Oleh: Nur Iskandar *
Asw. Yth Bapak Presiden RI Ir H Joko Widodo. Semoga Bapak sebagai pemegang amanah suara rakyat mengemban amanah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Begini Bapak Presiden yang kami muliakan. Sehubungan dengan pengajuan Sultan Hamid II Alkadrie Pahlawan Nasional tidak ada sangkalan lagi bahwa Allahyarham Sultan Hamid II Alkadrie telah menyubangkan karya fenomenalnya berupa Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila.
Adalah sangat kuat idiologi bangsa kita ini ketika menggali nilai-nilai Pancasila kongruen dengan filosofi lambang negara, mulai figur Garuda atau Elang Rajawali, perisai, simbol setiap sila, hingga jumlah bulu-sayap maupun frasa Bhinneka Tunggal Ika. Antara Pancasila dan Lambang Negara tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Ibarat kepingan uang logam. Tak laku tanpa yang satu.
Penelitian ilmiahnya sudah tidak terbantah dan masuk dalam kurikulum sejarah sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi via MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum), maupun Buku 4 Pilar Kebangsaan di MPR RI.
Karya asli Sultan Hamid berupa dokumen lambang negara yang didisposisi Presiden RI Soekarno, telah pula disertifikasi Kemendikbud sebagai cagar budaya tak benda peringkat nasional (2016). Sementara Kemenlu melalui Museum Konferensi Asia Afrika telah meluncurkan film dokumenter siapa perancang lambang negara, di mana di dalamnya gamblang disebutkan bahwa Sultan Hamid II adalah pemenang sayembara dari Kementerian Penerangan RIS di bawah kepemimpinan Menteri Prijono.
Karya Mayjen Sultan Hamid II Akadrie mengalahkan karya Prof Dr Muhammad Yamin maupun peserta sayembara lambang negara lainnya. Di sana jelas tersimpulkan bahwa Lambang Negara adalah karya tunggal Sultan Hamid II yang setelah dinyatakan sebagai Lambang Negara (11 Februari 1950) disempurnakan jambul Sang Garuda melalui pelukis istana bernama Dullah.
Terkait pengajuan gelar Pahlawan Nasional yang diajukan TP2GD yang ditanda-tangani Gubernur Kalimantan Barat tahun 2016 Drs Cornelis, MH dilanjutkan masa Gubernur H Sutarmidji, SH, M.Hum beserta puluhan anggota TP2GD sudah aklamasi bahwa Sultan Hamid lolos seleksi pahlawan dari Provinsi Kalimantan Barat, sehingga nama jalan pun telah terbentang atas nama Sultan Hamid II. Yakni antara Jembatan Kapuas 1 (dari perempatan Hotel Garuda-Jl Tanjungpura) hingga anak sungai Kapuas, yakni Jembatan Landak yang beririsan dengan Jl Sultan Muhammad–ayahnya–Pontianak Utara–korban penjajahan Dai Nippon Jepang (1944).
Garis koordinasi TP2GD dengan TP2GP seharusnya berjalan mulus Bapak Presiden. Terutama saat Mensosnya Ibu Chofifah Indar Parawansa. Kami diminta untuk presentasi di Kemensos. Dan Beliau mengatakan secara syarat administrasi semua telah lengkap ini. Namun pada akhir Januari 2019 melalui Kementerian Sosial pula di iklim kepemimpinan menteri berganti, turun surat kepada Gubernur Kalbar yang menyatakan 3 hal:
Pertama bahwa Sultan Hamid II bukan perancang tunggal Lambang Negara (tentu saja hal ini bertentangan dengan penelitian dan pembelajaran ilmu sejarah yang sekarang telah terbukti validitasnya seperti tergambar dalam uraian di atas).
Kedua, Kemensos menyebutkan keterlibatan Sultan Hamid dalam Peristiwa APRA tahun 1950–hal ini juga terbantahkan dengan putusan primair Mahkamah Agung di tahun 1953, bahwa tuduhan kepada Sultan Hamid II bersekongkol dengan Kapten Westerling adalah tidak cukup bukti sehingga dibebaskan dari tuduhan makar tersebut.
Ketiga, di dalam surat Kemensos menyebutkan hubungan timbal balik antara Sultan Hamid II dengan Sultan Hamingkubono IX? Dalam pertanyaan yang ketiga ini menurut Ketua Yayasan Sultan Hamid II yang juga peneliti aspek pidana yang dituduhkan kepada Hamid, Anshari Dimyati, SH, MH sangat tidak beralasan ditanyakan Kemensos karena bersifat subjektif hubungan orang-perorangan. Di mana jika dikaitkan dengan rencana penyerangan dewan RIS (1950), niat itu tidak dilaksanakan.
