in

Asam Pedas dan Trend Glokal

asam pedas kepala ikan kakap

Oleh: Eka Hendry Ar.

Asam pedas merupakan salah satu makanan khas Kalimantan Barat, jenis ikan yang dimasak dengan ingredien pedas dan asam. Ikan asam pedas, atau asam pedas saja, demikian lazim masyarakat menyebutnya. Sensasi pedasnya dari cabai merah yang dihaluskan dan untuk sensasi asamnya menggunakan nanas atau terung asam (bentuknya bulat). Bahan pokoknya ikan, bisa ikan laut, lebih afdhal lagi ikan sungai, seperti ikan lais, ikan baong atau sirip ikan belidak. Dihidangkan dengan nasi, sambal terasi dan lalapan pucuk daun singkong. Maknyuss, pasti nambah berkali-kali, “mertua lewat tak tahu”.

Tulisan ini bukan sedang membincangkan resep masakan. Namun ingin mengatakan bahwa, suatu wilayah harus dapat menawarkan pesona daerahnya. Baik alam, fasilitas kota, budaya dan kekhasan aneka kulinernya. Semakin kuat kekhasan atau keberbedaannya, maka akan semakin tinggi nilai tambahnya. Terlebih hidup di era posmo seperti sekarang ini, aspek perbedaan dan kembali ke ke-lokal-an menjadi yang utama.

Glocal atau glokal, globalisasi lokalitas, yaitu trend mengglobal hal-hal yang berbau lokal. Uniformitas atau penyeragaman yang dikehendaki oleh modernisme, sekarang kehilangan relevansinya. Masyarakat posmo lebih menyenangi kekhasan yang lahir dari heterogenitas budaya, termasuk kembali kepada yang berbau lama (old style). Maka sekarang berkembang budaya vintage, retro dan antik, baik dalam dunia furniture, pakaian dan design interior.

Ketiga istilah ini biasanya dibedakan berdasarkan usia, antik biasa untuk benda yang berusia di atas 100 tahun. Vintage biasanya gaya (style) yang berumur 100 tahun. Sedangkan retro biasanya merujuk ke gaya yang berkembang antara tahun 50 hingga 70-an. Kategori ini biasa dipakai oleh para penggiat vintage, barang-barang antik dan emak-emak millenial yang senang mengutak-atik design interior rumah.

Kembali ke fokus tulisan ini, bahwa era posmo atau postmodern (pasca modern) merupakan era tumbuh berkembang heterogenitas nilai dan tradisi. Perkembangan budaya yang tidak selalu linear, akan tetapi juga membentuk spiral kebudayaan. Memungkinkan kembali terjadi pengulangan sesuatu yang lama kembali menjadi aktual. Seperti terlihat pada trend vintage dan retro.

Artinya, kecenderungan kita meniru style populer, dengan mengabaikan kekhasan kita sendiri adalah bentuk kegamangan budaya (atau disorientasi budaya). Seperti pameo yang diceritakan Mohammed Shahrour (Pemikir dan penulis berkebangsaan Suriah) tentang burung gagak yang iri dengan keindahan burung Bulbul. Kita tahu gagak warnanya hitam, sedangkan Bulbul bulunya indah berwarna warni dan berjambul. Karena didorong hasrat iri dan dengki, dicatlah bulu-bulunya dengan beraneka warna. Namun apa lacur, warnanya jadi tidak karuan. Akhirnya jadi burung yang bukan-bukan, dibilang Bulbul bukan, mau di bilang gagak juga bukan. Jadilah burung yang “bukan-bukan”, tercerabut dari identitas yang ada.

Agar kita tidak menjadi manusia “bukan-bukan”, perlu kita menegaskan kembali identitas kebudayaan kita, yaitu menjadi warga Glocal. Menjadi bagian dari warga masyarakat dunia global (globalisasi), namun dengan tetap mempertahankan kekhasan lokal kita. Baik dari segi agama, falsafah hidup, nilai-nilai budaya dan gaya hidup.

