Oleh: Anshari Dimyati
Tak cuma pantai, sejarah juga teruntai di Bumi Serumpun Sebalai. Bangka Belitung. Perjalanan kami kemarin ke Pangkal Pinang sedikit mengobati sendu kabar yang tak kunjung datang dari Istana Negara. Sayup dan tak terdengar lagi kabar Gelar Pahlawan yang kami ajukan satu atau dua tahun lalu. Sultan Hamid II salah satu pelopor kemerdekaan bangsa ini. Itu tak dapat dipungkiri. Banyak orang mengakui, dan biarkan waktu mengungkap bukti. Lambang Negara, jelas kita patut malu menggunakan karyanya, tanpa menghargai siapa perancangnya.
Bulan Desember adalah bulan bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Bulan dimana kedaulatan penuh didapatkan, bulan dimana persatuan bangsa secara utuh dilakukan. Pada 27 Desember 1949 silam, berlangsung upacara penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) atau Ronde Tafel Conferentie (RTF).
KMB merupakan momentum penting dan prestisius dalam sejarah Indonesia. Sebab, dalam ceremonial itu tampuk kedaulatan Indonesia sebagai sebuah Negara diakui oleh masyarakat internasional (international community). Hadir kala itu pihak yang bersepakat dalam perundingan politik untuk menentukan langkah ke depan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.
Perundingan di KMB dilakukan oleh tiga pihak, yaitu Kerajaan/Negara Belanda (Nederland), BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg)/Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal, dan RI (Republik Indonesia) dalam wilayah Yogyakarta. Ketika itu, delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen, sedangkan delegasi Republik Indonesia (RI) dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta, dan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai Ketua Majelis Negara-negara Federal. Hadir pula delegasi UNCI/PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang dipimpin oleh Crittchlay.
Rupa sejarah tersebut adalah ihwal penting untuk mencatat rekam jejak para pendiri negara Indonesia hari ini. Jelas, Indonesia berdiri atas gagasan-gagasan konseptual founding fathers seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sultan Hamid II, Ide Anak Agung Gde Agung, Moh. Yamin, Sutan Sjahrir, Tengku Mansoer, dan tokoh lainnya pada masa (transisi kemerdekaan) itu. Mereka berperan penting dalam menentukan arah langkah Indonesia.
Namun sebelum itu, langkah perjuangan diplomasi Indonesia tak selalu berjalan mulus. Banyak perundingan-perundingan lain sebelum itu mengalami jalan buntu. Perundingan-perundingan politik negara seperti Perundingan Malino, Denpasar, Renville, Linggarjati, BFC, IJC, dan lainnya. Kemudian akibat agresi militer belanda kedua di Yogyakarta, pemimpin Indonesia kembali diasingkan. Pemimpin Republik Indonesia itu diasingkan di Muntok, Bangka Belitung.
Meresmikan Tempat Pengasingan di Muntok
“Saya diperintahkan oleh Pemimpin Daerah (Gubernur) untuk mengundang Yayasan Sultan Hamid II dalam acara Peresmian Nama Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) dan Pemasangan Burung Garuda Raksasa di atas bangunan tersebut, pada tanggal 22 Desember 2018 merayakan Bulan Pengasingan dan diakuinya Kemerdekaan Penuh pada 27 Desember 1949 pada Konferensi Meja Bundar (KMB)”.
Begitu pesan Pak Alfani Tuk Sangkal kepada saya melalui pesan dalam akun media sosial. Pak Alfani adalah seorang Sejarawan sekaligus Budayawan Muntok yang juga diberikan wewenang oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung untuk mengelola Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning). Setelah melihat video yang dimiliki oleh Yayasan Sultan Hamid II dan diunggah di laman media maya (cyber space), Pak Alfani baru mengetahui nama asli dari rumah atau gedung tersebut, yang kemudian diganti bernama Wisma Ranggam oleh Jambi. Dengan melakukan penelitian dan pengkajian, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung kemudian memutuskan mengganti nama gedung itu menjadi nama semula atau nama aslinya bernama Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning).
