Oleh: Heyder Affan
KEMBALI ke Jakarta setelah lima hari (30 September- 5 Oktober 2018) melakukan kerja jurnalistik di kota Palu, Sulteng, saya merasa seperti mendapatkan semacam berkah.
Berkah (atau pencerahan?) itu memancar melalui orang-orang setempat, tim relawan, TNI-polisi, maskapai penerbangan, warga anonim, atau siapapun yang kehadirannya sangatlah penting, namun kadang tidak tercatat rapi di balik sebuah karya jurnalisrik.
Dihadapkan listrik padam, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), dan terbatasnya pasokan sembako di hari-hari awal liputan, kehadiran mereka mampu meringankan beban dari kenyataan pahit itu.
Walaupun berbeda tugas dan bersilangan, tetapi acap beririsan, kami digerakkan niat dan tujuan yang sama, yaitu agar Palu, Donggala dan wilayah lain yang terdampak segera pulih – secepatnya.
Seperti di luar planet yang penuh amarah dan barangkali kebencian, di wilayah bencana itu saya justru bersua orang-orang baik, setidaknya itulah yang saya alami sendiri, meski kesannya remeh-temeh jika dipandang dari saat situasi normal.
Di hari-hari awal, sebutlah, saya dan kameramen, “ditolong” oleh satu keluarga pengungsi saat perut kosong, sementara tidak ada warung atau toko kelontong buka.
Di sela-sela makan nasi, telor dadar dan seiris daging, kami dijamu layaknya kami adalah tamu. Lalu percakapan mengalir, dan kami berjanji pada diri sendiri untuk mengabarkan apa yang saya saksikan dan dengarkan dari perspektif mereka sebagai korban. Kami intinya saling membantu.
Sebelumnya, saat tiba di kota Poso, kami mati-matian mencari genset (yang akan kami bawa ke Palu, karena listrik padam), dan ternyata tidak gampang – di hari Minggu (30/09) semua toko nyaris tutup. Kami mengetok pintu dua atau tiga toko, dan salah-seorang diantaranya membantu sekuat tenaga untuk mencarikannya ke teman-temannya dan akhirnya kami mendapatkan ‘nyawa’ bernama genset.
Orang-orang ini sama-sekali tidak kami kenal. Kami hanya mengenalkan sebagai jurnalis dan hendak melakukan liputan ke Palu. Dan mereka adalah warga Poso yang sebagian keluarganya di Palu ikut terdampak bencana itu. Tapi kami dapat bekerjasama -saling menolong.
Dalam perjalanan menuju ke Palu, yang memakan waktu hingga 10 jam, pemilik sopir yang kami sewa hanya ‘berani’ mengantar saya dan kameramen hingga di satu desa jelang masuk dataran tinggi Kebun Kopi. Kami memaklumi, tapi dia membantu kami untuk meyakinkan pemilik mobil lainnya – yang baru dikenalnya – untuk ‘mengantar’ kami ke Palu.
Pemilik kendaraan yang sama sekali tidak kami kenal kemudian mengiyakan, dan kami sangat terharu. Dua orang yang mobilnya kami tumpangi ini adalah karyawan Pertamina setempat yang berangkat ke Donggala untuk memperbaiki SPBU yang rusak akibat gempa. Rupanya, kami disatukan niat dan tujuan yang sama.
Kami pun berpisah dan berjanji saling kontak, tidak lama setelah mobil kami berhenti di dekat puing-puing Hotel Roa Roa. Dalam kegelapan kota Palu pada Senin dini hari, mobil mereka lantas menghilang ditelan malam, sementara kami mulai disibukkan wawancara dan pengambilan gambar.
Lalu kami istirahat di mana? Tidak jauh dari reruntuhan hotel itu, ada komplek gereja dan sekolah GKI. Kami memutuskan merebahkan badan di atas bangku, bersama pengungsi lainnya, setelah salah seorang pengurus gereja mengijinkan. “Silakan masuk…”
Malam itu kami tidur ayam dan sesekali dikejutkan gempa susulan yang disertai “dung” dari bawah tanah yang kami tiduri. Hiburan kami satu-satunya malam itu adalah langit nan terang kota Palu yang dihiasi gemerlap gugusan bintang – hal yang mustahil bisa saya dapatkan di langit Jakarta yang sesak dengan asap kendaraan.
“Ayo silakan sarapan dan minum kopi,” suara renyah ini mengambang dari salah-seorang pimpinan gereja, sekaligus sapaan untuk tamu yang baru tiba, keesokan harinya. “Tolong beritahu, jika ada yang bisa kami bantu…” Kami lagi-lagi terharu mendengarnya.
Di komplek gereja itu, saya juga bertemu sesama jurnalis yang juga mendirikan tenda di halaman sampingnya. Selama liputan hari itu, kami menitipkan dua tas berat yang kami bawa dari Jakarta.
Sampai hari ketiga, Senin (01/10), listrik masih padam, BBM langkah, dan sembako sulit didapat. Saya juga sudah mendengar mulai ada penjarahan bahan makanan pokok. Beberapa warga Palu yang saya wawancarai mengaku “terpaksa” melakukannya karena “tidak ada beras untuk dimasak”, tapi tak sedikit yang menolaknya. Mereka inilah yang saya temui dalam antrian panjang di markas Korem Tadulako di siang hari yang terik.
