in

Setelah Pengakuan Unesco, Mau Apa Kita dengan Pantun?

kenduri pantun

Oleh: Dr. Suryadi

Dalam sidangnya yang ke-15 di Paris pada hari Kamis, 17 Desember 2020, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) telah menetapkan pantun sebagai warisan dunia tak benda (intangible world heritage). Pengakuan ini disambut hangat oleh pemerintah dan lembaga-lembaga terkait di Indonesian dan Malaysia yang sudah beberapa tahun berjuang di lembaga UNESCO untuk mempromosikan pantun sebagai salah satu warisan dunia.

Dikatakan bahwa pengakuan (pengiktirafan) pantun oleh UNESCO itu akan dapat mengangkat wajah negara Malaysia dan tentunya juga Indonesia di forum antarbangsa. Jika kita melayari internet, dapat dikesan bahwa institusi-institusi pemerintah di kedua negara menyambut dengan antusias pengakuan UNESCO terhadap pantun itu. Begitu juga dengan Lembaga-lembaga yang aktivitasnya terkait dengan pelestarian kebudayaan seperti Lembaga Adat Melayu Riau dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Besok (Minggu, 27 Desember 2020) akan diadakan acara “Kenduri Virtual: Pantun Menjadi Warisan Dunia” mulai pukul 20:00 WIB sampai selesai (Zoom ID:812 9857 1455; Password: PANTUN).

Sementara itu, di kalangan akademik secara umum tampaknya tidak (atau mungkin belum) terlihat adanya antusiasme terhadap pengakuan pantun oleh UNESCO ini. Memang ada satu dua postingan di media sosial yang terkait dengan hal ini. Tapi esai-esai yang ditulis di surat kabar sempena pengiktirafan ini belum lagi tampak. Padahal di Indonesia hampir semua universitas negeri (juga beberapa universitas swasta) memilik Fakultas Ilmu Budaya dan Jurusan Sastra Daerah. Oleh karena itu terasa agak anomali, untuk tidak mengatakan ganjil, apabila kesuksesan perjuangan Indonesia dan Malaysia dalam mendapatkan pengakuan pantun sebagai warisan dunia tak benda (Malaysia: tak tampak) ini hanya disambut dingin saja oleh ratusan staf pengajar/peneliti budaya di fakultas-fakultas ilmu budaya di univrsitas-universitas kita.

Keadaan yang kurang lebih sama tampaknya terjadi juga di Malaysia. Dalam perbincangan virtual dengan Prof. Dato’ Dr. Ahmad Murad Merican dari ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, akademikus terkemuka Malaysia itu mengatakan bahwa sambutan dunia akademik di Malaysia juga dingin saja. Sementara itu, Prof. Dato’ Dr. Haji Awang Sariyan, Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), juga dalam perbincangan virtual dengan saya, mengatakan bahwa DBP berencana akan menggelar acara khusus (‘mengadakan acara khas’) tentang pantun dalam rangka menyambut dan merayakan pengakuan UNESCO ini. Dalam pada itu, dalam perbincangan virtual pula dengan Tan Sri Dato’ Seri Utama Rais Yatim, Yang Di-Pertua Dewan Negara Malaysia terkandung maksud dari Pengerusi dan Pengasas Yayasan Budi itu untuk merayakan pula kesuksesan ini. Mantan Penasihat Sosial dan Budaya Kerajaan Malaysia itu sangat menyambut gembira pengiktirafan pantun oleh UNESCO itu (lihat: https://www.utusan.com.my/berita/2020/12/rais-gembira-pantun-diiktiraf-unesco/; diakses 27-12-2020).

Sebagai warisan dunia takbenda/tak tampak, pengakuan pantun oleh UNESCO ini tentu selayaknya dapat mendorong rakyat Indonesia dan Malaysia, bahkan seyogianya juga negara-negara lain yang masih berada dalam rumpun Melayu Raya, untuk menyemarakkan kembali pemakaian genre puisi tradisional Melayu-Nusantara ini di masa sekarang. Jika warisan benda (seperti bangunan kuno dan situs-situs sejarah lainnya yang berwujud fisik) kita jaga dengan memugarnya, maka warisan berupa takbenda seperti pantun, walau sudah diiktiraf oleh UNESCO, tentu tidak akan terasa signifikansinya apabila tidak direvitalisasi oleh masyarakatnya di masa sekarang.