Kami bertolak dari Pontianak ke Pangkal Pinang pada 21 Desember 2018. Acara Peresmian Nama Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) dan Pemasangan Burung Garuda Raksasa di atas bangunan tersebut pada tanggal 22 Desember 2018, berlangsung khidmat. Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan yang memang memiliki ketertarikan yang kuat terhadap sejarah dan budaya, membuka acara dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Hadir pula H. Parhan Ali Bupati Bangka Barat, H. Kamaruddin AK Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bangka Belitung, Bontor Karo Karo Komandan Kodim Bangka Barat, Keluarga Pemimpin Bangka pada jaman RIS, Sejarawan, Budayawan, Tokoh-tokoh masyarakat Bangka Belitung, dan kami Yayasan Sultan Hamid II dari Pontianak.
Acara “Memperingati Bulan Bersejarah-Peresmian Nama Pasanggrahan & Patung Garuda Pancasila” ini dimulai dengan pembacaan do’a, dan Sambutan Gubernur Bangka Belitung. Kemudian memperkenalkan tokoh dan tamu undangan, dan pesan, kesan, serta pidato dari Perwakilan Tokoh Sejarah, Tokoh Pengasingan, dan Yayasan Sultan Hamid II dari Pontianak.
Gubernur Erzaldi pada kesempatan itu mengaku bangga atas kehadiran Ketua Yayasan Sultan Hamid II, Peneliti Lambang Dasar Negara RI Garuda Pancasila, yang keduanya dari Pontianak dan Putra Presiden Bangka RIS. “Bapak-bapak yang kami undang dari luar ini, sangat penting, untuk menambah pengetahuan sejarah aset kita, dan kami sangat bangga. Minimal ada titipan orang tua kita dulu yang berperan disini, sekalipun sedikit yang memotivasi untuk membangun bangsa yang kuat, hebat, seperti yang diharapkan tokoh-tokoh kita dulu,” ujarnya.
Gubernur menjelaskan, Pemprov dari setahun lalu sudah mulai mengembalikan keaslian bentuk dari Pesanggrahan BTW (Wisma Ranggam) ini. Tahun depan akan diselesaikan pengembalian bentuk tersebut. Sehingga, kenangan itu tetap ada disini. “Dari sini juga kita ingin menduniakan lagi Muntok, karena perannya dalam perjuangan Indonesia,” lanjut Gubernur.
Kami juga berkesempatan menyampaikan isi pidato yang berkaitan dengan pentingnya perjuangan pelurusan sejarah di Indonesia. Baik sejarah Sultan Hamid II, Lambang Negara Indonesia Garuda Pancasila, maupun perjuangan diplomasi bangsa Indonesia dalam menghadapi transisi kemerdekaan hingga kedaulatan penuh didapatkan. Tak kalah penting tentang situs sejarah dan cagar budaya yang harus terus dilestarikan dengan bentuk, isi, dan perangkat yang harus sesuai asli di dalamnya.
Memang, Muntok menjadi salah satu tempat bersejarah kedaulatan Indonesia. Sebelum menghadapi perundingan di Konferensi Meja Bundar (KMB), Sultan Hamid II bersama Kepala-kepala Negara/Daerah yang tergabung di dalam BFO, mendatangi Soekarno, Hatta, H. Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, dan lainnya yang sedang diasingkan di Muntok, Pulau Bangka, oleh Belanda akibat agresi militer Belanda ke II di Yogyakarta. Kala itu, Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO datang ke Muntok menemui Soekarno untuk membicarakan persoalan-persoalan persatuan bangsa, agenda teknis penyerahan dan pengakuan kedaulatan, persiapan-persiapan untuk perundingan di Konferensi Inter Indonesia I & II di Yogyakarta dan di Jakarta.
