Oleh: Verry Firdaus*
Sejak viralnya case Sultan Hamid II apakah layak dan tidak layaknya sebagai Pahlawan Nasional, saya simpulkan bahwa faktor kedekatan Beliau dengan Belandalah yang mengganjal Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Pahlawan sendiri asal kata dari PAHALA = KEBAJIKAN. Maka pahlawan adalah orang yang dapat memberikan kebaikan. Sultan Hamid II jelas memberikan banyak kebaikan lewat peninggalannya Lambang Negara dan pengakuan kedaulatan RI lewat perundingan KMB (1949).
Kupasan saya berikutnya tentang Belanda. Belanda pada dasarnya datang ke Indonesia untuk penguasaan wilayah.
Bangsa Belanda sebagai manusia, tentu ada manusia yang baik dan manusia tidak baik nya. Bukankah saudara kita beragama Nasrani dulunya mengenalkan Agama Nasrani dari orang Belanda? Bagi mereka tentunya Orang Belanda tersebut berpahala untuk mereka. Lihat di Pontianak, Sultan memberikan tanah 1000 yang kini berdiri dengan megah Gereja Katedral, lembaga pendidikan Kesusteran, Bruder dan telah melahirkan banyak kepala daerah. Termasuk Wakil Gubernur LH Kadir dan Gubernur Sutarmidji. Laurentius Herman Kadir alumni SD Bruder dan Sutarmidji alumni SMA Santo Paulus.
Nashrani dan Islam di Kalbar harmonis sejak dulu sampai sekarang. Lembaga pendidikan dan dakwah agamanya tumbuh pesat secara berdampingan.
Akhir-akhir ini di Negara ini persoalan pertentangan antar kelompok semakin tajam. Menurut saya, di sinilah pentingnya sejarah, bagaimana tokoh-tokoh dahulu dapat dijadikan inspirasi tentang bagaimana pergaulan orang-orang multietnik dan agama bisa rukun dan bahkan saling bekerjasama.
Perlu diingat bahwa kerjasama dengan Belanda bagi Kesultanan Pontianak sejak tahun 1774 antara pendiri kesultanan Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan Belanda. Sultan Syarif Abdurahman putra Habib Husein. Habib Husein menikahi Nyai Tua yang putri asli Dayak dari wilayah Selatan, yakni Ketapang.
Pada tubuh Sultan Hamid II Alkadrie mengalir darah neneknya yang Dayak, ibunya yang Hadral Maut / Arab Selatan. Hanya terminologi sekarang menggolongkan Arab yang identik dengan Islam itu Melayu. Kesultanan Pontianak dipimpin Sultan, etnik Melayu, keturunan Arab/Habib. Padahal perlu juga diingat Hamid berdarah Dayak, sehingga tak heran Beliau pro Dayak dengan membentuk Kompi Dayak yang dididik ilmu militer.
Mari kita jelajahi Kota Pontianak. Buka mata kita semua. Baca nama-nama daerah.
Kalau kita lihat di pemukiman tua di kota ini, dapatlah kita nama Kuantan, Banjar Serasan, Saigon, Siam, Kamboja, Bali, Kampung Arab, Kampung Bugis dsb … Telusurilah nama-nama tersebut. Anda akan dapatkan jiwa pluralistik sejak awal pembentukan kependudukan ibukota Kalbar ini. Jiwa federalis sudah sejak awal pembentukannya.
Lha yg namanya orang luar tentunya seijin Sultan untuk dapat tinggal di Pontianak. Mereka pun hidup rukun dan damai. Demikian juga kedatangan Belanda pertama kali di Pontianak.
Sultan Pontianak Sy Abdurachman Alkadrie menyambut baik, menandatangani kontrak politik. Mereka diberikan wilayah untuk bermukim. Di antaranyalah dibangun gereja dan sekolah.
Jika dikonversi dengan kerasnya perpecahan anak-anak Bangsa sekarang atas nama ajaran agama, tengok tetua-tetua kita, seorang Sultan, seorang Habib, para ulama besar yang menulis Quran 30 juz pakai tulis tangan, kok bisa mengijinkan pendirian Gereja? Begitupula mereka para “ulama” nashrani, memfungsikan gereja itu bukan hanya untuk orang Belanda saja, juga untuk pribumi/pendatang yang beragama katolik atau bukan untuk belajar. Belajar bertani, bertukang, menjahit, dll. Demikianlah kebijaksanaan yang sama diteruskan Sultan-Sultan pada periode berikutnya.