Pamit dan berterima kasih dengan pengelola gereja, rombongan kami (semula 4 orang) memutuskan menginap di halaman sebuah hotel – yang masih berdiri kokoh. Tuan rumah mempersilakan kami “meminjam” arealnya untuk bekerja dan istirahat, tetapi melarang kami menyewa ruangan kamarnya. “Demi keamanan, sebab masih ada gempa susulan,” kata pemilik hotel. Setelah kami tiba, beberapa rombongan jurnalis asing juga bergabung di areal hotel itu – mirip pengungsi, pikirku.
Pada dua hari pertama, dalam kondisi darurat dan serba terbatas, pemilik hotel masih berusaha menyediakan makanan: nasi dan lauk pauk ala kadarnya – kenikmatam tiada tara pada saat pasokan sembako di kota itu masih lumpuh. Tuan rumah, di sisi lain, meminta bantuan kami jika ada informasi pembagian sembako.
Hidup harus berjalan terus, dan kami terus disibukkan liputan, dan bertemu banyak orang yang memilih terlibat untuk menolong warga Palu.
Ada sosok Talib, pria yang rela melakukan aktivitas beresiko dengan masuk ke dalam reruntuhan hotel Roa Roa, untuk memberi semangat korban yang masih hidup. “Saya hanya membawa obeng kecil,” katanya bersemangat. Kehadiran Talib dibutuhkan ketika alat-alat berat belum tiba di lokasi.
Hadir pula orang-orang yang melibatkan diri di jalan sunyi – jauh dari publikasi. Di Rumah Sakit Undata, yang ditinggalkan hampir separoh tim medisnya, sebutlah, saya mendapati puluhan orang relawan tim medis yang berjibaku dalam kondisi serba darurat.
“Siapa lagi yang bisa menolong mereka, kalau bukan kita,” kata Helmi, mahasiswa Kedokteran Universitas Tadulako, Palu, Helmi, yang berusia 22 tahun. Di dekat ruangan gawat darurat, saya bertemu pula seorang perawat rumah sakit yang memilih menolong orang lain ketimbang memilih menyelamatkan diri. “Sudah menjadi kewajiban saya,” Nada suaranya datar, dan dia kemudian meminta ijin untuk melanjutkan kewajibannya sebagai perawat.
Di dekat perumahan yang ambles ditelan bumi, pemandangan haru terlihat ketika relawan, TNI, tim SAR saling bekerjasama mencari korban meninggal di bawah reruntuhan, dicatat dan disalatkan. Saya berpikir: jati diri mereka tak akan tercatat dalam lembaran sejarah panjang petaka di Indonesia, tapi saya yakin keluhuran mereka membuat jiwa mereka makin kaya.
Memasuki hari keempat, saya beruntung menemukan warung makanan di sudut kota itu. Tetapi jangan harap menemukan makanan lezat seperti yang tertera di menu. “Yang ada mie dan nasi…” Saya tentu saja tidak menolaknya. Si pemilik warung mengaku tetap membuka warung dua hari setelah bencana karena “hidup harus berjalan terus”, meski sebagian keluarga besarnya menjadi korban tenggelamnya sebuah perumahan di pinggiran kota Palu.
Bicara soal kelangkaan makanan, saya dan dua rekan kerja seperti menemukan “surga dunia” usai meliput kampung tenggelam di dekat bandara. Salah-seorang keluarga korban yang kami interviu menyediakan lima atau enam buah mangga muda (pencit) dan bumbu rujak. Kami pun melahspnya dan larut dalam kebahagiaan berbalut keramahtamaan tuan rumah – yang juga pengungsi.
Dan, pada suatu malam yang gelap, usai mengirim berita di Kantor Telkom (yang wifinya kencang – berbeda di lokasi tempat kami tinggal), saya harus balik ke “hotel” yang jaraknya lumayan jauh. Saya tak tega menganggu sopir kendaraan yang kami sewa. Lalu kenapa tidak menumpang warga yang siapa tahu menuju arah yang sama?
Dua atau tiga motor lewat, namun ada satu motor mematikan mesinnya dan langsung bersedia saya tumpangi. “Pak Iwan” begitu dia memperkenalkan. Belakangan saya ketahui dia berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat, dan merantau ke Palu sekitar 30 tahun silam. Di motornya, dia membawa jirigen untuk digunakan mengantri membeli BBM.
“Malam hari, biasanya saya antri…”
Selama bencana, pria berumur 55 tahun ini terpaksa menganggur. Saya tidak pernah menanyakan profesinya, kecuali dia mengisahkan awal mula dia menekuni pekerjaannya di bidang optik.
Keesokan harinya saya memutuskan untuk “menyewanya” keliling Palu – menengok kawasan Pecinan yang senyap, mendatangi lokasi pengungsian di depan kantor wali kota, mewawancarai orang tua yang “kehilangan” anaknya yang berusia enam tahun, mendatangi lagi perumahan yang ambles, hingga kantor telkom serta… kembali ke “hotel”.
Sosok pak Iwan, Talib, pemilik warung, pimpinan gereja, mahasiswa calon dokter, perawat yang kurang tidur, imam yang memimpin salat jenazah, pengelola sebuah hotel, hingga anggota TNI dan polisi, serta sosok-sosok anonim yang tak tercatat sejarah, adalah berkah buat saya…
Agak klise memang, tapi haruslah saya katakan, saya ada justru lewat kehadiran orang lain. Melalui jendela jurnalistik, kehadiran itu muncul dan menyelinap ke pori-pori, memperkaya jiwa. Merekalah yang membentuk saya, semacam berkah, meski kadang luput, karena bukankah hasrat (tubuh) tak seratus persen selalu berada dalam ruang kesadaran yang utuh (?). [penulis adalah wartawan BBC] *