Oleh Willy Pramudya
Beberapa tahun terakhir frasa “begal payudara” kerap muncul di media massa pers arus utama. Pengamatan sepintas atas gejala ini mengantarkan saya pada suatu kesan juga ‘pesan’. Yakni adanya upaya paksa oleh sebagian pelaku media (wartawan!) dan kalangan narasumber mereka untuk menjadikan frasa ini sebagai ungkapan baru. Bahasa memang milik masyarakat. Setiap orang atau kakangan (kekuatan!) bebas menggunakan dan mencipta satuan-satuan bahasa sesuai kebutuhan.
Terkait gejala ini sangat mungkin saya berposisi sebagai manusia purba: tidak paham dan sulit menerima bahwa sebuah kata dapat mengalami perubahan makna — pengubahan paksa! Misalnya, dari sekadar menyempit hingga meluas secara ekstrem kareba ia menyimpang terlalu jauh dari makna dasar dan pengembangannya yang sudah tersepakati. Pada contoh di bawah, terasa sekali adanya upaya mengubah paksa kata “begal” (Jawa) yang bermakna “penyamun” menjadi sekadar “‘tukang’ memeras” dan “penyamunan” menjadi sekadar “peremasan”.
Hemat saya, upaya itu justru menjadi pembegalan atas makna ‘begal’ secara ‘manasukagua’. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pembacaan atas berita terkait mengantarkan saya pada pendapat berikut ini. Penguasaan bahasa sang penulis berita dan redaksinya tak bergerak dari tingkat yang rawan untuk menyebabkan pembaca harus berteriak ‘Ampun, ampun!’. *