Oleh Hermayani Putera
Nama ‘Malaka’ sudah lama melekat di dalam pikiran saya. Saat SMP, salah satu pelajaran yang sangat saya senangi adalah sejarah. Materinya sangat menarik. Cara Bu Nelce Apunasa dan Bu Sri Mulyati, dua guru sejarah di SMPN 1 Pontianak dulu, juga sangat berkesan bagi saya. Hafalan beliau berdua luar biasa. Cerita demi cerita sejarah mengalir lancar dari mulut keduanya. Kita seolah diajak mengembara, masuk ke lorong waktu, serasa terlibat di dalamnya.
Tentang sosok petualang penakluk dunia baru, misalnya, seperti ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang dikisahkan pernah ke Nusantara selama tujuh kali. Ada pula kisah bagaimana perkembangan dan peradaban satu kawasan, seperti Mesir dan Sungai Nil. Atau tentang Sungai Mekong yang mengalir dari Dataran Tibet di utara, terus mengalir melalui Yunnan di Tiongkok, terus ke Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Memberi pelajaran, betapa pentingnya merawat sungai, tempat tumbuhnya peradaban-peradaban besar.
Salah satu yang masih melekat di ingatan adalah materi tentang sejarah Kesultanan Malaka. Walaupun umur kesultanan ini hanya satu abad lebih, tapi dengan empat periode kepemimpinan sultan, Malaka tumbuh menjadi pusat perdagangan serta pelayaran internasional, bahkan berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam terbesar di Asia Tenggara.
Cerita kedua tentang Malaka saya dapatkan dari seorang teman lama di dunia gerakan LSM. Penyakit yang dideritanya mengharuskan ia mesti intensif berobat. Dan Malaka dipilih karena akses ke sana yang relatif dekat, murah, dan peralatan medis di rumah sakit yang canggih dengan harga terjangkau. Layanan dokter juga sangat ramah dan enak diajak diskusi tentang penyakitnya. Bahkan, mereka pun bisa konsultasi via email.
Dan ini yang ketiga. Pertengahan Juli 2019. Notifikasi chat WA masuk di hape saya. Ada flyer dari sahabat rasa saudara, Pay Jarot Sujarwo. Tentang Islamic Trip and Travel Book Project, Kuala Lumpur-Malaka, Syarat: Muslim, lelaki, peserta perempuan wajib bersama mahrom/suami, tidak manja saat travelling, penyuka sejarah Islam, rindu kejayaan Islam. Kita akan ngetrip sekaligus menulis Islamic Travel Book. Don’t miss it! Demikian isinya.
“Siapa tau Bang Herma bisa bantu forward,” sambung Pay.
“Siap. Saya share ya ke beberapa grup ya Pay. Tertarik juga ikutan nih,” balas saya, antusias.
“Yok Bang yok,” dibalas cepat oleh Pay. “Ajak Bang Nur Is juga ya Bang,” sambungnya.
Nur Iskandar nama lengkapnya, adalah jurnalis dan penulis ternama di Kalbar, sahabat kami juga. Dari Pay dan Nur Iskandar ini saya cukup banyak belajar tentang dunia kepenulisan. Saya penikmat karya-karya mereka berdua.
“Bisa jadi proyek buku bersama nih ya?”
“Betul Bang. Ini akan jadi target trip ini.”
Agustus 2019. Transfer uang pendaftaran sudah. Tiket pesawat Pontianak-Kuala Lumpur dengan jadwal dan penerbangan yang sama dengan Pay juga sudah dibooking. Berarti sudah positif saya ikut dalam trip ini kan ya? Rupanya tidak juga. Jadwal kerja sebagai konsultan, dunia kerja baru yang saya geluti setelah tidak lagi bekerja di WWF, ternyata cukup padat. Bahkan ada jadwal laporan akhir yang harus saya selesaikan dan dikirimkan ke lembaga yang mengontrak saya persis bersamaan dengan trip ini, nyaris membatalkan keberangkatan saya.
Bahkan sampai Kamis pagi, 10 Oktober 2019 di hari jadwal keberangkatan pesawat ke Kuala Lumpur, saya masih ragu ikut berangkat atau tidak. Untunglah pagi itu saya sempat ngopi dengan teman-teman pengurus Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Kalbar di salah satu warung kopi di Jl. Sumatera Pontianak. Ada Hendy Erwindi juga, mantan wartawan yang sekarang berkiprah di Komisi Yudisial (KY) Kalbar. Selain jurnalistik dan dunia hukum, olah raga adalah minat Hendy yang lain. Jadilah Hendy masuk dalam kepengurusan di FAJI Kalbar.
“Katanya Abang ikut trip dengan Pay ya? Bukannya berangkat hari ini?” tanya Hendy. Ia heran, kenapa jam segini saya belum menyiapkan diri untuk berangkat. Justru masih berada di warung kopi.
