Oleh: Heyder Affan
SAYA dan kakakku pernah menyebutnya sebagai ‘guru sejarah dan politik pertama’.
Tentu saja, janganlah membayangkan sosoknya sebagai guru sejarah yang kadang-kadang digambarkan membosankan di depan klas.
Lupakan pula deretan peristiwa sejarah, nama pahlawan, dan tanggal lahirnya, yang dulu barangkali didiktekan guru dan murid-muridnya diminta menghafalkannya.
Seringkali dalam suasana cair, santai, dan acapkali lewat kelakar, dia secara tak langsung merangsang sebagian anak-anaknya untuk berimajinasi tentang orang-orang yang ‘membayangkan dan mengusung’ ide tentang Indonesia – di pihak yang kalah atau menang.
Ingatan atas sosok-sosok dalam sejarah yang dia gambarkan, nyaris tak lekang oleh waktu. Mungkin saja ini bisa terjadi, selain disampaikan berulang-ulang, dia mengisahkannya dengan kacamata atau pengalamannya secara pribadi, yang seringkali diwarnai seloroh.
Ada tak terbilang kisah seperti itu yang membuat anak-anaknya kemudian terpancing untuk berkhayal dan coba-coba untuk mengidentifikasinya – rasa ingin tahu itu kelak berlanjut untuk mengetahui pemikiran dan sepak terjang mereka dalam bertaruh untuk negeri ini.
Mulai foto Presiden Suharto berseragam militer lengkap deretan pangkat yang dia pasang di ruang klas privatnya; kisah peci Musso (pimpinan PKI yang tewas dalam ‘Madiun Affair’ 1948) yang ‘miring ke kiri’, hingga pengalamannya yang diwarnai heroisme; satir, ironi di masa pergerakan (“…kami tanggalkan identitas ‘sayid’, demi kesetaraan,” ungkapnya saat bergabung dalam Partai Arab Indonesia pada 1936); zaman pendudukan Jepang (“bayonet serdadu Jepang itu ditempelkan di perutku”, kisahnya, lalu tertawa renyah, puluhan tahun setelah kejadian mengerikan itu); periode kemerdekaan (“dulu enggak membayangkan rasanya seperti apa merdeka…”): revolusi fisik, hingga masa-masa genting 1965 (“ada temanku di kantor yang jadi aktivis buruh yang diculik dan enggak pernah kembali”).
Dibesarkan keluarga besarnya di Palembang yang menyadari pentingnya pendidikan, dia sekolah di yayasan Kristen, Methodist. “Tapi sorenya, aku belajar Al-quran,” ungkapnya, suatu saat.
Pada pertengahan 1930an, dia aktif di organisasi kepemudaan onderbouw Pergerakan Arab Indonesia (PAI), yang mendukung Indonesia merdeka. Di periode pergerakan inilah, dia diajak mentor politiknya untuk mengikuti acara-acara Nahdlatul Ulama (NU).
Sempat belajar jurnalistik di Medan, dia menjadi pegawai penerangan di Jambi di masa pendudukan Jepang. Walau “ikut” Jepang, dia rajin mendengarkan berita-berita radio dari negara-negara antifasis – “Kita sembunyikan radionya di atap rumah. Kalau ketahuan Kempetai, aku bisa digantung…”
Namun rupanya pilihan hidupnya bukanlah dunia politik atau kewartawanan. Dia memilih menjadi guru – profesi yang dia geluti hingga alzheimer merenggut ingatannya, sebelum tutup
usia pada 2002. (Doa-doa terbaikku untukmu!).
Kelak, setelah Indonesia merdeka, dia bersama kawan-kawannya mendirikan kursus bahasa Inggris bernama “Progresif” di Palembang.
Profesi ini terus berlanjut. Sebelum dinasionalisasi oleh Sukarno, dia bekerja sebagai guru Bahasa Inggris bagi para pegawai lokal di perusahaan minyak Amerika Serikat, Stanvac, di Palembang – setelah memilih pensiun dini pada akhir 1960an, dia memboyong istri dan anak-anaknya pindah ke Malang dan mendirikan kursus Bahasa Inggris.
