Oleh: Ambaryani
“Jauhkah Pak, Sungai Terus tu dari Kubu? sebelah mananya?” saya pernah bertanya pada Pak Sawon Kasi Pemerintahan di kantor Camat Kubu yang tinggal di Sungai Terus.
“Tergantung Mbak”, jawab Pak Sawon dengan muka serius.
“La kok tergantung?” saya merasa ada yang janggal dengan jawaban Pak Sawon.
“Kalau bawa motornya santai, 30 menit, kalau laju, 15 menit”, kata beliau yang disusul dengan tawa, tanda beliau bergurau.
Saya ingin tahu Sungai Terus karena pernah membaca buku Farninda Aditya dan Marsita Riandini yang dulu keduanya KKL di Sungai Terus. Itu sebabnya, Sungai Terus menjadi target sasaran saya.
Kemarin, Selasa 2 Januari 2018 saya dan Kak Yuyun berkesempatan menginjakkan kaki di desa yang konon katanya tak ada unungnya. Karena desanya terus….., yaitu Sungai Terus.
Saya ingat-ingat arahan Pak Joko dan Pak Sawon. Kata keduanya, kalau mau ke Sungai Terus, ikuti jalan lurus dari kantor camat, lurus terus…nanti akan sampai ke Sungai Terus.
Dari arah jembatan kuning Kubu, kami belok kiri. Ke arah Parit Rimba. Ketemu simpang 4 jembatan kecil, kami bingung. Mana jalan yang harus kami pilih. Lurus, atau belok kiri lagi? Kami berdua sama-sama tak tahu, baru perdana.
Kalau dari arah kantor camat, mestinya kami belok kiri, arah jembatan. Tapi, dari pada sesat, kami bertanya pada ibu-ibu yang kebetulan lewat. Dan benar, rupanya jalan arah jembatanlah yang menuju Sungai Terus. Kalau jalan lurus yang awalnya kami pilih, arah menuju darat, Parit Rimba. Begitu orang setempat menyebutnya.
Setelah jembatan, jalan bersemen lumayan besar. Hanya saja, semennya sudah bolong besar-besar di sana-sini. Kalau tak pelan dan hati-hati, motor terhempas, dan bisa nyangkut.
Tak lama, jalan semennya menyempit. Tak sampai 2 meter sepertinya. Kanan kirinya semak dan kebun karet. Ada juga kebun jengkol. Jalannya juga mulai becek. Semen berlobang, mulai hancur dan sudah menyentuh tanah. Ada yang diberi papan dan kayu bulat di lubang-lubang jalan.
Berkali-kali saya harus turun dari motor, karena kalau tidak motor tak bisa naik kalau ada penumpang di belakang. Kak Yuyun pengemudinya. Semakin ke dalam semakin sempit jalannya, semak semakin tebal.
“Mane ni Mbar kampung e? Semak jak semue? Tak ada rumah?”, Kak Yun nampaknya mulai khawatir.
“Entahlah Kak ye, Ambar pun tak tahu. Kate terus…jak jalan ni, jumpelah Sungai Terus”, kata saya.
Iya, sebenarnya saya agak khawatir juga. Karena semak semakin tebal. Belum nampak tanda-tanda ada perkampungan. Dan saat itu, tak ada satu pun orang yang lalu lalang. Tapi saya perhatikan, ada tiang listrik. Artinya, di ujung sana pasti ada penduduk. Perkampungan. Selamat, tak akan sesat.
Sudah di ujung jalan berlubang, ada orang lewat. Kami memastikan, dan bertanya. Apakah Sungai Terus masih jauh dari posisi kami saat itu. Ternyata, Sungai Terus tinggal sejengkal. Kami lanjutkan perjalanan.
Tak lama, jalan semen agak lebar mulai nampak. Tak jauh dari jembatan, pas perempatan TR 7 dan masjid Jami Baitul Muttaqin.
Saya melanjutkan perjalanan, tanya sana sini, akhirnya ketemu rumah Pak Joko. Sementara rumah Pak Sawon, belum jumpa. Ada yang bilang beliau di TR 4, ada juga di TR 5. Ada yang bilang rumahnya di seberang parit. Kami agak bingung dengan penjelasan yang kami dapat.
Akhirnya kami memutuskan pulang, karena hari semakin sore.
Hari itu, saya menginjakkan kaki di Sungai Terus. Yang selama ini saya dengar tanah yang banyak ditanami pohon salak. Ya, salak yang selama ini kami beli di Kubu, dari sinilah asalnya. (*)