Tidak ada pergerakan senjata dan pasukan. Tidak ada “body-contact”, dan keduanya menemui ajalnya tanpa ada baku tembak, bahkan berjalan baik-baik saja sesama anak Bangsa. Antara kedua sultan ini bersahabat sejak kecil di bangku sekolah dasar hingga berkuliah di Belanda dan sama-sama anggota Kabinet RIS.
Begitupula antara Sultan Hamid II dengan Presiden RI, Ir Soekarno, juga berakhir dengan manis, di mana Sultan Hamid dan Soekarno saling maaf-memaafkan (saksikan di film dokumenter Museum Konferensi Asia Afrika, pernyataan dari Sekretaris Pribadi Sultan Hamid, Max Jusuf Alkadrie dan tertuang di dalam buku Satu Abad Bung Karno).
Akhirnya, semua tendensi negatif atas Sultan Hamid mesti segera diakhiri pada era Pandemi Cofid 19 ini sebagai bonus Work From Home di mana kita lebih jeli mengkaji sejarah NKRI yang kita amat sangat cintai ini. Tentunya tanpa tendensi apa-apa yang subjektif. Tentu atas kajian ilmiah tanpa emosi melainkan rasional-profesional. Hal ini sesuai dengan amanat Bapak Presiden RI Ir H Joko Widodo untuk “membajak” Pandemi-Covid 19 dengan spirit NKRI agar kita terbebas dari resesi. Juga “gerak cepat” kerja-kerja-kerja. Termasuk “membajak” resesi sejarah NKRI itu sendiri.
Mari kita bersihkan nama Allahyarham Sultan Hamid bahwa Beliau itu nasionalisme sejati kepada Republik Indonesia. Beliau lahir dan dimakamkan di Indonesia. Beliau berjasa atas pengakuan kedaulatan RI selaku Ketua BFO bersama Drs Moh Hatta sebagai ketua delegasi mewakili Indonesia di KMB-Den Haag, Belanda, 1949.
Allahyarham Sultan Hamid II berjasa mewariskan Lambang Negara dan Gedung Pancasila selaku Menteri Negara Zonder Porto Folio Kabinet Republik Indonesia Serikat. Allahyarham berjasa mewariskan lapangan terbang di Kalimantan Barat, mewariskan semangat pluralitas di Kalimantan Barat dengan pembentukan Kompi Dayak dan anggota Dewan Pengurus Harian Daerah Istimewa Kalimantan Barat yang multietnis–dimana spirit kemajemukan sekarang rentan sekali di NKRI–begitupula semangat otonomi daerah yang sejak orde reformasi ditabalkan ke dalam UU Otonomi Daerah.
Akhirnya, dalam UU No 20 tentang gelar kepahlawanan, semua syarat telah dipenuhi untuk Sultan Hamid II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Termasuk hukuman penjara yang dijalaninya atas proses “peradilan politik”. Beliau menjalani putusan dengan ikhlas tanpa meleburkan diri kembali di pentas politik. Namun Beliau berkontribusi untuk pembangunan NKRI. Yakni memfasilitasi terbangunnya sarana dan prasarana transportasi NKRI, termasuk industri penerbangan Nusantara-Garuda.
Terakhir, terkait syarat gelar pahlawan berdasarkan UU No 20 memang ada yang menyebutkan masa tahanan tidak boleh lebih dari 5 tahun untuk seseorang calon pahlawan nasional. Di sini dapat dijelaskan, bahwa atas tuduhan makar bersama Westerling yang putusan MA tidak terbukti itu, Sultan Hamid II ditangkap di Hotel Des Indes tempatnya menginap selama menjadi Meneg RIS tahun 1950.
Selama 3 tahun menunggu sidang baru dimulai tahun 1953. (Sesungguhnya berdasarkan norma hukum pada waktu itu jika ditahan lebih dari 2 tahun, pun sesungguhnya telah bebas murni). Sultan Hamid II tetap divonis 10 tahun penjara dipotong masa tahanan.
Di sini kami menghitung urut kacang saja: Pada 1958 Beliau sudah dinyatakan bebas. Berarti masa tahanan Sultan Hamid tidak lebih dari 5 tahun. Yakni 1953-1958 (5 tahun). Dengan demikian Sultan Hamid memenuhi seluruh syarat untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional tanpa terkecuali. Dan memang begitulah adanya atas hak-haknya, jika kita mencermati dengan seadil-adilnya.