Begitulah. Namun bapakku bukanlah tipikal ideolog – dia tak ‘mendoktrin’ anak-anaknya untuk “jadi apa”. Pria berwatak lembut, soliter, dan nyaris pemalu, ini bukanlah sosok yang secara alamiah gemar menghakimi sosok-sosok dalam sejarah yang berbeda dengan ‘pilihan’ politiknya.
Belakangan, aku menganggapnya barangkali begitulah tipikal guru – yang berjarak dengan peristiwa. Saya masih ingat, selain mengajar murid-muridnya, dia acap menyepi dengan menghabiskan waktu di meja kerjanya: membaca.
Besar dalam tradisi tarekat alawiyin dari garis ayahnya (rasanya aku belum melihat dia menggosip! 😁), tumbuh dalam tradisi politik dan kultural NU dengan sentuhan minimal Masyumi dari keluarga besarnya di Palembang, tapi garis ibunya yang etnis Jawa tumbuh dan besar dalam garis Sukarnois – barangkali pola hibrida inilah yang membentuk caranya berpikir yang tidak serba oposisi biner.
Di masa tuanya, seingatku, dia tidak pernah menggambarkan secara negatif rezim Suharto ( meski dia memaklumi ketika aku memilih golput dalam Pemilu 1992 dan bereaksi biasa-biasa saja ketika kupasang foto Sukarno dan poster ‘Tanah untuk Rakyat’ di dinding meja belajarku).
Dia juga tak alergi dengan ajaran Sukarno – dia bahkan mengajak anak-anaknya berziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Keluarga besar ibunya adalah pengikut Sukarno di Malang selatan.
Dalam beberapa kesempatan, bapakku tak menutupi kekagumannya atas bapak Turki modern yang sekuler, Kemal Pasha, meski di masa tuanya dia memasang sticker ‘I love Islam’ di lemari buku kesayangannya. (Di lemarinya itu, ada belasan majalah kiriman dari sahabat penanya dari Turki. Di dalamnya, kutemukan poster-poster atau artikel tentang Ataturk).
Cara berpikirnya yang tidak ‘politicking’ dalam melihat berbagai peristiwa di sekelilingnya, nantinya menguatkan dugaanku di awal bahwa dia adalah sosok yang tidak pernah mendiktekan cara berpikirnya kepada anak-anaknya. Terlihat sekali dia membiarkan anak-anaknya memilih jalan pikirannya sendiri.
Dengan enteng hati, dia seolah-olah menempatkan segala kejadian di sekitarnya sebagai peristiwa belaka – yang dalam hitungan detik atau menit kemudian menjadi sejarah.
Itulah sebabnya, barangkali, dia santai saja di hadapan anak-anaknya, mengibaratkan gaya memiringkan peci hitamnya ke arah kiri, “mirip yang dilakukan Musso…” Dia biasanya mengutarakan kisah ini dengan terpingkal.
Kini, 18 tahun kemudian, pada Hari Guru Nasional, setelah Ahmad -ayahku- meninggal, rasanya saya tidak salah meyakini bahwa dialah guru sejarah dan politik saya yang pertama. #harigurunasional2020. (Penulis adalah jurnalis profesional menetap di Jakarta. Mantan aktivis pers mahasiswa era 1990)
Keterangan foto:
- Di tahun 1930an, Ahmad – bersarung dan berkopiah hitam – menekuni pelajaran sekuler, termasuk mempelajari Injil, di sekolah milik Yayasan Kristen, Methodist, di Palembang. “Kalau sore, baru belajar Al-quran..”
- Diabadikan di halaman rumah keluarga besarnya di Palembang, sekitar 1969 atau 1970, dia berpeci yang dimiringkan ke kiri – “mirip Musso ‘kan,” ujarnya suatu saat. Adapun yang dipangkunya adalah “dua muridnya di pelajaran sejarah”, saya (yang memelorotkan badannya, barangkali ogah diajak salat Jumat 😁😁) dan kakakku.
- Setelah pindah ke Malang, dia melanjutkan profesinya sebagai guru. Dia mendirikan kursus Bahasa Inggris “Minerva Institute” di salah-satu ruangan rumah kami. Ahmad di meja kerjanya pada 1984.