in

Bang Ben, Tatung dan Sinyal untuk Kalbar

IMG 20180310 094742 816

Oleh: Yusriadi

Siang itu, Sabtu (3/) saya mendapat kiriman WA dari orang rumah. Beliau memberitahu bahwa tulisan Bang Ben sedang diributkan. Bang Ben adalah teman kami, pegiat literasi di Kalbar ini.

Kiriman itu dilengkapi dengan skrinsut gambar facebook Bang Ben, berisi bagian awal esai yang dipost di situ, plus beberapa gambar tatung dan anak anjing yang digunakan untuk pelengkap tulisan.

Saya terperangah ketika melihat tulisan itu dikomentari 4 ribu lebih, dalam waktu 17 jam. Dan setelah satu minggu, tulisan ini dikomentari 8 ribu.

Saya kira ini luar biasa. Komentar di media sosial ini cukup menarik memperlihatkan pro kontra terhadap banyak hal.

Karena kebetulan saat itu saya sedang bersama wartawan Kompas dari Jakarta yang mewawancarai saya tentang budaya dan pilkada Kalbar, skrinsut ini saya tunjukkan pada mereka.

“Ini bukti bahwa Kalbar masih potensial konflik,” kata saya.

“Hal seperti ini saja dianggap besar, dan menggelinding.”

“Seperti tugu naga di Singkawang ya. Tugu di tengah kota itu…?”

“Benar”.

Ya, saya setuju perbandingannya. Tugu itu dan polemik seputarnya, merupakan cerminan perasaan dan hubungan antar pihak tertentu. Hubungan antar sebagian kelompok tidak baik, tidak benar-benar rukun. Hal ini mencerminkan apa yang sebenarnya tidak nampak di permukaan itu.

Saya semakin yakin tesis saya mengenai situasi hubungan itu ketika sore, pulang ke rumah, membaca postingan lengkap Bang Ben, serta membaca komentar-komentar di sana. Sore itu jumlah komentar sudah mencapai 6 ribu lebih.

Komentar itu, ada yang menyangkut substansi yang ditulis Bung Ben tentang ketidaksukaannya melihat anak anjing hidup yang digigit, menggelenjot hingga mati. Komentar melebar pada atraksi tatung, perayaan Cap Go Meh, hingga sikap sebagian umat dan prilaku agama.

Komentar yang ada, mulai dari yang datar, menyejukkan, hingga kasar dan provokatif. Ada yang bercanda, ada yang terasa serius. Lengkap mencerminkan adanya kelompok perasaan.

Sudah tentu apa yang diperlihatkan di sini menunjukkan situasi yang harus diwaspadai oleh kita semua, khususnya aparat keamanan. Cerita masa lalu dan sejarah kelam kita, belum sepenuhnya dipelajari untuk bahan pembelajaran hidup damai.

Aparat keamananlah yang memiliki tugas dan kewenangan untuk hal-hal yang membahayakan.

Sementara itu, kita masih harus dan perlu memberikan pemahaman tentang orang lain di sekitar kita. Kita masih perlu selalu diingatkan tentang persaudaraan dan keamanan.

Damailah saudaraku. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

images 2

Ketegangan UNBK ( Ujian Nasional Berbasis Komputer) dan Kelulusan Tahun 2018 di Pontianak

IMG 20180311 051902 462

Ditraktir Makan di Medan Kerang