Di Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) tersebutlah perundingan, lobi-lobi politik, dan kesepakatan tokoh-tokoh bangsa dilakukan. Kemudian dengan kedaulatan tersebut, kemerdekaan dapat kita nikmati hari ini. Sesudah pesan, kesan, serta pidato dari Perwakilan Tokoh Sejarah, Tokoh Pengasingan, dan Yayasan Sultan Hamid II dari Pontianak dilakukan, acara dilanjutkan dengan Potong Pita, Potong Tumpeng, Pemasangan Lambang Negara Garuda Pancasila dan peresmian pengembalian nama asal atau nama asli dari Wisma Ranggam menjadi Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning), oleh Gubernur Bangka Belitung dan didampingi oleh semua tokoh dan tamu undangan.
Ruang makan di Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) menjadi ikon penting bagi pengakuan atau penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia agar diakui dunia dan disinilah penentuan “Kemerdekaan Penuh itu dicapai, tanpa ini Indonesia Sulit merdeka”. Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa “Kompromi terakhir dari persetujuan Roem Roijen berlangsung di meja dapurku, di rumah instansi milik pertambangan timah dimana aku diasingkan. Van Roijen yang mewakili Negeri Belanda bersedia mengembalikan para pemimpin Republik ke Djogja, Moh. Roem yang mewakili Republik bersedia untuk menghentikan kegiatan gerilya, pasukan Republik dan kedua belah pihak sepakat untuk segera mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, guna membicarakan pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia”.
Kedaulatan Penuh Dengan Perjuangan Diplomasi
Tak dapat dipungkiri bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya didapatkan dari perang gerilya (Lihat buku: “Kekuatan Ketiga; Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, RZ. Leirissa, 2006), namun juga karena kekuatan perjuangan diplomasi para pendiri bangsa. Salah satunya dari peran Sultan Hamid II dari Pontianak-Kalimantan Barat, yang melakukan diplomasi politik kepada Belanda agar memberikan kedaulatan penuh kepada Indonesia, begitupula terhadap tokoh-tokoh revolusioner pendiri Indonesia, Soekarno, Hatta, dan lainnya. Tampak dari komunikasi politik yang dilakukannya membuahkan hasil yang signifikan terhadap pengakuan dan kedaulatan yang diberikan di Konferensi Meja Bundar, begitupula dengan proses-proses politik sebelumnya.
Sultan Hamid II dari Pontianak yang juga ingin merdeka dari penjajahan Belanda membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), atau Perhimpunan Musyawarah Negara-negara Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara atau daerah-daerah otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali. BFO lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 27 Mei 1948. Gagasan pembentukan BFO berasal dari inisiatif Mr. Ide Anak Agung Gde Agung yang merupakan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT).
BFO bukanlah negara-negara boneka buatan Belanda. Tujuan pembentukan BFO adalah untuk menghilangkan kesan bahwa keberadaan negara-negara bagian atau daerah otonom, bukan semata-mata merupakan ide dari Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi memang berdasarkan kemauan sendiri. Selain itu, pembentukan BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik antara Negara Republik Indonesia (NRI) dengan Belanda. BFO ingin menyelesaikan persoalan yang melulu mengalami kebuntuan tersebut, dengan Kemerdekaan secara penuh.
Telah dilakukan beberapa perundingan di antara kedua belah pihak pada 1946 hingga 1948, namun perundingan-perundingan tersebut tidak mencapai titik temu. Kemudian, BFO berusaha menjembatani kepentingan NRI maupun Belanda, yang selanjutnya tercapai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Perhimpunan Musyawarah Federal (BFO), Konferensi Inter Indonesia (KII) 1 dan 2, Konferensi Meja Bundar (KMB) di Batavia maupun di Belanda.