“Iya, saya bingung nih, ada deadline laporan yang harus dituntaskan. Review dan perbaikan terus berjalan sampai beberapa hari ke depan, dan ada laporan dari dua rekan lain di lapangan yang belum masuk. Sementara saya tidak ingin repot harus membawa laptop dalam trip nanti. Ingin benar-benar menikmati trip ini,” jawab saya.
“Bismillah saja Bang. Tetap berangkat, laptop dibawa, minta sama Allah untuk memudahkan dan melancarkan semua urusan Abang,” saran Hendy, menguatkan saya untuk jangan mundur dari trip ini.
Kata ‘bismillah’ ini seolah menghipnotis. Saya merasakan ada kekuatan baru, menepis keraguan yang beberapa hari ini terus mengganjal. Lima menit kemudian, sambil menyelesaikan segelas kopi saring pahit, saya putuskan tetap berangkat.
“Makasih ya Bro,” kata saya kepada Hendy, sambil menjabat tangannya. Kami berpeukan erat. “Saya berangkat ya. Mohon doanya semoga lancar.” Kemudian saya pamit.
“Hati-hati Bang. Ditunggu tulisannya,” Hendy mengingatkan tentang tugas dari Pay setelah trip nanti.
Di luar keraguan tadi, sebenarnya semangat saya ikut trip ini sangat tinggi. Selain terobsesi dengan Malaka yang sudah melekat di benak sejak SMP itu, bisa menulis buku bersama Pay dan rekan lain juga jadi magnet lain. Tambah semangat setelah melihat daftar yang ikut dalam trip ini.
Ada Wahyudin Ciptadi, tetangga sebelah rumah waktu saya tinggal dulu di Komplek Pertanian, Jl Alianyang Pontianak. Bapak saya dan ayah Wahyu, panggilan akrabnya, dulu sekantor di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat.
Juga ada Bang Yopie, sahabat abang istri saya. Karena sering bertemu di rumah mertua saya, kami pun jadi akrab. Istri Yopie, Aulia Marti juga ikut dalam trip ini. Saya dulu mengenalnya sebagai wartawan di salah satu koran di Pontianak. Rombongan dari Pontianak bertambah ramai karena ada Bude dan Bu Else. Mereka berdua tinggal satu komplek, tak jauh dari rumah saya di Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo Pontianak. Jadi total kami bertujuh dari Pontianak, separuh dari jumlah total peserta trip ini.
Kami berlima dari Pontianak berangkat ke Kuala Lumpur Kamis 10 Oktober, sehari lebih awal dari jadwal trip, 11-13 Oktober 2019. Harapannya agar lebih bisa menikmati Kuala Lumpur, sambil menunggu peserta lain tiba hari keesokan harinya. Adapun Yopi dan Aulia menyusul keesokan harinya.
Islamic Trip ini sungguh sehat secara fisik dan spiritual. Ke beberapa destinasi kita hindari pemakaian kendaraan umum, kalau itu bisa dijangkau dengan berjalan kaki santai. Eksplorasi kawasannya bisa lebih dalam. Demikian pula ketika masuk waktu shalat, peserta trip yang pria berjalan kaki menuju masjid terdekat. Sesuai yang disunnahkan, kami menempuh jalan yang berbeda saat berangkat dari hotel ke masjid dan arah pulang dari masjid ke hotel.
Pada hari pertama di Kuala Lumpur, kami shalat di Masjid Jami’ Kuala Lumpur, masjid tertua di kota ini. Dari panel informasi yang disediakan di dekat pintu masuk, kita jadi tahu sejarah masjid ini. Mulai dibangun pada tahun 1897, Masjid Jami’ diresmikan penggunaannya oleh Sultan Selangor pada tahun 1909, saat Malaysia masih di bawah pemerintah jajahan Inggris.
Sentuhan seni Islam dari beragam ornamen di bagian luar menjadikan masjid ini sarat nilai sejarah dan arsitektur, sesuatu yang sudah sangat jarang kita temui pada masjid sekarang. Termasuk masjid-masjid di tanah air yang belakangan banyak direhab atau dibangun baru, yang lebih banyak menampilkan corak arsitektur yang nyaris seragam, yakni minimalis, sehingga kehilangan cita rasa arsitektur tropis atau lokal ataupun ciri peradaban Islam lainnya.
Dari seberang sungai, lepas shalat magrib dan isya yang kami gabung secara jamak dan qashar, kami bisa menikmati Masjid Jami’ bermandikan cahaya di malam hari. Tiga kubah bawang berukuran besar di atas bangunannya, diselingi deretan menara kecil pada atapnya, semakin menambah indah tampilan masjid ini. Tak heran jika Masjid Jami’ menjadi contoh terbaik dari aristektur resmi pemerintah jajahan Inggris di Malaysia. *Penulis adalah Pegiat Sosial Lingkungan di Kalbar. Kini menetap di Pontianak