Oleh: Leo Sutrisno
CNBC Indonesia, 14 Desember 2019, 07:07 memberitakan Menteri Nadiem melakukan berbagai gebrakan. Di antaranya adalah program merdeka belajar. Disebutkan bahwa merdeka belajar adalah ‘kemerdekaan berpikir’, baik di kalangan para guru maupun para murid (Halida Bunga,TEMPO.CO, 13 Desember 2019).
Disebutkan juga, guru harus melakukan refleksi dan mengembangkan meta kognosi (berpikir tingkat tinggi). Proses refleksi dan meta kognisi guru, digunakan untuk membangkitkan proses refleksi dan meta koginisi siswa.
Margith Juita Damanik, (IDN Times, 11 Desember 2019) menuliskan, Menteri Nadiem menetapkan empat program baru sebagai kebijakan Merdeka Belajar. Yaitu: (1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dikembalikan kepada sekolah, (2) Ujian Nasional (UN) resmi dihapuskan 2021. (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) hanya satu lembar dan (4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), selain menganut sistem Zonasi juga ditambah kuota jalur prestasi.
Walau pun Menteri Nadiem menyebut keempat program ini sebagai langkah awal dari perwujudan kemerdekaan belajar di Indonesia, sesungguhnya program-program itu bukan penjabaran logis dari konsep merdeka belajar. Karena keempat program itu berupa bagian dari menejemen sekolah sementara ‘merdeka belajar’ mengarah pada kurikulum.
Mengingat penjelasan konsep ‘merdeka belajar’ yang diperkenalkan Menteri Nadiem sangat minim, yaitu ‘kemerdekaan berpikir’ maka belum dapat dibanyangkan kurikulum yang akan dibuat kelak. Demikian juga diskusi-diskusi yang rinci tidak mungkin dilakukan untuk mengkritisinya.
Secara internasional, ada konsep yang mungkin mirip dengan konsep ‘merdeka belajar’ atau ‘kemerdekaan berpikir’ Menteri Nadiem, yaitu, ‘Pedagogia do Oprimido’ Paulo Freire (1968). Tahun 1970, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Myra Ramos dengan judul “Pedagogy of the opressed” – Pengajaran yang membebaskan. Buku ini merupakan salah satu referensi utama bagi pendidikan kritis.
Pemikiran Paulo Freire bertolak dari model pengajaran ‘lama’ yang disebutnya sebagai ‘pendidikan model bank’. Saya menggunakan istilah ‘model mengisi botol kosong’. Siswa diperlakukan sebagai botol yang bersih dan kosong. Para guru mengisinya dalam bentuk pengajaran. Karena pada awalnya, bersih dan kosong, maka setelah ‘diisi’ botol itu akan terlihat sama dengan yang diisikan.
Menurut Paulo Freire, model pendidikan seperti itu tidak akan membebaskan. Ia membuat konsep pendidikan yang bersifat pendampingan. Siswa didampingi untuk memperkembangkan dirinya sendiri dengan cara melatih berpikir secara argumentatatif.
Namun, karena dalam buku ini juga dikupas pemikiran Karl Mark, tentang analisis antar kelas (sosial), maka banyak negara sangat berhati-hati dengan konsep Pedagogy for the opressed ini.
Sekelompok pemikir pendidikan, mengembangkan model pembelajaran yang ‘mirip’, dengan mengadopsi para pemikir konstruktivisme. Saya menyebutnya sebagai tradisi pembelajaran konstruktivisme. Saya mulai mengenalkannya sejak tahun 1990 di Indonesia, sebagai implementasi dari disertasi saya di Universitas Monash, yang secara khusus difokuskan pada tes diagnosnitik hasil belajar yang diikuti dengan remediasinya.
Dalam tradisi pembelajaran konstrukivisme, kurikulum disusun ‘dari bawah ke atas’. Para perancang kurikulum mengawali tugasnya dengan mengumpulkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan para siswa dan juga masyarakat sekarang dan masa mendatang. Kemudian, materi pembelajaran didasarkan temuan-temuan itu.
Pembelajarannya juga diubah tidak ‘seperti mengisi botol kososng’, tetapi berupa membantu siswa mengkonstruksi pengetahuannya. Selain itu, siswa dipandang telah memiliki pengetahuan awal tentang pengetahuan yang sedang dipelajari.
Proses pembelajarannya, dimulai dengan menggali pengetahuan yang telah dimiliki para siswa. Kemudian diikuti dengan pengetahuan yang diturunkan dari para ilmuwan seperti yang dijelaskan dalam buku sumber. Tahap ketiga mengajak siswa membandingkan antara pengetahuan mereka dengan pengetahuan yang telah disusun para ilmuwan. Para siswa diajak menetapkan pengetahuan yang argumentasinya baik dan lengkap. Pengetahuan yang seperti itu yang disepakati sebagai pengetahuan bersama dan yang dianggap betul. Model pembelajaran seperti ini mendorong para guru melakukan refleksi serta menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi seperti yang diinginkan Menteri Nadiem.
Evaluasi hasil belajar tidak lagi menanyakan tentang fakta atau konsep (hasil dari proses menghapalkan) tetapi menggunakan informasi dan fakta yang tersedia untuk menyelesaikan atau melakukan sesuatu. Dengan model levelisasi pertanyaan seperti model PISA maka siswa dipaksa menggunakan cara berpikir tingkat tinggi.
Dengan menerepakan tradisi pembelajaran konstruktivisme secara intensif, niscaya segala macam hiruk pikuk tentang USBN, UN, RPP dan Zonasi penerimaan bukan sesuatu yang menakutkan bagi siswa.
Semoga!
Pakem Tegal, Yogya, 18-12-2019