Adapun pemenjaraannya berikutnya atas tuduhan makar bersama figur pejuang lainnya sama sekali tanpa proses peradilan, di mana hanya Bung Hatta saja yang memenuhi undangan Ngaben Raja Bali yang tidak dipenjarakan. Selebihnya, Hamid, Sutan Sjahrir, termasuk HM Natsir semua dipenjarakan tanpa pengadilan, dan ini sesungguhnya adalah butir pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).
Akhirul kalam, sebelumnya, Negara juga memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Prof Muhammad Yamin yang juga pernah melakukan makar dan dijatuhi hukuman penjara 5 tahun. Termasuk Tan Malaka.
Sekali lagi kepada Bapak Presiden, saya selaku jurnalis yang tidak berpihak kemana-mana dan berdasarkan ilmu “investigative reporting” menemukan dokumen ttd Soekarno atas karya Hamid tahun 1994 untuk liputan pers kampus Mimbar Universitas Tanjungpura, atas nama pelurusan sejarah yang penting dan strategis bagi generasi muda Bangsa Indonesia Raya, pergunakanlah hak prerogatif kepala negara, seorang pejabat Presiden Republik Indonesia untuk merehabilitasi nama baik Sultan Hamid yang atas jasa-jasanya kita bangga menjadi Pancasila.
Atas jasa-jasanya kita berdaulat penuh sejak 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB). Atas jasa-jasanya menerima “peradilan politik” dengan ikhlas negara ini stabil membangun sampai sekarang. Etos pengorbanan “ikhlas kehilangan harta, tahta, bahkan wanita yang sangat dicintainya sekaligus anak-cucunya) seperti inilah pahlawan yang senyata-nyatanya dibutuhkan untuk diangkat setinggi-tingginya, sehingga menginspirasi setiap individu anak negeri.
Apalagi di akhir hayatnya, keturunan Rasulullah Muhammad SAW ini dihadiahi Allah SWT dengan wafat husnul khotimah, yakni menghembuskan napas terakhirnya dalam kondisi bersujud, ibadah shalat maghrib, akhir Maret 1978. Tanda tanda Tuhan ini semoga garis lurus dengan negara yang disumpah jabatan seluruh pejabatnya atas nama Allah – Tuhan Yang Maha Kuasa.
Semoga surat dari anak bangsa di sudut bumi khaTULIStiwa ini dapat dibaca dalam kaitan saling ingat-mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Quran Surah Al Ashr: Demi Masa/Demi Waktu. Setiap individu itu pasti merugi. Kecuali orang-orang yang beriman, di mana mereka saling ingat mengingatkan dalam kebenaran, dan mereka saling ingat-mengingatkan dalam kesabaran. (Semoga kita Bangsa Indonesia tidak termasuk bangsa-bangsa yang merugi itu. Semoga kita beruntung dari Pandemi Covid-19 dan lolos dari resesi serta tumbuh menjadi negara adikuasa di muka bumi ini sesuai spirit proklamasi, sesuai semangat Pancasila dan diikat sangat kuat sekaligus indah: Lambang Negara Elang Rajawali garuda Pancasila). Amiin ya rabbal’alamiin. Wassalam.
Nur Iskandar
Jurnalis-Pemimpin Redaksi teraju.id
WA 08125710225
NB: surat aspirasi kepada Kepala Negara ini ditulis pada hari Asyura di mana berdasarkan sejarah seluruh agama langit diperingati dengan berpuasa–menahan hawa nafsu–demi merenungkan Musa AS lolos dari ancaman maut Raja Zalim Firaun beserta bala tentaranya. Juga Nabiullah Yunus AS lolos dari maut dengan ditelan ikan hiu lalu dimuntahkan di bibir pantai. Juga Nabiallah Ibrahim AS lolos dari ikatan dan kobaran api karena dia merobohkan berhala-berhala sesembahan manusia dari Tuhan Yang Maha Kuasa serta dimurkai Raja Zhalim Nambrudz. Semoga dengan frekuensi Asyura ini menggetarkan Kabinet Kerja di bawah Kepemimpinan Ir H Joko Widodo—figur wong cilik–figur yang gemar blusukan untuk menemukan kesejatian dan kebenaran. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox populi – vox Dei). Salam Merdeka, Agustus 2020. Mari kita songsong 1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila, 5 Oktober Hari TNI, 23 Oktober Hari Jadi Kota Pontianak, 28 Oktober Soempah Pemoeda dan 10 Nopember Hari Pahlawan.
`