Setelah mendatangi Soekarno dan Hatta yang sedang diasingkan di Muntok, Pulau Bangka, Sultan Hamid II dan koleganya di BFO kemudian bersepakat dengan NRI untuk melanjutkan pembicaraan tentang persatuan tersebut yang diberi nama Konferensi Inter Indonesia (KII). Konferensi Inter Indonesia, yang sebetulnya merupakan momentum terpenting dari Pembentukan dan Persatuan Bangsa, berlangsung dalam dua tahap; pertama di Istana Kepresidenan NRI di Yogyakarta pada 19-23 Juni 1949, dan kedua di eks Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila) di Jakarta pada 1 Juli hingga 2 Agustus 1949.
“…maka usaha BFO, sejak lahirnya organisasi ini, ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya…,” demikian ungkap Sultan Hamid II dalam pidato pembukaan Konferensi Inter Indonesia yang digelar untuk menyamakan persepsi antara NRI dan BFO sebelum maju ke perundingan bersama pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Belanda.
Sebagai Ketua BFO, Sultan Hamid II kemudian memimpin Delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar, atau Ronde Tafel Conferentie, di Den Haag, Belanda, yang dilangsungkan pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi Meja Bundar tersebut adalah perundingan yang dihadiri oleh tiga pihak, yaitu Belanda, BFO, dan NRI. Hasil dari kesepakatan itu adalah Negara Belanda, Negara-negara Anggota BFO, dan Negara Republik Indonesia (NRI) sama-sama menyerahkan kedaulatan kepada sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS, selain NRI, juga bergabung macam-macam negara yang sudah tergabung dalam BFO. Ketiga pihak ini menyepakati adanya pembentukan Uni Indonesia – Belanda, serta persemakmuran negara-negara otonom dengan Belanda. Pengakuan dan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tersebut dilangsungkan pada 27 Desember 1949.
Setelah dilakukan pemilihan, terpilihlah Soekarno sebagai Presiden RIS dan Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri. Oleh kepala negara, Sultan Hamid II kemudian ditunjuk menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949 sampai dengan 1950. Dengan surat Keputusan Presiden RIS No. 1 tahun 1949 tanggal 18 Desember 1949, Sultan Hamid II beserta tokoh lainnya juga ditunjuk sebagai salah satu Dewan Formatur Kabinet RIS.
Memperhatikan Situs Sejarah dan Cagar Budaya
Pemerintah Provinsi Bangka Belitung terlihat sangat serius mengembangkan destinasi wisatanya. Bangka Belitung sebagai wilayah yang begitu memiliki potensi wisata memiliki banyak situs sejarah dan budaya yang begitu berharga. Kekayaan alam yang melimpah seperti Timah, Lada Putih, Perikanan, dan Pertanian, menjadi sentral pemasukan kas pemerintah daerah setempat. Pemandangan pantai dan perbukitan yang begitu indah juga menjadi kekhasan daerah tersebut. Tak cuma kekayaan alam dan pemandangan indah yang dimiliki, Bangka Belitung faktanya masih banyak memiliki tempat-tempat bersejarah yang bernilai sebagai cagar budaya yang patut terus dirawat, dilestarikan, dan dipelihara dengan baik.
Selain Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung atau Kabupaten Bangka Barat, dua pulau sebagai salah satu Provinsi Indonesia itu juga punya situs atau tempat bersejarah lain seperti Wisata Sejarah Menumbing, tempat persinggahan/pengasingan Soekarno, Moh. Hatta, dan lainnya di puncak bukit di Muntok, Bangka Barat. Kemudian Museum Timah Indonesia yang berada di Muntok dan Pangkal Pinang, Kantor Residen Bangka yang berada di Pangkal Pinang dan Muntok, Rumah Abang Muhammad Yusuf Rasyidi (Presiden Bangka, RIS) sang penyelamat bendera Merah Putih yang dititipkan oleh Presiden Soekarno di Muntok, Rumah Mayor Muntok, Benteng Kuto Panji, Benteng Toboali (Bangka Selatan), dan masih banyak bangunan-bangunan, situs, dan benda pada jaman kemerdekaan yang dimiliki oleh Bangka Belitung, yang masuk katagori cagar budaya.