Kita simpulkan dulu ya. Sampai di sini ada pahala. Ada kebaikan. Ada unsur pahlawan. Yakni kebaikan toleransi, artinya suatu bentuk kepahlawanan. Di mana zaman sekarang amat sangat dibutuhkan.
Di wilayah yang Indonesia sekarang, Belanda sendiri menetapkan sifat hubungan kewilayahan ada dua. Ada yang bersifat mutlak mereka berkuasa menggunakan hukum kolonial. Ada juga bersifat zelfbesturen, di mana wilayah tersebut penguasa hukum menggunakan pribumi setempat. Inilah kerajaan-kerajaan yang masih berjalan di masa Hindia Belanda tersebut. Termasuk Kesultanan Qadriyah.
Jadi hubungan antara Kesultanan dengan Belanda sifatnya bilateral. Sesuatu yang halal sampai sekarang. Konsekuensi hubungan bilateral itu tentu saja bisa saling menguntungkan, bisa juga satu untung satu rugi, terkadang juga melahirkan konflik, lalu berperang. Ini sangat mudah dipahami.
Memang dalam sudut pandang wilayah kolonial, bagi Indonesia saat ini mudah sekali menentukan siapa pahlawan. Yakni yang melawan Belanda. Misalnya ada pribumi yang menolak, lalu memberontak atas kerja rodi, dia perang terhadap Belanda. Jadilah pahlawan.
Nah jika wilayah itu zelfbesturen? Misal Belanda rela teken kontrak dengan Sultan? Lalu membangun perkebunan? Lantas Belanda mendatangkan pekerja dari wilayah kolonial dengan cara kekerasan, ada juga perjuangan, tetapi apakah bisa Sultan yang teken kontrak dikategorikan antek-antek Belanda? Di sini menurut saya, ahli sejarah harus mendudukkannya dengan benar.
Khususnya dalam konteks membahas gelar pahlawan untuk Sultan Hamid II Alkadrie yang sampai hari ini masih mentok di Dewan Gelar. Wakil Ketua Dewan Gelar Prof Dr Anhar Gonggong menyebut Sultan Hamid “kebelanda-belandaan”.
Ada seorang Professor ahli sejarah mempersoalkan “kepahlawanan” Sultan Hamid II karena pada 1946 ada di Belanda mendapatkan pangkat Ajudan Istimewa, di saat yang sama Belanda berperang di Indonesia. Ada dua cerita kepahlawanan di sini.
Sultan Hamid II sebagai Sultan Pontianak menggantikan ayahnya yang tewas melawan Jepang (1941-1944) saat itu Pontianak belum menjadi wilayah Indonesia. Jika dia mendapat gelar dari luar Indonesia, apakah menyalahi aturan Indonesia? Sementara Sultan Hamid berdaulat atas kerajaannya sendiri.
Kedua, narasi atau cerita kepahlawan di Indonesia, bahwa pahlawan adalah yang bertempur melawan Belanda, maka secara hukum, karena Sultan Hamid ada di Belanda, justru itu sebagai bukti bahwa Sultan masuk ke jantung pertahanan Belanda. Ia berjuang dengan jalur diplomatik dengan Belanda untuk kepentingan Indonesia.
Lagi pula informasi yang disajikan Sultan ke Belanda bukanlah untuk tujuan Kesultanan Pontianak membantu Belanda menyerang Indonesia. Tapi justru kecerdasan Sultan Hamid II sebagai penerus ayahnya, sebagai alumni Breda-Belanda, meniti karir sampai pangkat Mayor Jenderal, digunakan untuk sepenuh-penuhnya kepentingan Indonesia. Kesultanan yang dipimpinnya bahkan ikut bergabung dengan Indonesia. Kita simpulkan, sekali lagi, banyak sekali nilai-nilai kebaikan yang telah dilimpahkan seorang Sultan Hamid II Alkadrie bagi NKRI.