Kuliner asam pedas merupakan salah satu contoh kekhasan masyarakat Kalbar, disamping banyak jenis lainnya. Demikian juga kesenian lokal, kita punya tradisi berpantun dan bersya’ir. Ada musik sape’ yang indah instrumentalisnya. Ada bedande dan sya’ir gulung yang mendayu-dayu. Ada tundang (pantun dan gendang) yang kocak. Kemudian ada banyak upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan seperti, 7 bulan, naik ayun, tumbang apam, menugal padi dan panenan padi, robo’-robo’, tatung hingga upacara perkawinan. Bahkan humor “merepek” atau “beleter”, yaitu ngomel dalam bahasa Melayu Pontianak yang khas dan lucu. Ini jenis humor yang sekarang sedang populer di kalangan millenial. Ada akun sosmed Mak Repek, Pontigile, dan nama-nama humoris millenial seperti Sukep, Ali Akbar, Hamidi Kelana (sekedar menyebut beberape contoh) yang sangat menghibur. Kemudian setiap daerah memiliki berbagai jenis kuliner khas seperti kerupuk basah, bubur pedas, bingka berendam, pacri nanas, tempoyak, kerupat colet dan lain sebagainya. Kesemuanya adalah rupa dari berbagai kekhasan yang kita miliki.

Kekhasan tersebut harus diletakkan di “etalase” terdepan dari wajah Kota ini. Jangan sampai ia dimarginalisasi oleh gaya hidup dari budaya populer yang praktis pragmatis. Penulis kalau ke Ibu Kota kadang sering merasa prihatin, melihat ondel-ondel yang terpinggirkan oleh gemerlap Kota. Ondel-ondel digunakan oleh anak-anak untuk mengamen di tempat-tempat makan kaki lima. Penulis melihat realitas ini, jangan sampai hadrah, atau kesenian lain yang kita miliki mengalami peminggiran yang sama. Ini sungguh ironi, dan patut menjadi perhatian kita semua.

Hal ini terjadi karena ada “pembiaran budaya”, sehingga budaya lokal tergulung budaya populer. Siapa yang lengah, membiarkan ini terjadi, bisa kita sebagai masyarakat budaya, bisa juga pemerintah. Oleh karenanya keprihatinan ini harus menjadi perhatian kita semua.

Point penting dari artikel ini adalah mengajak kepada kita semua untuk kembali menghidupkan kekhasan lokal tersebut, sebagai bagian dari gerakan kebudayaan dan strategi untuk menjadikan Kalbar menjadi salah satu destinasi budaya di Indonesia. Seperti contoh Kota Pontianak, Kota yang sering saya sebut sebagai minipolitan yang sedang mempercantik diri. Kota Pontianak secara geografis kurang lebih mirip Amsterdam Belanda. Kotanya banyak dialiri parit-parit (grachten), karena daratannya rendah dibanding permukaan air lautnya. Pontianak kini menjamur Warung Kopi (Warkop) dan Cafe, yang menjadi icon Kota ini, selain tugu equator atau lebih dikenal Tugu Khatulistiwa dan Sungai Kapuas. Kalau trend ini, dipadukan dengan setting geografis yang dikarunia Tuhan dan kekhasan budaya masyarakatnya, maka akan menjadi mozaik budaya yang luar biasa.

Masyarakatnya sadar budaya, infrastrukturnya dibangun sadar budaya, strategi marketingnya sadar budaya, maka akan memperkuat identitas Glokal kita. Sambil ngopi kita bisa mendengar instrumen sape’, atau dendang Melayu. Kemudian dapat dengan mudah mendapatkan aneka kuliner khas daerah, tanpa harus menunggu festival budaya. Sambil ngopi kita bisa menikmati berbagai souvenir lokal dan pertunjukan budaya seperti hadrah, jepin, dan berbagai tarian daerah. Sambil ngopi bisa melihat orang menenun kain songket Sambas, atau melihat orang menganyam tanggui, raga atau tikar. Saya membayangkan betapa anggunnya kota ini dengan ornamen-ornamen gerak langkah budaya yang mudah dijumpai.

Parit-parit kita hidupkan menjadi sentrum relaksasi, dengan aneka jajanan daerah dan hiburan bagi anak-anak kota yang haus tempat rekreasi. Tentu berkali-kali saya katakan, kunci kesuksesan terletak pada mampu tidak kota membangun infrastruktur kebudayaan, baik pada masyarakatnya maupun pada para pemimpinnya. Ini buah pikiran dan harapan, semoga juga menjadi buah harapan kita semua. Semuanya cita-cita, bukan utopia yang mustahil diwujudkan.

(*Penulis adalah dosen IAIN Pontianak)

Written by teraju.id

irfansyah

Satu Duka Keluarga Pejuang

Sriwijaya Air

Dari Langit Kami Ke Langit