka. Bahasa kampungnya, nguri-uri budoyo. (*)