Dengan jamuan dan pelayanan yang luar biasa dari Bapak Gubernur Bangka Belitung, kami sempat mendatangi beberapa tempat bersejarah tersebut selama tiga hari. Penyusunan yang rapih dan administrasi yang tertata membuat potensi Bangka Belitung menjadi unggul dalam hal pariwisata. Kami mendapatkan beberapa buku saku dan katalog wisata disana, dari Pemerintah Provinsi setempat. Seperti buku Come & Explore Bangka Belitung dengan semua jenis pariwisata yang bisa dijelajahi, serta katalog Cagar Budaya Bangka Belitung. Kami hitung setidaknya ada 54 (lima puluh empat) jenis situs, benda, maupun bangunan wisata sejarah yang menjadi cagar budaya. Salah satunya, Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) dan Menumbing yang sudah mendapatkan status Cagar Budaya Peringkat Nasional pada tahun 2015 lalu. Ke depan Bangka Belitung bergerak untuk mendaftarkan situs sejarah lainnya menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional.
Lain halnya dengan Bangka Belitung, kampung halaman kita Pontianak-Kalimantan Barat (Kalbar) juga memiliki begitu banyak potensi destinasi wisata. Akan tetapi ketika membandingkan keduanya, ketika kami berada di Bangka, kami berkesimpulan bahwa begitu banyak “lubang kosong” yang harus diisi dengan keseriusan pemerintah Kalbar maupun Pontianak. Mulai dari keseriusan menata dan menginventarisasi benda, bangunan, dan situs yang dianggap cagar budaya, hingga pelestarian dan perawatan cagar budaya tersebut.
Sayangnya, banyak bangunan di jaman penjajahan belanda di Pontianak serta Kalimantan Barat yang sudah diroboh atau dihancurkan, atau tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Pemugaran dengan tak mentaati aturan atau Undang-undang adalah bentuk kehancuran cagar budaya. Dulu Pontianak juga memiliki gedung atau rumah Residen yang terletak dekat alun-alun kapuas, lalu hari ini menjadi bangunan atau gedung baru demi kepentingan penguasa pada saat itu. Pontianak juga memiliki Tugu Peringatan Pembantaian Jepang yang dibangun oleh Sultan Hamid II pada tahun 1945, kemudian juga dirobohkan oleh pemerintah berkuasa. Gereja Kathedral hari ini juga tidak sama dengan bentuk semula.
Kita setidaknya masih memiliki beberapa yang patut diperhatikan kelestariannya. Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak serta Istana-istana Kesultanan lainnya di Kalimantan Barat, Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, Tugu Khatulistiwa, Makam Kesultanan Pontianak, dan Makam Juang Mandor, dan lainnya. Ke depan beberapa dari jenis situs sejarah tersebut patut pula didaftarkan menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional dengan segala nilai-nilai bersejarah di dalamnya. Masih banyak pekerjaan rumah baik bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat maupun Pemerintah Kota Pontianak dalam menata dan membangun destinasi pariwisata. Agar ke depan, ketika tetangga bertamu tidaklah masyarakat kita malu. Bahkan kebanggaan atas aset sejarah dan wisata kebudayaan yang dimiliki wilayah kita patut terus dijaga, dilestarikan, dan terus dikembangkan.
Kami juga mengusulkan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat atau Pemerintah Kota Pontianak, patut membangun Museum Sultan Hamid II dan Lambang Negara Garuda Pancasila. Bila di Yogyakarta ada Rumah Garuda, dan bila Bangka tetap terjaga Museum Sejarah Bangka, mengapa Pontianak tak bangga dengan potensi Sejarah yang dimilikinya?
Salam takzim saya,
Ketua Yayasan Sultan Hamid II
(Pontianak & Jakarta)