Sekarang kita kembali pada terma yang populer di Tanah Air saat ini (ikuti di Agama Akal TV, channel YouTube), bahwa Sultan Hamid II itu pahlawan atau penghianat? Bukankah sudah terang benderang ada kelompok yang menempatkan bahwa pahlawan nasional adalah kepada orang yang berjuang berdasarkan nilai kelompoknya masing-masing? Contoh kelompok Agama Akal TV yang spesialisasinya menyatakan lewat unggahan di channelnya tentang Anti Keturunan Arab dan sosok Sultan Hamid II hanya dijadikan salah satu isu bagi NKRI bagi kepentingannya. Adapun terminologi pahlawan, seseorang yang melimpahkan kebajikan, kepada Sultan Hamid II Alkadrie tak kunjung terkikis, padahal dia sudah disunjamkan dalam lumpur sejarah sejak awal kemerdekaan.
Banyak kebaikan-kebaikan Sultan Hamid II Alkadrie yang terus menerus hidup, menginspirasi kita selaku anak bangsa. Contoh kecerdasan Beliau. Beliau pernah kuliah di ITB. Beliau belajar matematika, fisika, kimia, dengan baik. Wajar desain lambang negara miliknya sangat simetris dan geografis. Ia bahkan belajar ilmu mesin sampai ke Israel.
Ini kalau membaca sejarah Hamid sampai ke Israel, lalu dikawinkan dengan konteks penghayatan agama kekinian, maka kelompok spesialisasi Anti Yahudi akan menggoreng informasi ini sesuka hati. Bisa-bisa Sultan Hamid II dicap pula sebagai “Antek Yahudi”. Padahal nilai yang mau kita ambil adalah nilai kebaikan/kepahlawanan dalam semangat menuntut ilmu.
Sama seperti Beliau meniti karir militer di KNIL bisa sampai pangkat Mayor Jenderal. Satu pihak menuding dia pro Belanda. satu pihak menilai dia berhasil membangun prestasi di mana anak-anak pribumi lainnya mandek. Padahal banyak sekali pribumi yang meniti karir pula di KNIL saat itu dari seluruh pelosok Nusantara.
Kemudian penguasaan beberapa bahasa asing pada diri Sultan Hamid. Ini semua kebaikan, kebajikan dalam hal keutamaan menuntut ilmu. Bukankah bahasa kunci membuka dunia? Sesuatu yang sangat dianjurkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan RI. Asasi tersebut nilai edukasi ini di UUD 1945.
Kemudian bagaimana beliau merancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Nampak betul semangat kebangsaan Beliau untuk menampung semua komponen Bangsa yang ada.
Sejarah Indonesia dimulai dengan kejayaan Kerajaan Hindu-Budha, maka Beliau minta masukan Ki Hadjar Dewantara untuk melihat relief garuda di candi-candi. Beliau tahu mayoritas penduduk Indonesia muslim, unsur Islam beliau tanyakan kepada Muhammad Natsir.
Sebagai orang Pontianak-DIKB, Beliau juga minta saran pada sahabat beliau etnic Dayak, Panglima Burung, Massuka Djanting, Ovaang Oeray dll. Nah karena ini lambang negara tentunya harus bagus supaya bisa bersanding dengan lambang negara lainnya, Beliau riset lambang negara lainnya yang menggunakan figur utama elang atau rajawali. Artinya inilah yang bisa dijadikan contoh millenial saat ini di mana sosok yang berkebangsaan, tak lupa pada muatan lokal daerah serta berwawasan global internasional.
Sultan Hamid II sangat mencintai Indonesia. Konsep yang diinginkan adalah Indonesia dibangun dengan standar SDA dan SDM mandiri. Memang tidak mudah tentunya. Karena SDM saat itu minim. Apalagi DIKB, saat 1941-1944 1-2 generasi terbaiknya telah menjadi korban kekejaman pembunuhan Jepang.
Kalau kita lihat susunan personil lembaga pemerintahan DIKB nampak betul keterwakilan dari etnik yang ada. Pada lembaga eksekutif Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, yaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen. Lembaga Legislative / Dewan Kalbar beranggotakan 12 orang wakil swapraja, 3 orang wakil Neo-Swapraja, 8 orang etnik Dayak, 5 orang etnik Melayu, 8 orang etnik Cina, 4 orang Indo Belanda. Beliau sangat memperhatikan benar percepatan kualitas SDM dari etnik Dayak misalnya dalam kebijakannya latihan militer siang hari, belajar membaca di malam hari tanpa melihat bentuk fisik, sesuatu yang di Jawa sudah standar berapa ukuran tinggi badan, panjang napas, jumlah gigi, hingga level pendidikan.
