Oleh: Asfiyah Radhya
-dit raakt alle harten-
Sebuah kabar dari seberang pulau sampai kepadaku. Sanne telah pulang. 3 bulan bersama dalam pertukaran pelajar Bina Antarbudaya Chapter Pontianak seakan belum ikhlas melepas ia pulang. Ya, jujur dari hati seorang ibu berkata kepadaku. ia anak yang baik.
Usianya memang dibawahku, pemikirannya masih sama seperti adikku, tapi sikapnya mandiri dan dewasa. Aku tidak mengarang atau berkata sok manis terhadap penilaianku kepada adik kecil ini.
Aku bisa merasakan bagaimana sepi dan berwarnanya ketika seseorang berada jauh dari keluarganya yang ada di belahan bumi lain. Belgia.
‘Aku cinta keluargaku, aku cinta Indonesia’. Sepatah kata yang menyentuh keluarga kami. Jujur sekali lagi aku jujur berkata, aku tak pernah bertemu orang asing yang bisa secepat ini merasa nyaman bersama keluargaku.
Berbagai kisah dan perjuangannya pernah ia sampaikan kepadaku, sebuah pantai dengan ombak ganas di selatan Malang menjadi saksinya. Di bawah terik matahari jam 12 siang, ia bercerita panjang tentang usahanya untuk bisa sampai ke Indonesia, kegelisahannya sebelum mantap tuk terbang ke Indonesia, harapannya, ekspektasinya, curahan hati tentang babak kehidupannya di Indonesia. Masih teringat tatapannya yang penuh arti dengan mata berkaca-kaca memandang deburan ombak, aku tersentuh dengan kisahnya. Bila aku jadi ia, mungkin aku tak sampai ke Indonesia. Badmood, kesal, lelah, menurutku wajar untuk tiap individu. Beberapa sikap bandel juga wajar, namanya juga masih remaja. aku pernah di posisi dia juga.
Untuk tipikal anak yang introvert, bercerita sepanjang siang kala itu cukup baik menurutku. Sanne sempat ke Malang bersua denganku yang menimba ilmu di Universitas Brawijaya.
Foto ini sangat menyentuh hatiku. Remind me when the first time i should go for split up with my bunda and ayah. Sikap manjanya ke ayah dan bundaku persis seperti aku dan Elsa, adikku yang kini studi di SMAN 7 Pontianak.
Tidak ada perbedaan kasih dan cinta dari orang tuaku untuk aku, Elsa dan Sanne. Kami bertiga memanggil ayah dan bunda kepada orangtua kami. Kami juga diberikan kebebasan dan pengalaman yang sama. Tidak ada perbedaan makanan, tidak ada perbedaan perawatan kulit, tidak ada perbedaan pakaian, kami menggunakan barang yang sama. Kami seragam.
Kehadirannya dalam program AFS, bisa merubah cara pandang kami terhadap warga asing. Ia anak yang peduli dan rajin, hebat. Ia bisa menggantikan posisiku yang ada di Malang dengan membantu pekerjaan rumah bersama dengan adikku di kediaman kami kawasan Ampera-Danau Sentarum-Pontianak. Ia juga bisa ikut masuk dalam membantu program-program dari ayah dan bunda.
Bukan berkata “lamis” tapi menurutku, ia anak yang multitalent-sabar-sulit ditebak. Pada akhirnya, kami benar-benar membuat sebuah ikatan batin keluarga di belahan dunia lainnya. Sebuah pelajaran kebudayaan unik antara Indonesia dan Belgia via program AFS. “dank je, je hebt ons hart gestolen in Indonesië.”
Foto yang ada ini membuat aku menuliskan sebuah goresan yang hampir menyerupai puisi. Untuk mereka: happy family. * (Penulis adalah volunteer Binabud Chapter Pontianak yang kini studi di Fakultas Teknik Unibraw, Malang, Jatim)