Oleh: Yusriadi
Sore itu saya singgah di sebuah toko di ujung Pontianak. Sang penjaga, pemilik toko melayani dengan ramah. Tentu, kami sudah saling kenal: saya adalah pembeli setia.
Dia mengenakan jaket. Saya kira demam.
“Kurang sehatkah?”
“Ndaaak. Malas mau buka, ntar pergi lagi”.
Katanya, dia baru datang menjemput anak sekolah, dan sebentar lagi dia mengantar anaknya pergi les.
“Anak harus les, Pak. Tak cukup belajar di sekolah”.
“Begitukah?” Saya memancing.
“Cobalah, kalau tak les. Anak, mane…”
Katanya, kalau tak diikutkan les anak tak akan mampu menguasai pelajaran. Anak akan tertinggal dibandingkan kawan lain.
Orang tua itu menilai guru sekarang agak kurang serius dalam mendidik anak. Mereka tidak benar-benar peduli pada anak didiknya.
“Kadang-kadang, anak main tinggal-tinggal. Paham tadak, macam tak duli”.
Saya lihat ekspresi. Dia serius ketika mengeritik guru.
Saya percaya ada guru yang begitu. Ada guru yang tidak benar peduli pada anak didiknya. Mereka berada di depan kelas layaknya seorang buruh mengharapkan upah.
Saya ingat percakapan saya dengan orang rumah tentang guru yang mewajibkan murid ikut les padanya. Siapa yang ikut les diajari “lebih” sedangkan yang tidak ikut diajari ala kadar. Paham tak paham, serrahhh.
Tapi, tentu saya lebih percaya selama ini banyak orang yang menjadi guru benaran. Guru yang sungguh-sungguh mendidik anak. Guru yang mendidik anak dengan … juga jiwa dan rasa. Ada cinta.
Dan, sekarang, semua pihak juga sedang berupaya mencetak guru yang seperti itu. Guru yang terbaik. (*)