Oleh: Leo Sutrisno
“Serangan” Covid-19 di Indonesia sudah mulai terasa. Sejumlah perguruan tinggi telah mengalihkan model pembelajaran dari tatap muka ke dalam jaringan. Tujuannya adalah memperkecil frekuensi perjumpaan fisik para civitas akademika. Dengan harapan, tindakan itu dapat membantu memperlambat penyebaran virus ini.
Tentu tidak mudah mengalihkan moda pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran dalam jaringan, dalam waktu yang mendadak seperti ini. Ada sejumlah kendala yang harus dihadapi baik oleh mahasiswa, dosen, serta tenaga kependidikan di perguruan tinggi, khususnya unit sarana prasarana.
Berikut disajikan rangkuman literatur tentang kendala-kendala yang sudah dihadapi oleh sejumlah perguruan tingi yang telah lebih dahulu menyelenggarakan mode pembelajaran dalam jaringan dalam situasi normal.
Mansureh Kebritchi, Angie Lipschuetz, dan Lilia Santiague, 2017, menyatakan bahwa pengalihan moda pembelajaran dari tatap muka menjadi pembelajaran dalam jaringan mengubah semua komponen pembelajaran, baik yang berkaitan dengan pembelajar (mahasiswa), intruktur (dosen), serta unit teknis sarana dan prasara.
Yang terkait dengan mahasiswa meliputi: harapan, kesiapan, identitas, serta partisipasinya. Bagi dosen mencakup: peran mereka, kesiapan dalam transisi dari tatap muka ke dalam jaringan, pengelolaan waktu, gaya pengajaran serta pengembangan materi. Karena itu, perguruan tinggi yang bersangkutan perlu menyelanggarakan kegiatan persiapan untuk pengembangan profesional dosen, pelatihan mahasiswa, dan tentu saja pengempangan sarana dan prasarana.
Pada umumnya para dosen menggunakan pendekatan ‘one-size-fits-all’ (Jenna Gillett-Swan, 2017) ketika mereka akan mengubah sajian tatap muka ke sajian dalam jaringan. Padahal, sudah ada aplikasi yang khusus untuk menyususn materi pembelajaran dalam jaringan. Karena itu, pelatihan bagi para dosen menjadi penting.
Departemen Pendidikan AS, 2010, menyebut sejumlah masalah utama yang harus dihadapi para dosen dalam pembelajaran dalam jaringan. Pertama, bagi sejumlah mahasiswa pembelajaran dalam jaringan yang merasa bosan. Belajar dalam jaringan berarti berhadapan dengan teks terus menerus. Sehingga, bagi sebagian mahasiswa membaca- dan-membaca sepanjang waktu tidak mudah dipertahankan. Akhirnya, bosan.
Masalah kedua, ada sejumlah mahasiswa lain yang memiliki kesulitan teknis. Tidak hanya dari ketersediaan sarana tetapi juga ditimpali oleh kekurungan-siapan sarana pada unit pendukung. Membuat mereka menjadi ‘stress’. Masalah ketiga, ada sejumlah mahasiswa lain terlena karena kebebasannya. Sehingga, tidak mengetahui bahwa pembelajarn sudah dimuali, misalnya.
Masalah keempat, ada juga mahasiswa yang ‘tidak memiliki waktu’ untuk belajar. Itu terjadi karena waktunya sangat fleksibel. Tergantung pada keputusan mahasiswa sendiri. Mereka dapat ‘sibuk’ melakukan kegiatan lain. Puncaknya, waktu untuk belajar tidak ada lagi.
Masalah lain juga sering dtemukan mahasiswa tidak tahan dalam kesendirian dan hanya ditemani perangkat elektronik. Mereka ingin berbicara dengan orang lain
Mengingat berbagai masalah seperti ini, kiranya kita tidak perlu berharap terlalu tinggi akan efektivitas pembelajaran dalam jaringan. Apalagi, pembelajaran dalam jaringan yang diselenggaraan saat ini merupakan tindak darurat untuk membantu menangkal penyebaran virus corona.
Berikut sejumlah hasil meta-analysis tentang efektivitas pembelajaran dalam jaringan di perguruan tinggi di berbagai negara dalam situasi normal.
Barbara Means, Yukie Toyama,; Robert Murphy, Marianne Bakia, dan Karla Jones, (2009), memeta-analysis 51 penelitian tentang efektivitas pembelajaran dalam jaringan yang dilaksanakan pada tahun 1996-2008. Ditemukan, bahwa hasil belajar mahasiwa lebih baik ketimbang yang kawan mereka yang mengikuti pembelajaran tatap muka.
Helen Richmond, Bethan Copsey, Amanda M. Hall, David Davies, dan Sarah E. Lamb, (2017), menelaah 884 laporan penelitian program pembelajaran dalam jaringan khususnya di bidang kesehatan. Dibandingkan dengan ‘workshop’ hasil pembelajaran dalam jaringan tidak berbeda secara signifikan (0.12). Demikian juga dalam perolehan pengetahuan (0.04). Tetapi besar efek pada ketrampilan justru lebih rendah (-0.15). Demikian juga, pembelajaran teori, jika dibandingkan dengan kuliah tatap muka, hasil pembelajaran dalam jaringan lebih rendah (-0.08).
K. T. Yuwono bersama-sama H. D. Sujono (2018) memeta analysis 15 penelitian yang terbit tahun 2000-2013. Ternyata, besar efeknya juga negatif (-0.05).
Hasil terbaru, 2019, dari meta analysis 51 penelitian menunjukkan bahwa besar efek yang ditimbulkan juga rendah (Mayleen Dorcas B. Castro & Gilbert M. Tumibay).
Berdasarkan hasil-masil meta anlisis ini, mencakup 953 penelitian, sekali lagi menggaris-bawahi tentang besar efek dari pempelajaran dalam jaringan yang tidak berbeda secara siknifikan jika dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka.
Namun, sekali lagi, karena situasi darurat, model pembelajaran semacam inilah yang paling optimal dilaksanakan. Paling tidak berguna untuk memperkecil kemungkinan kontak langsung dengan banyak orang.
Selamat melaksnakan dan semoga berjalan lancar.
Pakem Tegal, Yogya
16-3-2020