Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia)
Delegasi negara federal (BFO) kemudian mengadakan pleno untuk membicarakan hasil yang dibawa dari Muntok. Setelah rapat pleno, BFO menyatakan bahwa mereka mendukung usul yang diajukan oleh para pemimpin RI di Rumah Tahanan Muntok atas Sukarno-Hatta-H Agus Salim dan J Leimena sebagai persyaratan hadir di Den Haag. Namun, persyaratan yang diajukan para pemimpin RI di Muntok tidak disetujui oleh Dr. Beel. Ia menganggap bahwa terjadinya Agresi Militer II menunjukkan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Dewan Keamanan PBB menegaskan bahwa para pemimpin RI harus dikembalikan ke Yogyakarta. Dr. Beel yang tidak bersedia menerima keputusan tersebut membuat Belanda mendatangkan wakilnya, Dr. J. H. van Royen. Bersama Mohammad Roem mereka melakukan perundingan pada 14 April–7 Mei 1949 yang dikenal dengan Perundingan Roem-Royen. Atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, diadakanlah perundingan RI-Belanda di Hotel Des Indes, Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran (AS).
Merle Cochran menyatakan bahwa perundingan ini dilaksanakan atas inisiatif PBB sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949. Pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan yang dibacakan oleh Komisi PBB. Sementara itu, Belanda yang diwakili oleh van Royen membacakan pernyataannya sebagai berikut: 1.Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB: 2. Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya pemerintah RI. 3.Mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban. 3.Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Karesidenan Yogyakarta. 4.Pemerintah Belanda membebaskan pemimpin-pemimpin RI dan tahanan politik tanpa syarat yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948. 5.Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat. 6.Konferensi Meja Bundar di Den Haag akan diadakan secepatnya setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Pada konferensi tersebut diadakan pembicaraan tentang cara-cara mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat. Sebagai tindak lanjut atas pernyataan Roem-Royen, pada 22 Juni 1949 diadakan perundingan formal antara RI, BFO, dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Critchley (Australia) yang menghasilkan, dengan diplomasi yang ulung negarawan diplomat Sultan Hamid II, tiga hal yang mendasar, yakni: 1. Pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada 24 Juni 1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda dan pada 1 Juni 1949 pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu. 2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya RI ke Yogyakarta. 3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.
Di sisi lain, pernyataan atas hasil Perundingan Roem-Royen ini mendapat kecaman dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI yang diberi mandat saat itu untuk memimpin pemerintahan, tidak diajak untuk berunding terlebih dahulu. Untuk melunakkan sikap PDRI, Moh. Hatta pada awal Juli 1949 mengirim utusan (dr. Leimena) ke Sumatra Barat yang akhirnya berhasil mengajak Syafruddin Prawirangera dkk untuk kembali ke Yogyakarta.
Kemudian pada 13 Juli 1949 diadakan sidang kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden atau Perdana Menteri Moh. Hatta, setelah pengembalian mandat ini Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO menyepakati untuk diadakan Konferensi Inter-Indonesia, inilah starting point kedua yang dalam perjuangan diplomatik Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO bersama 16 anggota yang terdiri dari 8 negara bagian dan 6 daerah otonom, yang salah satunya adalah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Pertemuan yang dikenal dengan nama Konferensi Inter-Indonesia ini berlangsung sebagai respons atas Perundingan Roem-Royen. Pimpinan delegasi BFO, Ide Anak Anak Agung Gde Agung menyatakan bahwa adanya kesempatan untuk mengadakan suatu dialog Inter-Indonesia (Indonesisch gesprek), yakni pembicaraan sesama orang Indonesia––antara kelompok BFO dan pemimpin RI.
Usulan untuk diadakannya dialog Inter-Indonesia tersebut ternyata menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang yang menentang usulan tersebut datang dari Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bangka, Riau, Belitung, dan Dayak Besar. Sedangkan negara-negara bagian yang menerima usulan tersebut adalah Negara Indonesia Timur, Pasundan, Madura, Banjar, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Pihak-pihak yang kontra dengan usulan tersebut akhirnya dapat diyakinkan oleh Ide Anak Agung Gde Agung bahwa dialog tersebut merupakan langkah yang tepat untuk Indonesia secara keseluruhan.
Sebenarnya pada Maret 1949 ketika UNCI mempersiapkan pertemuan Roem-Royen, BFO sudah merencanakan untuk melaksanakan Konferensi Inter-Indonesia. Konferensi Inter-Indonesia dilaksanakan selama dua tahap, konferensi I dilaksanakan pada 20–23 Juli 1949 di Yogyakarta dan konferensi II dilaksanakan di Jakarta pada 31 Juli–2 Agustus 1949. Konferensi I yang dilaksanakan di Yogyakarta dipimpin oleh Moh. Hatta dengan dihadiri oleh wakil-wakil 15 negara bagian (BFO) dan wakil RI. Konferensi yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut membahas agenda mengenai masalah susunan tata negara Indonesia yang akan datang dan diperoleh hasil yang terdiri dari 18 butir keputusan.
Keputusan terpenting dalam perundingan tersebut, yaitu: 1.Dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak akan dibangun Angkatan Bersenjata yang baru sebab sudah ada TNI yang menjadi inti dari militer Indonesia. 2.Republik Indonesia dapat menyetujui bahwa ke-15 negara bagian yang telah dibentuk oleh Belanda sebelumnya akan menjadi anggota mayoritas dalam parlemen dengan jumlah sekitar dua pertiga dari jumlah totalnya. 3.Akan ada suatu Senat yang terdiri atas dua orang perwakilan dari setiap kesatuan federal sehingga akan ada 30 orang anggota dari negara-negara bagian yang duduk dalam Senat RIS dan dua orang wakil Republik Indonesia, serta dua orang lagi dari negara kesatuan Indonesia yang nanti akan terbentuk.
Konferensi Inter-Indonesia II yang dilaksanakan di Jakarta 31 Juli–2 Agustus 1949 dipimpin oleh Sultan Hamid II, tokoh negarawan-diplomat berhaluan federalis dari Kalimantan Barat atau wakil DIKB sekaligus sebagai Ketua BFO. Dalam konferensi ini membahas pokok-pokok persoalan dan memperdalam apa yang diperbincangkan dalam konferensi pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta. Adapun lima pokok yang dibahas antara lain, 1.Steering 2.Ketatanegaraan 3. Keuangan dan perekonomian, 3. Keamanan . 4. Kebudayaan. * (Bersambung)