Oleh: Yusriadi
Malam itu beberapa peserta Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak dari Kelas King mengirim tulisannya melalui WAG. Setelah itu mereka mengisi daftar pengirim, memasukkan namanya.
Sejumlah orang memberikan apresiasi dalam bentuk pujian dan kekaguman. Pujian diberikan karena cepat.
Saya senang sekali melihat perkembangan itu. Setidak peserta memperlihatkan tren posiif. Bentuk seperti inilah yang kami harapkan sebagai penyelenggara program. Dekan FUAD Dr Ismail Ruslan menjadikan program ini sebagai unggulan karena menginginkan budaya akademik tumbuh subur di kalangan mahasiswa. Kelak diharapkan alumni FUAD IAIN Pontianak memiliki kemampuan berliterasi. Kemampuan ini akan jadi bekal mereka berdakwah di era digital yang sering terperangkap hoaks.
Tetapi kemudian saya sempat kelu. Seorang peserta yang ditanya temannya tentang tulisannya menulis, “Asli kosong ni pikrn aq kosong. hampir kesurupan”.
Bah, benarkah? Mengapa sampai segitunya?
Saya membalas wa di group itu dengan permintaan agar yang bersangkutan menemui saya. Saya pikir bisa membimbingnya menemukan jalan keluar, agar tak benar-benar kesurupan.
Saya sebenarnya juga khawatir kalau anak itu benar-benar kesurupan gara-gara menulis. Apa kata dunia?!
“Apa yang sebenarnya terjadi?” saya mencoba mengingat kembali pertemuan kami pagi Jumat. Pertemuan ke-8.
Pada pertemuan itu saya mendampingi peserta menulis deskripsi. Kami praktik menulis profil dosen favorit. Sejauh terpantau, semuanya berjalan lancar. Setiap peserta memilih atau menetapkan sendiri dosen yang akan ditulis.
Saya menyarankan mereka membayangkan dosen itu. Rambutnya tinggal berapa, jenggot dan kumisnya berapa, celana baju seperti apa, dan seterusnya.
“Usahakan sambil menulis sambil senyum. Ayoo…,” kata saya setengah bercanda.
Hasilnya, dalam waktu 10 menit pertama semua peserta berhasil menulis dengan variasi 100-an kata. Lumayan untuk pemula. Meskipun campur narasi juga diberi apresiasi.
Setelah beristirahat sejenak, sampai memberi penguatan, motivasi dan tips menulis cepat, kami lanjutkan tulisan itu. Rentang waktu tetap sama:10 menit lamanya.
Kali ini hasilnya meyakinkan. Lebih banyak yang bisa menulis di atas 200 kata. Rupanya dorongan dan tips manjur juga.
Akhir pertemuan saya minta mereka mengetik apa yang sudah ditulis, dan mengirimkan tulisan di WAG. Hanya mengetik tidak sulit. Asal luangkan waktu, cukuplah.
Lalu sekarang mengapa ada peserta yang mengaku kesulitan hingga mau kesurupan. Sulitnya di mana lagi sih? Apakah ini hoaks?
Ah, nanti sajalah. Tunggu dia datang membawa cerita. (*)