Oleh: Novie Anggraeni
Beliau biasa dipanggil Wak Sa’e. Wanita paruh baya yang dianungerahi banyak anak dan cucu. Setiap hari, beliau bekerja sebagai pedagang kaki lima di Pasar Puring, menjual umbi-umbian, kelapa, pisang dan masih banyak yang lainnya.
Sehari sebelum ke pasar, di bawah terik mentari, Wak Sa’e pergi ke kebun untuk mencari ubi kayu serta daunnya. Selain itu, kadang ia juga memesan ubi dengan orang yang memiliki ubi, apabila stock ubi kayu miliknya tidak cukup atau ubi kayu itu masih terlalu muda untuk dicabut atau dipanen.
Kadang, ia juga menyusuri hutan di belakang rumah ditemani sang anak atau cucu untuk mencari kelapa atau sekedar mengumpulkan jamur cendawan yang tumbuh di pohon yang sudah mati. Apapun, asalkan itu bernilai dan ia dapat membawa rupiah.
Hari berikutnya, saat subuh, sebelum adzan terdengar, Wak Sa’e sudah bersiap untuk pergi ke pasar bersama teman-teman sesama pedagang yang lain menggunakan jasa angkutan mobil pickup. Mereka sampai di pasar.
Seperti pasar pada umumnya, suara riuh antar pembeli dan pedagang yang melakukan tawar-menawar tak terhindarkan. Belum lagi suara senda gurau antara Wak Sa’e dengan teman-teman pedagangnya, yang dirasa mampu menghilangkan sedikit penat di badan.
Wak Sa’e jarang sekali menetapkan harga dagangannya kepada pelanggan. “Terserahlah mau bayarnye berape!” ucapnya jika ada pelanggan yang bertanya harga.
Ataupun, “Macam harge biasenye yak!” Kalimat itu yang selalu saja diucapkan sambil bibir mengukir senyum. Tidak ada paksaan.
Wak Sa’e mengharapkan sedikit rupiah untuk membeli kue dan ikan, untuk anak cucunya yang sudah menunggu kedatangannya di rumah.
Dalam berdagang, di saat hujan datang, Wak Sa’e kalang kabut mengangkut dagangannya agar terhindar dari hentaman hujan. Air yang mengguyur tubuhnya pun ia keringkan seadanga dengan kain yang sudah ia simpan di keranjang miliknya.
Kala matahari mulai menyingsing. Wak Sa’e dan teman-temannya sudah mulai kehabisan barang dagangannya karena sudah laku terbeli. Mereka siap pulang.
Setelah membeli kue, ikan dan sayur-mayur seadanya, ia dan teman-temannya bersiap kembali ke rumah masing-masing dengan menggunakan jasa angkutan oplet.
Oplet yang ia tumpangi tiba di depan rumah, cucu-cucunya pun berhamburan sambil berteriak, “Nenek udah balek, nenek udah balek!” Kalimat itulah yang mereka ucapkan, sedangkan langkah kaki sang cucu berlari menghampiri neneknya dengan suka cita. Tangan kecil mereka dengan berusaha membantu nenek membawa barang dagangannya. Meskipun, si cucu tahu bahwa ia tidak akan mampu, tapi ia tetap menguatkan diri.
Adakalanya tidak semua kesenangan membawa kebahagian. Akan tetapi memberi kesenangan untuk orang lain itulah yang dapat membawa kita pada kebahagian yang sejati. (*)