Contoh pembentukan “Kompi Dayak” yang telah dipersiapkan sebagai kekuatan inti yang akan bergabung dengan TNI.Namun masygul, ketika TNI pertama kali masuk ke Kalbar adalah tanpa koordinasi dengan Kepala DIKB., Wajarlah Sultan Hamid II terhadap kebijakan pengiriman TNI ke Kalbar tanpa pemberitahuan kepada Beliau selaku Kepala DIKB ini menimbulkan kemarahan.
Sultan Hamid II bahkan sudah merekrut 100 orang Dayak untuk dilatih menjadi polisi. Dilatih dari bassic sekali. Bahkan banyak yang tidak tahu membaca dan menulis.
Wajarlah pada zamannya, Sultan Hamid diidolakan sampai ke pelosok-pedalaman. Selain kecintaan pada daerah, Sultan Hamid II pun sangat mencintai INDONESIA. Ia ingin bersama-sama dengan daerah/negara federasi lainnya tergabung dalam satu NEGARA INDONESIA.
Namun arah pemikirannya adalah NEGARA FEDERAL / NEGARA PERSATUAN REPUBLIK INDONESIA. Inilah yang dia perjuangkan dalam perundingan-perundingan yang akhirnya dapat disepakati. DIKB pun menjadi bagian dari RIS. Melalui RIS-lah kedaulatan RI diakui Belanda dan menyusul negara-negara lain di jagat raya ini sampai kini.
Ya sudah jadi takdir sejarah, akhirnya RIS bubar. Kita adalah NKRI. Namun konsep DIKB diserap dalam semangat otonomi daerah. Di mana kini bikameral. Ada kamar legislatif dan senat. Jujurlah pada sejarah, bahwa nilai-nilai kebajikan–kepahlawanan terus mereplikasikan diri. Itulah yang disebut dengan pahala jariyah. Pahala yang mengalir tiada putus-putusnya, walaupun yang bersangkutan telah tiada.
Dari sini dapatlah kita mengerti, mengapa suara dari Kalbar yang paham cerita Beliau, dari semua kalangan etnik dan agama memperjuangkannya sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan sudah membentang jalan raya yang menghubungkan Sungai Kapuas — sungai yang terpanjang di Indonesia dengan sungai Landak. Namanya Jl Sultan Hamid II. Sejak Presiden Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo lewat sini bersama Paspampres, menteri-menteri dan rombongannya. Tidak ada yang minta nama Jalan Sultan Hamid II diganti.
Wajarlah jika warga Kalbar kecewa betul ada yang memberi label pada Sultan Hamid II Alkadrie sebagai “PENGKHIANAT BANGSA” sementara mereka bernapas di dalam kedaulatan negara yang diperjuangkan Sultan Hamid,menggunakan emblem lambang negara karya Sultan Hamid dan menikmati otonomi daerah, buah perjuangan Sultan Hamid.
Beliau berani pasang badan. Berani masuk penjara. Berani namanya dikuburkan dalam lumpur sejarah. Berani memangku Bung Karno sampai membimbing kalimah syahadah pada hari-hari terakhirnya. Murni sesama anak Bangsa. Sesama pejuang Republik Indonesia.
Untuk para tokoh nasional sekarang, baik yang di pusat maupun di daerah, bahwa sosok Sultan Hamid II dicintai semua kelompok di Indonesia. Lihatlah ribuan orang mau hadir menyaksikan persidangannya. Padahal dia ditahan dulu tanpa persidangan bertahun-tahun lamanya, agar ingatan penduduk terkikis lamat-lamat. Sesuatu yang menyita rasa ingin tahu sebenar-benarnya pada masa itu hingga menguak sejarah yang buram itu masa kini. *
(Guru Pelosok Pedalaman Kalbar: SMPN 3 Belitang Hilir, Sekadau. Penulis juga Pemerhati sejarah dan informasi publik)