Jika kita melihat secara umum, pemakaian pantun oleh generasi masa kini masih ada sedikit banyaknya. Di Indonesia, misalnya, pramugari sebuah perusahaan penerbangan (Batik Air) selalu memakai pantun bila mengawali pengumuman di dalam pesawat. Contoh lain: Gubernur Sumatera Barat Prof. Dr. Irwan Prayitno dikenal sangat suka berpantun ketika memberikan sambutan dalam berbagai acara resmi. Di Malaysia pula, dalam berbagai acara resmi, pembawa acara (MC), juga para pembicara, selalu pula mengawali dan mengakhiri ucapannyanya dengan beberapa bait pantun.

Dalam ekspresi budaya dalam berbagai etnis, pantun juga masih dipakai, ambil contoh lirik lagu-lagu pop Minang di Sumatra Barat. Lirik-lirik lagu Melayu di Malaysia juga masih dihiasi oleh pantun. Kalau kita merujuk ke belakang, sebenarnya tidak begitu banyak juga buku pantun yang sudah diterbitkan, termasuk di zaman kolonial. Banyak pantun hidup melalui mulut orang-orang desa, yang dikeluarkan saat acara-acara khusus (meminang mempelai, menabalkan penghulu, alek nagari, dll.). Artinya, pantun lebih banyak eksis dalam bentuk lisan, dan dalam perjalanan masa orang lupa membukukannya sebanyak mungkin.

Saya adalah seorang pencinta budaya Melayu/Minangkabau yang menyukai pantun. Akan tetapi menurut saya, sering pantun yang diciptakan oleh orang sekarang kurang mengena secara stilistika. Maksud saya, ada kesan orang muda sekarang tidak mengetahui hukum stilistika pantun. Kunci penting untuk menciptakan pantun dan menjaga stilistikanya yang asli adalah: larik jangan dibuat lebih dari 9 suku kata (satu tarikan nafas). Dan larik isi yang ‘berisi’ adalah jika mengandung metafora, bukan bahasa cair saja.

Saya melihat sekarang orang rada sembarangan dalam menciptakan pantun. Seringkali panjang larik lebih dari 12 suku kata. Bagian pembayang tak begitu berkiblat ke alam. Penciptaan pantun yang melanggar kaedah-kaedah stilistika aslinya tentu akan merusak citra pantun itu sendiri. Jarang pula orang sekarang yang menciptakan pantun lebih dari 4 baris. Mereka sepertinya tidak tahu ada pantun 6, 8,10 baris, bahkan lebih, seperti bait pantun Minang berikut ini:

Tabiang nan tinggi lah baruntuah,
Mambangun jalan Salibutan,
Tagantuang tantang Lubuak Kalak,
Kini jambatan ka subarang;
Di siko hati mako rusuah,
Jinak lah lapeh pado tangan,
Kini bak raso tampak-tampak,
Bakukuak dalam tangan urang.

Pantun, walau bersifat meretas alam Melayu-Nusantara yang luas dan berbilang etnis ini, memiliki ciri lokal/tempatan sendiri. Bagi saya sebagai orang Minang, misalnya, pantun yang yang baris isinya hanya menyuguhkan makna denotatif terasa hambar, bagaikan sayur kurang garam. Jikapun tak pekat, metafora selayang harus selalu ada dalam pantun Minangkabau. Itulah yang membedakannya dengan pantun dari daerah-daerah lainnya.

Nan ka pulau nasi batungkuih,
Di baliak Pulau Lipek Kain,
Jalo tarantang kaia lah putuih,
Kasiah dirangguik urang lain.

Pantun Minangkabau yang baik adalah yang baris isinya (penggalan kedua) menyuguhkan metafora yang pekat dan penuh dengan makna kiasan, sepagaimana dapat dikesan dari kutipan pantun 8 larik di atas (Empat baris isinya mengiaskan seorang lelaki/wanita yang merasa sedih dan selalu terbayang pada mantan kekasihnya [disimbolkan dengan ayam atau burung) yang kini sudah direbut oleh orang lain [bakukuak dalam tangan urang]).

Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa generasi sekarang harus diajarkan (melalui sekolah atau lembaga-lembaga terkait) bagaimana menciptakan pantun yang baik dan bermutu. Jika tidak, warisan dunia takbenda dari alam Melayu-Nusantara yang sudah diiktiraf UNESCO itu akan rusak citranya. Sebagai cara menyampaikan pesan yang khas dan bersifat indirectness, pantun juga harus coba dipopulerkan kembali kepada generasi muda kita, di tengah kecenderungan cara berbahasa orang sekarang yang makin kehilangan kesantunan.

Leiden, 27 Desember 2020

(Penulis, dosen Leiden University)

Written by teraju.id

smk sirajul islam.1

SMK Minggu Sirajul Islam AMT Wakaf Produktif

wakaf

Outlook Wakaf Produktif Bersama Nazir Profesional Indonesia, Rabu, 30 Desember